SEJAARAH POLITIK NEGARA-NEGARA ISLAM DI
NUSANTARA PERSPEKTIF HISTORIOGRAFI ISLAM
Historiografi atau penulisan sejarah dalam ilmu sejarah merupakan titik
puncak seluruh kegiatan penelitian sejarah. Dalam metodologi sejarah,
historiografi merupakan bagian terakhir. Langkah terakhir, tetapi langkah
terberat, karena di bidang ini letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk
membuktikan legitimasi dirinya sebagai suatu bentuk di siplin ilmiah[1].
Historiografi tidak terlepas dari data – data yang mendukung guna
penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan sumber-sumber yang telah
tersedia terhadap kajian-kajian kritis yang ada. Metode- metode dan
pendekatan-pendekatan yang di dapat atau telah terbukti di manfaatkan untuk
mempelajari bahan-bahan dan terhadap masalah teoritis yang berkaitan dengan
penulisan sejarah.
Begitu banyak
peristiwa yang dialami oleh umat Islam Nusantara. Mulai dari datangnya Islam ke
Nusantara bahkan sampai abad-abad pembaharuan Islam yaitu zaman Nuruddin
Ar-Raniri, Abd. Rauf Singkel, Samsuddin Sumatrani dan ulama’-ulama’ yang
sezaman dengan mereka bahkan sampai abad ke-19 an, diantaranya yaitu, Syekh
Ahmad Khatip Minangkabawi, Syekh Nawawi AL-Bantani serta ulama-ulama sezamannya.
Sayangnya sedikit sekali masyarakat
Nusantara yang menjadi aktor sezaman tidak menulis peristiwa-peristiwa
tersebut. Tradisi menulis di Nusantara memang sudah berkembang lama namun
sayangnya kurang begitu diminati. Penulisan sebuah peristiwa merupakan sesuatu
yang penting, karena untuk merekam sebuah keadaan zaman agar bisa diketahui
oleh masa selanjutnya.
A. Kedatangan
Islam Ke Nusantara Dan Hubungannya Dengan Politik Negara-Negara Islam Di
Nusantara
Dalam membahas tentang politik dan suasana negara-negara Islam di Nusantara
saat itu tentunya tidak dapat dipisahkan dengan kedatangan Agama Islam ke
Nusantara. Mengenai metode tentang
bahasan ini Helius Sjamsuddin menawarkan analisis kritis-ilmiah karena sejarah
model baru telah menggunakan pendekatan dari berbagai ilmu-ilmu sosial. Menurut
kartodirjo yang dikutip Helius mengatakan bahwa cakrawala analisis semakin luas
dan mendalam karena yang dibahas seperti soal struktur kekuasaan, kepemimpinan,
para elit, otoritas, budaya politik, proses mobilisasi, jaringan-jaringan
politik dalam hubungannya dengan sistem sosial, ekonomi dan sebagainya.[2]
Sebagaimana kita ketahui bahwa wilayah kekuasaan Nusantara sangat luas,
tentunya dapat dipastikan bahwa kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia
tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang
didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Proses
masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para Tokoh yang
mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung mengetahui tentang
masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, ada pula
yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh
orang-orang barat (eropa) yang datang ke
Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia.
Tokoh-tokoh itu diantaranya, Marcopolo,[3]Muhammad
Ghor, Ibnu Bathuthah,[4]
Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted.[5]Sedangkan
sumber-sumber pendukung Masuknya Islam di Indonesia diantaranya adalah:
a. Berita dari Arab
Berita ini
diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitas perdagangan dengan bangsa
Indonesia. Pedagang Arab Telah datang ke
Indonesia sejak masa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur
pelayaran perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka
pada waktu itu. Hubungan pedagang Arab dengan kerajaan Sriwijaya terbukti
dengan adanya para pedagang Arab untuk kerajaan Sriwijaya dengan sebutan Zabak,
Zabay atau Sribusa. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de
Hollander, Syeh Muhammad Naquib Al-Attas[6]
dalam bukunya yang berjudul Islam dalam
Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh Islam di Indonesia
seperti Hamka.
b. Berita Eopa
Berita ini
datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang yang pertama kali
menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari cina menuju eropa
melalui jalan laut. Ia dapat tugas dari kaisar Cina untuk mengantarkan putrinya yang
dipersembagkan kepada kaisar Romawi, dari perjalannya itu ia singgah di
Sumatera bagian utara. Di daerah ini ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu kerajaan
Samudera dengan ibukotanya Pasai.[7] Diantara
sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouch Hurgronye, W.F.
Stutterheim,dan Bernard H.M. Vlekke.
c. Berita India
Berita ini
menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan penting
dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Karena disamping
berdagang mereka aktif juga mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada
setiap masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di
daerah pesisisr pantai. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah
Pijnappel, ia mengaitkan asal Islam Nusantara dengan wilayah Gujarat dan
Malabar, menurutnya orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yeng bermigrasi ke
India lah yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[8]
Kemudian teori ini dikembangkan oleh C. Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini,
diantaranya adalah Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van
Nieuwinhuize.[9]
d. Berita Cina
Berita ini
diketahui melalui catatan dari Ma Huan,
seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia
menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira-kira tahun 1400 telah ada
saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulai Jawa.[10]
T.W. Arnol pun mengatakan para pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di
Nusantara, ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad
awal Hijrah atau abad ke-7 dan ke-8 M. Dalam sumber-sumber Cina disebutkan
bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman
Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera (disebut Ta’shih).
e. Sumber dalam Negeri
Terdapat
sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkan berkembangnya pengaruh Islam
di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran (Gresik). Batu bersurat itu
menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu
itu memuat tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah Binti
Maimun tahun 475 (1082 M).[11]
Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696
H atau tahun 1297 M.[12]
Ketiga, makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419 M.
Jirat makan didatangkan dari Guzarat dan berisi tulisan-tulisan Arab.[13]
B.
Struktur Kekuasaan Dan
Budaya Politik
Setelah Islam
datang ke Nusantara, serta dengan runtuhnya kerajaan Hindu Bhuda, akhirnya
Islam menempati struktur pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra pasai, Peurlak, Malaka di sekitaran
Sumatra serta kerajaan Demak, karajaan Banten, Pajang di Jawa dan lain-lain.
Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam merupakan episode penting dalam islamisasi
di Nusantara. Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam menandai awal terintegrasinya
nilai-nilai Islam Secara intensif kedadalam sistem sosial dan politik
Nusantara.[14]
Seperti yang di
ungkapkan Denys Lombard, pada abad ke 15, islamisasi pantai utara menandai
sebuah tata ekonomi dan sosial baru. Pada abad ke 16, ketila sumber-sumber
barat membawa informasi tentang daerah tersebut terungkaplah betapa pentingnya
kota-kota pelabuhan dagang pesisir terutama kesultanan Banten dibarat.[15]
Untuk melacak
pembahsan diatas, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo bahwa untuk menunjuk buku
yang paling terdahulu yang paling berpengaruh barangkali publikasi Soejatmoko, An
Introduction to Indonesian Historiografy, yang memuat berbagai keterangan
mengenai sumber sejarah dan sumbangan berbagai disiplin untuk penulisan sejarah
, merupakan landasan intelektual yang penting.[16] Mengenai
hal ini para sejarawan menggunakan sumber-sumber utama seperti karya sastra
sejarah dalam bahasa kuno, bahasa Jawa Kawi, yaitu pararaton dan
Negarakertagama.[17]
Seperti yang di catat oleh H.J. de. Graaf, sumber-sumber yang di pakai dalam
merentruksi sejarah, baik politik sampai sejarah sosial di tanah Jawa antara
lain, Babad Tjirbon, Babad Diponegoro, Babad Gianti, Babad Pasir, Babad
Tanah Jawi, Sejarah Banten Sejarah Dalem,[18]
dan lain-lain
Sebagaimana
kerajaan di Sumatra, yakni Peurlak, sistem pemerintahannya pada dasarnya
mengikuti sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pemerintahan dipegang
oleh Sultan dengan dibantu Wazir, yaitu Wazir As-Siyasah (bidang
politik), Wazir Al-Harb (bidang keamanan pertahanan) Wazir
Al-Iqtishad,( bidang ekonomi), Wazir Al-Hukkam (bidang kehakiman).
Selain itu sebagai penasehat pemerintahan yang bertugas mendampingi Sultan dan
Wazirnya, dibentuk sebuah lembaga yang disebut Majelis Fatwa dibawah
pimpinan Mufti.[19]
A. C. Milner mengatakan bahwa bentuk pemerintahan
Melayu-Muslim yaitu kerajaan yang berpusat pada raja, yang sangat ceremonial
sangat bertentangan dengan citra sebuah negara Islam sebagai komunitas
orang-orang beriman yang diatur oleh hukum syari’at. Kerajaan itu juga memiliki
akar-akar yang dalam pada masa pra-Islam. Menurutnya martabat raja Melayu tidak
banyak berubah dengan datangnya Islam.[20]
Sejalan dengan pendapat Milner diatas, dapat diketahui
bahwa corak budaya masyarakat saat itu, masih erat dengan mistik. Hal ini dapat
dibuktikan dengan ulama’-ulama tasawuf yang dianggap pandai dengan tasawuf dan
mistisisme, sehingga selanjutnya karena pengaruh-pengaruh tersebut dan juga
mungkin pengaruh Indianisme menganggap bahwa raja adalah “Manusia Sempurna”.[21] Bagaimanapun
konsep Dewa-Raja yang berasal dari unsur agama Hindu itu dianggap cocok dengan
kondisi sosio-politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Sebab dengan konsep itu
bukan saja seorang Raja dipandang sebagai penjelmaan dari Dewa, biasanya Wisnu
atau Indra, tetapi juga Raja dianggap sebagai pusat kekuasaan dunia yang secara
konsentris dikelilingi oleh jaringan birokrasi, struktur demografi, dan pola
geografi dari kerajaan itu, adapun pusat kekuasaan seorang Raja.
Konsep lain yang
diadopsi dari kebudayaan India adalah gagasan tentang Boddhisattva dalam agama
Buddha. Dengan gagasan ini para Raja di Indonesia dan Asia Tenggara
mengidentikkan dirinya dengan Sang Buddha yang tercerahkan dan dengan sukarela
meninggalkan Nirwana untuk membantu pembebasan spiritual umat manusia di dunia
(Milner, 1989 :48-71).[22]
Sementara itu
minat para Raja di Indonesia dan Asia Tenggara pada gagasan “manusia
sempurna” (insan al-kamil) dari para
sufi, segera muncul ke permukaan dengan pemakaian aneka gelar dan kisah-kisah
kejadian yang mengagumkan. Sultan Alauddin Ri’ayat Shah dari Aceh, misalnya,
mendapat gelar Sayyidi al-Mukammil atau “Tuanku yang sempurna”.[23]
Sedangkan mengenai hukum-hukum yang ada
pada kerajaan-kerajaan saat itu, seperti di Aceh, Shariah hanya memainkan
peranan yang sangat terbatas. Teks-teks hukum disana lebih menyangkut lembaga
kerajaan (kingship) dibanding penjelasan dengan shari’ah.[24] Ketentuan-ketentuan
hukum atau ringkasan –ringkasan hukum yang mempunyai nilai yang sering disebut
di Nusantara, sering disebut undang-undang, yang mencakup sedikit
unsur-unsur hukum Islam dan kadang-kadang tidak ada sama sekali. Buku-buku
ringkasan hukum-hukum Melayu mengandung proporsi shari’ah yang cukup besar,
tetapi komponen shari’ah terbatas terutama kepada masalah-masalah perkawinan
dan perdagangan. Dan apabila menyangkut hukum pidana, hukuman-hukuman Islam
disarankan hanaya sebagai alternatif-alternatif bagi adat setempat. Dalam kasus
hukuman mencuri misalnya, undang-undang Malaka, kitab ringkasan Malaka
merekomendasikan suatu denda, tetapi teks memberikan ulasan bahwa “Menurut
Hukum Tuhan” tangan pencuri harus dipotong.[25]
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azzumardy, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana, 2007.
Azra, Azzumardi. Renaisans Islam Asia
Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Rosda, 1999
Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh
Dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Bottoms, J. C. “Beberapa Sumber Sejarah
Melayu”, dalam Soejatmoko, dkk (eds). Historiografi
Indonesia: Sebuah Pengantar. 137-166.
Jakarta: Gramedia, 1995
Djajadiningrat, P.A. Hoesain. Tinjauan
Kritis Tentang Sejarah Banten, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983
Graaf, H. J. De. “Sumber-Sumber Sejarah
Pulau Jawa Dari Zaman Mataram dan Historiografi, dalam Soejatmoko dkk (Eds). Historiografi
Islam: Sebuah Pengantar. 99-116
Kuntowijoyo, Metodologi
Sejarah. Edisi pertama. Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang
Budaya , Batas-batas Pembaratan I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh:
Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Terjemahan. Jakarta: PT
Balai Pustaka. 1991
Milner, A.C. “Islam dan Martabat Raja
Melayu”. Islam di Asia Tenggara: Perseptif
Sejarawan. Eds. Ahmad
Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain [eds.]. Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah.
Terjemahan. Jakarta: LP3ES, 1989.
Milner, A. C. “Islam dan Negara Muslim”.
Perspektif Islam di Asia Tenggara. Ed. Azzumardy Azra. 145-180. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989
Poespopronjo. Subyektifitas Dalam
historiografi. Bandung,: CV Karya
Remadja, 1987
Riclefs, M. C. Sejarah
Indonesia Modern, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008
Sjamsuddin, Helius.
Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. 2007.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Saifullah, Sejarah Kebudayaan Islam
di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Tjandrasasmita, Uka (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1984
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007
[2]. Helius Sjamsuddin. Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Ombak. 2007. Hal. 320
[3]. Kennet W. Morgan
menjelaskan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang Islam di Indonesia
mula-mula sekali adalah dalam berita Marcopolo. Dalam perjalanannya kembali ke
Venezia pada tahun 692 (1292 M), Marcopolo setelah bekerja pada Kubilai Khan di
Tiongkok, singgah di perlak, sebuah kota dipantai utara Sumatra. Menurut
Marcopolo, penduduk perlak pada waktu itu diislamkan oleh pedagang yang da
sebut kaum Saracen. (P.A. Hoesain Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang
Sejarah Banten, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.119).
[4]. Husayn Ahmad Amin, Seratus
Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 232).
[5]. Uka Tjandrasasmita (Ed.),
Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm,
122.
[6]. Dijelaskan
dalam, Azzumardy Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 7-10
[7]. Samudera Pasai merupakan
kerajaan yang menjadikan dasar negaranya
Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Kerajaan Samudera Pasai ini dirintis oleh Malik
Ash-Shaleh/Meurah Silo (659-688 H./1261-1289 M). Negeri ini makmur dan kaya, di
dalamnya telah terdapat sistem pemerintahan yang teratur, seperti
terdapatnya angkatan tentara laut dan darat.
(Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban
Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hlm. 195)
[8]. Azzumardy
Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, hal. 2
[9]. Ibid, hal. 191
[10]. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de
Eradie seorang scientist Spanyol. (Dedi
Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, hal. 191)
[12]. Ibid, hal. 5
[14]. Saifullah, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia
Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hal. 25
[15]. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya ,
Batas-batas Pembaratan I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Hal. 19
[17]. J. C. Bottoms. “Beberapa Sumber Sejarah Melayu”,
dalam Soejatmoko, dkk (eds). Historiografi
Indonesia: Sebuah Pengantar. 137-166. Jakarta: Gramedia, 1995. Hal. 137
[18]. H. J. De Graaf. “Sumber-Sumber Sejarah Pulau
Jawa Dari Zaman Mataram dan Historiografi, dalam Soejatmoko dkk (Eds). Historiografi
Islam: Sebuah Pengantar. 99-116. Hal. 114-115
[19]. Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam,
hal. 194
[20]. A. C. Milner, “Martabat Raja-raja Melayu”. Islam
di Asia Tenggara: Perseptif Sejarawan.
Eds. Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yamin Hussain. Hal. 52
[21]. Indikasi-indikasi lebih lanjut mengenai minat raja
Melayu pada “Manusia Sempurna” dapat
ditemukan dalam Malay Annals. (A. C. Milner, “Martabat Raja-raja Melayu”.
Islam di Asia Tenggara: Perseptif
Sejarawan. Eds. Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yamin Hussain. Hal.
64)
[22]. A.C. Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu”
dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain [eds.]. Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah.
Terjemahan. Jakarta: LP3ES, 1989.
[23]. Deys Lombard. Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Terjemahan. Jakarta: PT Balai Pustaka. 1991. Hal. 26
[24]. A. C. Milner, “Islam dan Negara Muslim”.
Perspektif Islam di Asia Tenggara. Ed. Azzumardy Azra. 145-180. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989. Hal. 150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar