Powered By Blogger

Selasa, 22 November 2011

SEJAARAH POLITIK NEGARA-NEGARA ISLAM DI NUSANTARA PERSPEKTIF HISTORIOGRAFI ISLAM


SEJAARAH POLITIK NEGARA-NEGARA ISLAM DI NUSANTARA PERSPEKTIF HISTORIOGRAFI ISLAM
Historiografi atau penulisan sejarah dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarah. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan bagian terakhir. Langkah terakhir, tetapi langkah terberat, karena di bidang ini letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi dirinya sebagai suatu bentuk di siplin ilmiah[1].
Historiografi tidak terlepas dari data – data yang mendukung guna penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan sumber-sumber yang telah tersedia terhadap kajian-kajian kritis yang ada. Metode- metode dan pendekatan-pendekatan yang di dapat atau telah terbukti di manfaatkan untuk mempelajari bahan-bahan dan terhadap masalah teoritis yang berkaitan dengan penulisan sejarah.
            Begitu banyak peristiwa yang dialami oleh umat Islam Nusantara. Mulai dari datangnya Islam ke Nusantara bahkan sampai abad-abad pembaharuan Islam yaitu zaman Nuruddin Ar-Raniri, Abd. Rauf Singkel, Samsuddin Sumatrani dan ulama’-ulama’ yang sezaman dengan mereka bahkan sampai abad ke-19 an, diantaranya yaitu, Syekh Ahmad Khatip Minangkabawi, Syekh Nawawi AL-Bantani serta ulama-ulama sezamannya. Sayangnya sedikit sekali masyarakat  Nusantara yang menjadi aktor sezaman tidak menulis peristiwa-peristiwa tersebut. Tradisi menulis di Nusantara memang sudah berkembang lama namun sayangnya kurang begitu diminati. Penulisan sebuah peristiwa merupakan sesuatu yang penting, karena untuk merekam sebuah keadaan zaman agar bisa diketahui oleh masa selanjutnya.



A.      Kedatangan Islam Ke Nusantara Dan Hubungannya Dengan Politik Negara-Negara Islam Di Nusantara
Dalam membahas tentang politik dan suasana negara-negara Islam di Nusantara saat itu tentunya tidak dapat dipisahkan dengan kedatangan Agama Islam ke Nusantara. Mengenai metode  tentang bahasan ini Helius Sjamsuddin menawarkan analisis kritis-ilmiah karena sejarah model baru telah menggunakan pendekatan dari berbagai ilmu-ilmu sosial. Menurut kartodirjo yang dikutip Helius mengatakan bahwa cakrawala analisis semakin luas dan mendalam karena yang dibahas seperti soal struktur kekuasaan, kepemimpinan, para elit, otoritas, budaya politik, proses mobilisasi, jaringan-jaringan politik dalam hubungannya dengan sistem sosial, ekonomi dan sebagainya.[2]
Sebagaimana kita ketahui bahwa wilayah kekuasaan Nusantara sangat luas, tentunya dapat dipastikan bahwa kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para Tokoh yang mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang  barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia. Tokoh-tokoh itu diantaranya, Marcopolo,[3]Muhammad Ghor, Ibnu Bathuthah,[4] Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted.[5]Sedangkan sumber-sumber pendukung Masuknya Islam di Indonesia diantaranya adalah:
a. Berita dari Arab
Berita ini diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitas perdagangan dengan bangsa Indonesia. Pedagang Arab  Telah datang ke Indonesia sejak masa kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka pada waktu itu. Hubungan pedagang Arab dengan kerajaan Sriwijaya terbukti dengan adanya para pedagang Arab untuk kerajaan Sriwijaya dengan sebutan Zabak, Zabay atau Sribusa. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, Syeh Muhammad Naquib Al-Attas[6] dalam bukunya yang berjudul  Islam dalam Sejarah  Kebudayaan Melayu  dan mayoritas tokoh-tokoh Islam di Indonesia seperti Hamka.
b. Berita Eopa
Berita ini datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang yang pertama kali menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari cina menuju eropa melalui jalan laut. Ia dapat tugas dari kaisar Cina  untuk mengantarkan putrinya yang dipersembagkan kepada kaisar Romawi, dari perjalannya itu ia singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah ini ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudera dengan ibukotanya Pasai.[7] Diantara sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouch Hurgronye, W.F. Stutterheim,dan Bernard H.M. Vlekke.


c.  Berita India
Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Karena disamping berdagang mereka aktif juga mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada setiap masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisisr pantai. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, ia mengaitkan asal Islam Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar, menurutnya orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yeng bermigrasi ke India lah yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[8] Kemudian teori ini dikembangkan oleh C. Snouch Hurgronye. Pendukung teori ini, diantaranya adalah Dr. Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A. Kern, dan C.A.O. Van Nieuwinhuize.[9]
d. Berita Cina
Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan,  seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira-kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai  utara Pulai Jawa.[10] T.W. Arnol pun mengatakan para pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijrah atau abad ke-7 dan ke-8 M. Dalam sumber-sumber Cina disebutkan bahwa pada abad ke-7 M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera (disebut Ta’shih).
e.  Sumber dalam Negeri
Terdapat sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkan berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran (Gresik). Batu bersurat itu menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagian tulisannya telah rusak. Batu itu memuat tentang meninggalnya seorang perempuan yang bernama Fatimah Binti Maimun tahun 475 (1082 M).[11] Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh di Sumatera Utara  yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H atau tahun 1297 M.[12] Ketiga, makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419 M. Jirat makan didatangkan dari Guzarat dan berisi tulisan-tulisan Arab.[13]
B.       Struktur Kekuasaan Dan Budaya Politik
Setelah Islam datang ke Nusantara, serta dengan runtuhnya kerajaan Hindu Bhuda, akhirnya Islam menempati struktur pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra pasai, Peurlak, Malaka di sekitaran Sumatra serta kerajaan Demak, karajaan Banten, Pajang di Jawa dan lain-lain. Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam merupakan episode penting dalam islamisasi di Nusantara. Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam menandai awal terintegrasinya nilai-nilai Islam Secara intensif kedadalam sistem sosial dan politik Nusantara.[14]
Seperti yang di ungkapkan Denys Lombard, pada abad ke 15, islamisasi pantai utara menandai sebuah tata ekonomi dan sosial baru. Pada abad ke 16, ketila sumber-sumber barat membawa informasi tentang daerah tersebut terungkaplah betapa pentingnya kota-kota pelabuhan dagang pesisir terutama kesultanan Banten dibarat.[15]
Untuk melacak pembahsan diatas, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo bahwa untuk menunjuk buku yang paling terdahulu yang paling berpengaruh barangkali publikasi Soejatmoko, An Introduction to Indonesian Historiografy, yang memuat berbagai keterangan mengenai sumber sejarah dan sumbangan berbagai disiplin untuk penulisan sejarah , merupakan landasan intelektual yang penting.[16] Mengenai hal ini para sejarawan menggunakan sumber-sumber utama seperti karya sastra sejarah dalam bahasa kuno, bahasa Jawa Kawi, yaitu pararaton dan Negarakertagama.[17] Seperti yang di catat oleh H.J. de. Graaf, sumber-sumber yang di pakai dalam merentruksi sejarah, baik politik sampai sejarah sosial di tanah Jawa antara lain, Babad Tjirbon, Babad Diponegoro, Babad Gianti, Babad Pasir, Babad Tanah Jawi, Sejarah Banten Sejarah Dalem,[18] dan lain-lain
Sebagaimana kerajaan di Sumatra, yakni Peurlak, sistem pemerintahannya pada dasarnya mengikuti sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pemerintahan dipegang oleh Sultan dengan dibantu Wazir, yaitu Wazir As-Siyasah (bidang politik), Wazir Al-Harb (bidang keamanan pertahanan) Wazir Al-Iqtishad,( bidang ekonomi), Wazir Al-Hukkam (bidang kehakiman). Selain itu sebagai penasehat pemerintahan yang bertugas mendampingi Sultan dan Wazirnya, dibentuk sebuah lembaga yang disebut Majelis Fatwa dibawah pimpinan Mufti.[19]
            A. C. Milner mengatakan bahwa bentuk pemerintahan Melayu-Muslim yaitu kerajaan yang berpusat pada raja, yang sangat ceremonial sangat bertentangan dengan citra sebuah negara Islam sebagai komunitas orang-orang beriman yang diatur oleh hukum syari’at. Kerajaan itu juga memiliki akar-akar yang dalam pada masa pra-Islam. Menurutnya martabat raja Melayu tidak banyak berubah dengan datangnya Islam.[20]
            Sejalan dengan pendapat Milner diatas, dapat diketahui bahwa corak budaya masyarakat saat itu, masih erat dengan mistik. Hal ini dapat dibuktikan dengan ulama’-ulama tasawuf yang dianggap pandai dengan tasawuf dan mistisisme, sehingga selanjutnya karena pengaruh-pengaruh tersebut dan juga mungkin pengaruh Indianisme menganggap bahwa raja adalah “Manusia Sempurna”.[21] Bagaimanapun konsep Dewa-Raja yang berasal dari unsur agama Hindu itu dianggap cocok dengan kondisi sosio-politik di Indonesia dan Asia Tenggara. Sebab dengan konsep itu bukan saja seorang Raja dipandang sebagai penjelmaan dari Dewa, biasanya Wisnu atau Indra, tetapi juga Raja dianggap sebagai pusat kekuasaan dunia yang secara konsentris dikelilingi oleh jaringan birokrasi, struktur demografi, dan pola geografi dari kerajaan itu, adapun pusat kekuasaan seorang Raja.
Konsep lain yang diadopsi dari kebudayaan India adalah gagasan tentang Boddhisattva dalam agama Buddha. Dengan gagasan ini para Raja di Indonesia dan Asia Tenggara mengidentikkan dirinya dengan Sang Buddha yang tercerahkan dan dengan sukarela meninggalkan Nirwana untuk membantu pembebasan spiritual umat manusia di dunia (Milner, 1989 :48-71).[22]
Sementara itu minat para Raja di Indonesia dan Asia Tenggara pada gagasan “manusia sempurna”  (insan al-kamil) dari para sufi, segera muncul ke permukaan dengan pemakaian aneka gelar dan kisah-kisah kejadian yang mengagumkan. Sultan Alauddin Ri’ayat Shah dari Aceh, misalnya, mendapat gelar Sayyidi al-Mukammil atau “Tuanku yang sempurna”.[23] Sedangkan  mengenai hukum-hukum yang ada pada kerajaan-kerajaan saat itu, seperti di Aceh, Shariah hanya memainkan peranan yang sangat terbatas. Teks-teks hukum disana lebih menyangkut lembaga kerajaan (kingship) dibanding penjelasan dengan shari’ah.[24] Ketentuan-ketentuan hukum atau ringkasan –ringkasan hukum yang mempunyai nilai yang sering disebut di Nusantara, sering disebut undang-undang, yang mencakup sedikit unsur-unsur hukum Islam dan kadang-kadang tidak ada sama sekali. Buku-buku ringkasan hukum-hukum Melayu mengandung proporsi shari’ah yang cukup besar, tetapi komponen shari’ah terbatas terutama kepada masalah-masalah perkawinan dan perdagangan. Dan apabila menyangkut hukum pidana, hukuman-hukuman Islam disarankan hanaya sebagai alternatif-alternatif bagi adat setempat. Dalam kasus hukuman mencuri misalnya, undang-undang Malaka, kitab ringkasan Malaka merekomendasikan suatu denda, tetapi teks memberikan ulasan bahwa “Menurut Hukum Tuhan” tangan pencuri harus dipotong.[25]


DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azzumardy, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana, 2007.
Azra, Azzumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Rosda, 1999
Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Bottoms, J. C. “Beberapa Sumber Sejarah Melayu”, dalam  Soejatmoko, dkk (eds). Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. 137-166.  Jakarta: Gramedia, 1995
Djajadiningrat, P.A. Hoesain. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983
Graaf, H. J. De. “Sumber-Sumber Sejarah Pulau Jawa Dari Zaman Mataram dan Historiografi, dalam Soejatmoko dkk (Eds). Historiografi Islam: Sebuah Pengantar. 99-116
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Edisi pertama. Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994  
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya , Batas-batas Pembaratan I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Terjemahan. Jakarta: PT Balai Pustaka. 1991
Milner, A.C. “Islam dan Martabat Raja Melayu”. Islam di Asia Tenggara: Perseptif  Sejarawan. Eds.  Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain [eds.].  Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah. Terjemahan. Jakarta: LP3ES, 1989.
Milner, A. C. “Islam dan Negara Muslim”. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Ed. Azzumardy Azra. 145-180. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989
Poespopronjo. Subyektifitas Dalam historiografi. Bandung,: CV  Karya Remadja, 1987
Riclefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008
Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. 2007.  
Supriyadi, Dedi.  Sejarah Peradaban Islam,  Bandung: Pustaka Setia, 2008
Saifullah, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Tjandrasasmita, Uka (Ed.),  Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007


[1]. W. Poespopronjo,  Subyektifitas Dalam historiografi, (Bandung,: CV  Karya Remadja, 1987), Hal 1
[2]. Helius Sjamsuddin. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. 2007. Hal. 320
[3]. Kennet W. Morgan menjelaskan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang Islam di Indonesia mula-mula sekali adalah dalam berita Marcopolo. Dalam perjalanannya kembali ke Venezia pada tahun 692 (1292 M), Marcopolo setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah di perlak, sebuah kota dipantai utara Sumatra. Menurut Marcopolo, penduduk perlak pada waktu itu diislamkan oleh pedagang yang da sebut kaum Saracen. (P.A. Hoesain Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.119).
[4]. Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 232).
[5].  Uka Tjandrasasmita (Ed.),  Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm, 122.
[6]. Dijelaskan dalam, Azzumardy Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 7-10
[7]. Samudera Pasai merupakan kerajaan yang menjadikan dasar  negaranya Islam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Kerajaan Samudera Pasai ini dirintis oleh Malik Ash-Shaleh/Meurah Silo (659-688 H./1261-1289 M). Negeri ini makmur dan kaya, di dalamnya telah terdapat sistem pemerintahan yang teratur, seperti terdapatnya angkatan tentara  laut dan darat. (Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam,  (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 195)
[8]. Azzumardy Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, hal. 2
[9]. Ibid, hal. 191
[10]. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Eradie seorang scientist Spanyol. (Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, hal. 191)
[11]. M. C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal. 4
[12]. Ibid, hal. 5
[13]. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 191-192  
[14]. Saifullah, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Hal. 25
[15]. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya , Batas-batas Pembaratan I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Hal. 19
[16]. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Edisi pertama. Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994. Hal. 5  
[17]. J. C. Bottoms. “Beberapa Sumber Sejarah Melayu”, dalam  Soejatmoko, dkk (eds). Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. 137-166.  Jakarta: Gramedia, 1995. Hal. 137
[18]. H. J. De Graaf. “Sumber-Sumber Sejarah Pulau Jawa Dari Zaman Mataram dan Historiografi, dalam Soejatmoko dkk (Eds). Historiografi Islam: Sebuah Pengantar. 99-116. Hal. 114-115
[19]. Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, hal. 194
[20]. A. C. Milner, “Martabat Raja-raja Melayu”. Islam di Asia Tenggara: Perseptif  Sejarawan. Eds. Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yamin Hussain. Hal. 52
[21]. Indikasi-indikasi lebih lanjut mengenai minat raja Melayu pada “Manusia Sempurna” dapat ditemukan dalam Malay Annals. (A. C. Milner, “Martabat Raja-raja Melayu”. Islam di Asia Tenggara: Perseptif  Sejarawan. Eds. Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yamin Hussain. Hal. 64)
[22]. A.C. Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Hussain [eds.].  Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah. Terjemahan. Jakarta: LP3ES, 1989.
[23]. Deys Lombard.  Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Terjemahan. Jakarta: PT Balai Pustaka. 1991. Hal. 26
[24]. A. C. Milner, “Islam dan Negara Muslim”. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Ed. Azzumardy Azra. 145-180. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989. Hal. 150
[25]. Ibid. hal. 149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar