Powered By Blogger

Senin, 09 Januari 2012


“Khazanah Sejarah Mengokohkan Jati Diri Bangsa yang Humanis”
Oleh: M. Rahmatullah
öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9
Hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
( Q.S. Al Hasyr: 18)

Kebesaran Nusantara sebagai bangsa tidak serta merta muncul seperti yang kita lihat saat ini, yakni melalui sejarah panjang yang ditempuh para leluhur. Sejarah yang menunjukkan akan cintanya kepada bangsa yang damai, aman dan sejahtera. Nampaknya belakangan ini kita dikejutkan dengan kejadian-kejadian yang sama sekali tidak manusiawi, atas nama Agama, idiologi, suku dan sebagainya. Sudah dapat dipastikan kurangnya menyelami arti sejarah membuat bangsa ini kerdil, serta memahami arti kebangsaan secara parsial. Tanpa kesadaran sejarah ini. Ke-Indonesia-an kita hanyalah merupakan wadah yang hampa, jika tidak hati-hati, ke-Indonesia-an kita dapat hancur berantakan, karena kelalaian dan kelengahan kita sendiri.
Mereka yang tidak mengambil pengalaman sejarah, akan dipaksa untuk mengulangi kekeliruan-kekeliruan masa lalu, dengan harga yang sangat tinggi. Karena itu. kita harus banyak mengenal sejarah. Dari perspektif sejarah ini. kita harus sadar bahwa apa yang kita capai sekarang, sebenarnya merupakan puncak dari perjuangan panjang dalam membangun persatuan. Kita dapat menelusuri tekad bersatu, misalnya dari Sumpah Palapa, oleh Maha Patih Gajah Mada, hampir 700 ratus tahun yang lalu, perjuangannya untuk mewujudkan persatuan Nusantara bukanlah usaha yang mudah. Jangan kita lupakan bahwa yang dinamakan suatu bangsa atau nation itu bersandar pada kesatuan tekad untuk hidup sebagai bangsa, kepada persamaan sejarah dan nasib, kepada perasaan bersatu bahwa kita merupakan suatu ikatan, keluarga besar bangsa. Tekad adalah pendorong atau daya juang yang memberi motivasi, dan melandasi pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat.
A.      Khazanah Sejarah Bangsa
Sebagai suatu bangsa tentunya kita dituntut mengerti siapa kita sebenarnya, konon kita bukan penduduk asli Nusantara, yakni pendatang. Menurut penelitian arkeologi dan ilmu genetika penghuni Nusantara ini berasal dari rumpun Austronesia[1], terlepas dari kebenaran penelitian tersebut kemudian mereka mengelompok menjadi masyarakat-masyarakat kecil yang pada puncaknya mereka mendirikan suatu kerajaan sebagai perwujudan dari persatuan dan tekad yang dimiliki bersama. Masih timbul pertanyaan, apakah kerajaan-kerajaan awal Nusantara adalah Hindu-Budha ataukah sudah ada kerajaan yang beragama nenek moyang ( Animisme-dinamisme ). Namun berdasarkan sumber-sumber sejarah yang telah mapan, kerajaan-kerajaan Hindu-Budha lah yang mengawali kerajaan Nusantara, yakni kerajaan Kutai, disusul oleh kerajaan Tarumanegara, Kalingga, Mataram Hindu, Sriwijaya, dan diakhiri dengan kerajaan Pajajaran dan Majapahit. Dilanjutkan kerajaan-kerajaan Islam, masa kolonial Eropa, baik portugis ataupun sampai Belanda, masa Jepang, kemerdekaan hingga sekarang menjadi Negara berdaulat dengan tanpa penjajahan yaitu “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”.
Meminjam perkataan Ernest[2], bahwa Bangsa adalah sekelompok manusia yang punya kehendak untuk bersatu karena mempunyai nasib dan penderitaan yang sama pada masa lampau dan mereka mempunyai cita-cita yang sama tentang masa depannya. Sebagai suatu bangsa, secara tidak langsung Nusantara telah memproklamirkan diri sejak Kutai berdiri, namun dalam rangka mengibarkan semangat nasionalisme sebagai warga negara sepertinya belum nampak. Kesadaran masyarakat terhadap nasionalisme berbangsa dan bernegara baru kelihatan pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya. Sebagai Negara merdeka, ia memegang kekuasaan Negara dan berusaha menciptakan rasa aman terhadap rakyat serta memberikan kesejahteran kepadanya. Kemudian mereka selalu membendung bahaya serangan yang mengancam Negaranya, baik penguasa maupun masyarakat demi  kebesaran Negara.
Sekitar abad ke-13, disusul dengan semangat persatuan Sang Maha Patih Gajah Mada dengan Amukti Palapa yang menggemparkan, bisa kita bayangkan kalimat yang tertera dalam sumpah itu bukanlah tugas yang semudah membalikkan telapak tangan, jika tanpa semangat nasionalisme yang tinggi, bisa dipastikan ia gagal dalam melaksanakannya. Sumpah itu selengkapnya berbunyi demikian:
Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ing Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa[3]
Sepertinya tidak muluk-muluk jika Amukti Palapa atau Gajah mada sendiri disebut sebagai peletak pertama konsep kesatuan Nusantara. Usaha memperluas wilayah itupun merupakan salah satu manifestasi semangat nasionalisme yang melanggar kedaulatan negara lain. Karena pada dasarnya perjuangan ini ditujukan untuk keagungan Majapahit.[4]
Semangat nasionalisme yang sangat mengakar tersebut menjadi luntur diabad-abad selanjutnya, yakni pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I. Dengan memihak kepada kolonial Belanda serta memusuhi Islam yang pada puncaknya kerajaan terpecah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta.[5] Pudarnya semangat nasionalisme pada kerajaan Mataram ini juga yang diduga akar dari kolonialme Belanda, yang dimulai dengan perjajian Jepara[6] antara Amangkurat II dan Cornelus Speelman (militer Belanda). Klimaks dari kejadian ini adalah penarikan beaya oleh Belanda langsung kepada rakyat ketika pemerintahan Pakubuwono II atas bantuannya dalam menumpas pemberontakan China.
Setelah sekian lama Nusantara diinjak-injak oleh kolonialisme, keinginan merdeka dan semangat kebangsaan Nusantara bangkit kembali. Kesadaran nasional ini ditandai dengan munculnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, namun hal ini dibantah oleh Ahmad Mansur Suryanegara, ia menuturkan bahwa kebangkitan kesadaran nasional sudah dimulai 3 tahun sebelumnya oleh H.Samanhudi dengan mendirikan Serikat dagang Islam ( SDI ).[7] Terlepas dari kebenaran dan perdebatan sejarawan siapa yang menjadi pelopor pengibar semangat nasionalisme ini, semangat nasionalisme untuk merdekapun semakin tumbuh subur, hal ini terbukti dengan semangat pemuda yang bersumpah atas nama bangsa Indonesia yaitu Sumpah Pemuda, tepat pada 28 Oktober 1928 M. Sejak itulah muncullah tokoh-tokoh bangsa yang dikemudian hari membawa Indonesia merdeka, seperti: M. Yamin, M. Hatta, Sutan Syahrir, Soekarno dan sebagainya. Dari semangat kebangsaan para pemuda inilah pada klimaksnya bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tepat pada 17 Agustus 1945.
B.       Sejarah Sebagai Modal Pembentuk Jati Diri Bangsa
Tentunya kita masih ingat kata-kata yang dilontarkan prokamator Soekarno “JASMERAH: Jangan Lupakan Sejarah”. Kata tersebut mengindikasikan bahwa sebagai suatu bangsa, kita memang tidak bisa lepas dari sejarah bangsa itu sendiri. Sebagaimana telah ditulis diatas bahwa bangsa yang lupa sejarahnya akan terombang ambing karena tidak mempunyai dasar untuk melangkah serta tidak mempunyai pandangan kedepan untuk menentukan arah hidup berbangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa Indonesia adalah kumpulan masyarakat yang bermacam-macam, baik dari segi Agama, Suku, budaya, bahasa dan lain-lain. Maka Soekarno memilih falsafah Jawa dari kitab Sotasoma yaitu “Bhineka Tunggal Ika” sekaligus sebagai motto persatuan bangsa Indonesia. Kata itu berarti : “berbeda-beda namun hakekatnya satu”. Ini artinya, bahwa sejak dahulu nasionalisme dari keberagaman sudah menjadi jiwa serta semangat bangsa negeri ini.
Dengan motto persatuan bangsa yang dintarkan Bhineka Tunggal Ika sampai sekarang kita tetaplah menjadi bangsa yang besar meskipun diketahui bahwa bangsa ini sangat beragam tapi tetap satu. Dan dikuatkan dengan semangat pemuda tahun 1928 serta proklamasi kemerdekaan dalam bingkai persatuan kesatuan bangsa secara total. Hal ini tidak terlepas dari pembentuk jati diri bangsa Indonesia.
Dengan demikian, persatuan bangsa ini selanjutnya mempunyai dasar negara yang akan disepakati bersama. Wujud dari dasar itu terbentuklah dengan nama “Pancasila”. Yaitu dasar negara yang telah dirumuskan oleh golongan nasionalis-Agama (Islam). Dapat dipahami bahwa jika Pancasila ini sudah benar-benar menjadi dasar dari negara Indonesia maka tidak dapat dipungkiri Negara ini akan aman, damai dan sejahtera seperti masa-masa kejayaan Nusantara di masa lalu.
C.      Refleksi Dari Sejarah
Keagungan Indonesia sebagai bangsa sesuai diisyaratkan diatas, dibangun berdasarkan historis penting, yang mencakup rasa senasib seperjuangan dengan cita-cita yang ingin dicapai bersama. Saya yakin, jika semangat persatuan tersebut dibangkitkan dan dikembangkan kembali Indonesia dapat meraih kejayaannya seperti masa kejayaan Nusantara dahulu. Seperti diketahui, nampaknya rasa persatuan dan kesatuan itu telah memudar, hal ini dibuktikan dengan kekerasan atas nama Agama, ideologi, suku dan sebagainya belakangan ini. kita masih sering mendengar perang antar suku, bahkan belum lama ini kekerasan terjadi karena masalah ideologi, bahkan yang lebih ironis bentrok antar pelajar dan sebagainya. Bahkan jika ditelaah secara mendalam, secara tidak sadar bangsa ini menjadi terkotak-kotak karena hal tersebut.
Sebagai bangsa seharusnya kita sadar, bagaimana para leluhur mengajarkan sifat bijak serta Founding Father bangsa ini memperjuangkan kebesaran Indonesia dengan menyuarakan Nasionalisme Indonesia, menurut Azra adalah bahwa puncak nasionalisme ini tercapai pada masa Soekarno. Berkat kemampuan intelelektaulanya dan retorikanya, ia berhasil menggelorakan nasionalisme dalam membebaskan diri dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Barat. Tidak kalah pentingnya, semangat Nasionalisme oleh kaum Agamis yang dikibarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihadnya.   Mereka mengajarkan rasa kebersamaan, membangun hidup harmonis dalam masyarakat melalui berbagai macam perbedaan yang ada. Baik latar belakang, ekonomi, pendidikan, agama, politik, suku dan sebagainya. Maka dengan motto Bhineka Tunggal Ika marila kita kobarkan semangat kebangsaan dengan menjadi bangsa “satu”
Apalagi masih sering muncul dalam kehidupan kita dengan menganggap bahwa dirinya paling benar dan tidak mengakui keberadaan yang lain. Tidak memahami perbedaan dengan benar. Lalu semua mengaku dirinya paling benar agar bisa diakui bahwa dirinyalah yang terbaik. Melihat realitas yang terjadi ini, sangat ironis bagi sejarah bahwa semangat Nasionalisme bangsa ini telah tergantikan oleh egoisme kesukuan, kelompok bahkan Agama kemudian nasionalisme yang selama ini tumbuh subur menjadi kering dan cenderung pasif.
Jika hal ini adalah penyakit bagi Indonesia. Apakah kita akan selalu terkotak-kotakkan oleh egoisme kesukuan ?? Egoisme kelompok ??? Egoaisme ideologi ?? Atau bahkan Agama ???. permasalahan tersebut adalah PR bagi kita. !!!!!
***



[1]. Austronesia yaitu mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos (jamak: nesia) yang berarti "pulau" (http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Austronesia)
[2]. ia adalah seorang filsuf yang terkenal karena karya-karya berpengaruh pada sejarah Kekristenan awal dan teori politiknya, terutama mengenai nasionalisme dan identitas nasional.
[3]. Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit ( Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2007 ), hlm. 254.
[4]. Slamet Muljana, Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Yogyakarta: LkiS Pelangi Angkara, 2008), hlm. 4.
[5]. Ahwan Mukarrom, Kerajaan-Kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Fak. Adab. SPI. IAIN Sunan Ampel), hlm. 96. Kebencian Amangkurat I terhadap Islam ini terbukti dengan pembunuhan besar-besaran terhadap Ulama dan keluarganya di alun-alun Pleret pada tahun 1670 M, sebagaima yang dikutip Van Goens dari tulisan Ahmad Adaby Darban “ Perlawana Kyai Kajoran Terhadap Sunan Amangkurat I. Tidak kurang dari 6000 Ulama dan keluarganya tewas dibunuh.
[6]. Ibid. hlm. 97. Isi perjanjian Jepara diantaranya sebagai berikut: pertama, daerah timur Karawang sampai Panarukan diserahkan kepada Belanda. Kedua, Amangkurat II mengakui berhutang kepada Belanda 250.000 real Spanyol 3000 Koyan dan mengganti biaya perang Belanda sebanyak 20.000 real tiap bulan. Ketiga, daerah ujung timur pantai utara Jawa hingga karawang menjadi daerah pengawasan Belanda. Keempat, segala import kain Jawa dimonopoli Belanda.
[7]. Lebih lanjut baca Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri, hlm. 339-369.