Powered By Blogger

Minggu, 05 Desember 2010

"SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN TIPE TRADITIONAL"


A.      PENGERTIAN  PESANTREN TRADISIONAL
Secara bahasa pesantren berasal dari kata “pe-santri-an”, yang mana kata santri tersebut berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan sedangkan menurut C. C Berg  kata santri berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu, kemudian berubah menjadi santri yang berarti murid dalam bahasa jawa,[1] maka pesantren dapat diartikan sebagai tempat sanri atau murid.
Sedangkan kata tradsisional berasal dari kata dasar tradisi yang berarti tatanan, budaya atau adat yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. kata tradisional tersebut juga selalu merujuk pada peninggalan kebudayaan klasik dan kuno.[2] Menurut istilah, pesantren tradisional adalah sistem pendidikan Islam  yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab,[3] dengan konsetrasi pada kitab-kitab klasik.[4]
B.       CIRRI-CIRI PESANTREN TRADISIONAL
1.      Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri
2.      Tradisi ketundukan dan kepatuhan santri terhadap kyai
3.      Pola hidup sederhana (zuhud)
4.      Kemandirian atau independensi
5.      Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6.      Berani menderita untuk mencapai tujuan
7.      Kehidupan dengan tingkat religiusitas yang tinggi
8.      Disiplin ketat
9.      Kepemimpinan tunggal[5]
C.      ELEMEN-ELEMEN PESANTREN TRADISIONAL
1.      Kyai
2.      Santri
3.      Pondok
4.      Masjid
5.      Kitab klasik atau kuning
D.      KURIKULUM  PESANTREN TRADISIONAL
Dalam memberikan pembelajaran kepada santrinya, pesantren tradisional menggunakan kitab-kitab tertentu, sesuai cabang ilmunya. Kitab-kitab tersebut harus di pelajari sampai tuntas, sebelum naik ke kitab lain yang lebih tinggi tingkat kesukarannya. Dengan demikian tamatnya progam pembelajaran tidak di ukur dengan satuan waktu, juga tidak di dasarkan pada penguasaan terhadap silabi tertentu, tetapi didasarkan pada tuntasnya santri dalam  mempelajari kitab yang telah di tetapkan. Kompetensi dasar bagi tamatan pesantren tradisional adalah kemampuan menguasai (memahami, menghayati, mengamalkan dan mengajarkan) isi kitab tertentu yang telah di tetapkan.[6]
E.       METODE PEMBELAJARAN PONPES TRADISIONAL
1.        Metode Sorogan
Metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan kepada santri secara individual, biasanya disamping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid bahkan terkadang di rumah-rumah. Penyampaian kepada santri yang di lakukan secara bergilir ini biasanya di praktekkan pada santri yang jumlahnya sedikit.[7]
Melalui metode ini perkembangan intelektual santri dapat di tangkap secara utuh. Kyai dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung pada kemampuan dasar dan kapasitas santri.penerapan metode ini membutuhkan kesabaran dan keuletan pengajar, selain itu santri dituntut memiliki disiplin yang tinggi.[8] Namun metode ini kurang efektif dan efisien, karena membutuhkan waktu yang lama.
2.        Metode wetonan/bandongan
Menurut Zamakhsari Dhofier metode wetonan adalah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab berbahasa Arab dengan sekelompok santri yang mendengarkan. Para santri memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti ataupun keterangan) tentang kata-kata serta buah pikiran yang sulit.[9] Dalam penerjemahan kitab yang di ajarkan, seorang kyai dapat menggunakan berbagai bahasa yang menjadi bahasa utama para santri, misalnya: diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sunda atau bahasa ndonesia.[10]
Metode ini sangat efektif dalam kedekatan relasi santri dan kyai, selain itu pencapaian dan percepatan kajian kitab.[11] Namun disisi lain metode ini mempunyai  kelemahan, yaitu mengakibatkan santri bersikap pasif, karena proses belajar mengajar di dominasi oleh kyai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan dari kyai.[12]
3.        Metode musyawarah
Metode musyawarah adalah kegiatan belajar secara kelompok untuk membahas bersama materi kitab yang telah diajarkan kyai atau ustadz.metode ini merupakan kegiatan yang menjadi tradisi bagi pesantren tadisional, maka bagi mereka yang tidak mengikuti biasanya akan mendapatkan sanksi.[13]
4.        Metode bahtsul masa’il (Mudzakaroh)
Metode bahtsul masa’il atau mudzakaroh merupakan pertemuan ilmiyah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah, dan permasalahan agama lainnya.[14] Dalam pelaksanaannya, para santri bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya. Dengan demikian metode ini lebih menitik beratkan pada kemampuan perseorangan dalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan argument logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu.[15]
Metode ini, biasanya diikuti oleh para kyai dan atau pada santri tingkat tinggi.Aplikasi dari metode ini dapat mengembangkan intelektual santri, mereka diajak berfikir menggunakan penalaran-penalaran ang disandarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah serta kitab-kitab Islam klasik.[16]
5.        Metode hafalan(muhafazhah)
Metode hafalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan kyai atau ustadz.[17] Sebagai sebuah metodologi pengajaran, hafalan pada umumnya diterapkan pada pelajaran yang bersifat nadham (syair) dan terbatas pada ilmu kaidah bahasa Arab, seperti: Al-Imrithi, Alfiyah Ibn Malik, Al-Maqsud dan lain-lain.[18]
6.        Metode demonstrasi/praktek ibadah
Metode praktek ibadah adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan cara memperagakan suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan dengan cara perorangan maupun kelompok dibawah petuntuk dan bimbingan kyai atau ustadz. Metode ini biasanya diikuti oleh santri pada tingkat bawah, seperti halnya metode sorogan, metode ini dapat mengembangankan intelektual santri kyi dapat memperhatikan secara utuh. Kyai juga dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung pada kemampuan dasar dan kapasitas santri. Namun metode ini kurang efektif dan efisien, karena membutuhkan waktu yang lama.
F.       KELEMAHAN-KELAMAHAN DAN KELEBIHAN-KELEBIHAN PESANTREN
1.        Kelebihan-kelebihan pesantren tradisional antara lain:
a.         Kemampuan menciptakan sikap hidup universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai religiusitas  tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada dalam susunan kehidupan diluar pesantren.[19]
b.         Kemampuan memelihara subkulturnya.[20] Hingga terus teraplikasikan dalam segala aspek kehidupan di sepanjang perjalanan.[21]
2.        Kelemahan-kelemahan pesantren tradisional antara lain:
a.       Tidak adanya perancangan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan, kalaupun ada hanya sangat terbatas, tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing.
b.      Tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah di cerna dan dikuasai oleh santri.
c.       Tidak mempunyai standard khusus yang membedakan antara hal-hal yang diperlukan dalam pendidikan dan yang tidak diperlukan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan penerapan hokum syara’ dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan nilai-nilai pendidikan, akibatnya tidak ada filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap.[22]
Setelah meninjau dari pesantren tradisisonal (baik metode, kurikulum kelebihan serta kelemahan), maka pesantren tadisional dituntut untuk membuat terobosan-terobosan baru, sebagaimana dijelaskan oleh Jamal Ma’mur Asmani bahwa:
1.      Membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, egaliter dan bersifat buttom up tidak top down.
2.      Melengkapi sarana penunjang proses pembelajaran, seperti perpustakaan kitab-kitab klasik maupun kontemporer, majalah, sarana organisasi, sarana olah raga dan sebagainya.
3.      Memberi kebebasan kepada santri yang ingin mengembangkan talenta masing-masing, baik pemikiran, teknologi, ilmu pengetahuan maupun kewirauasahaan.[23]
Melihat kekurangan dan kelebihan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.         Pendidikan tradisional, sepanjang menyangkut pemeliharaan tata nilai dan pandangan hidup yang ditimbulkannya di pesantren, harus tetap dikembangkan, karena memiliki banyak kelebihan.
2.         Usaha-usaha untuk menyempurnakan sistem pengajaran di pesantren harus dilanjutkan, terutama mengenai metode pengajaran dan penetapan materi pengajaran.[24]


[1].http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren - Definisi_pesantren
[2]. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), hal. 13.
[3]. http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren - Definisi_pesantren
[4]. Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), hal. 29.
[5]. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, hal. 15.
[6]. Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, hal. 32.
[7]. Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga), hal. 142.
[8]. Ibid, hal. 143.
[9]. Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, hal. 143.
[10]. Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, hal. 40.
[11]. Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, hal. 144.
[12]. Ibid. hal. 143.
[13]. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, hal. 19.
[14]. Ibid. hal. 19.
[15]. Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, hal. 42.
[16]. Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag, hal. 147.
[17]. Departemen Agama RI, hal. 46.
[18]. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, hal. 17.
[19]. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 56.
[20]. Ibid. hal. 57.
[21]. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, hal. 25.
[22]. Abdurrahman Wahid, hal. 59.
[23]. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, hal. 198-199.
[24]. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. 56.

PEMBAHASAN ULAMA' DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI


PEMBAHASAN ULAMA’ DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI

Ulama merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam berbagai hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad dan sahabat. Salah satu hadis bahkan menyatakan “ulama merupakan pewaris para Nabi” (Al-’ulama ’waratsah al-anbiya’).
Posisi mereka dihormati dalam masyarakat. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek kehidupan sehari-hari. Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian ahlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial. Untuk pembahasan lebih lanjut, kami akan membahasnya dalam bab II.

A.  Pengartian Ulama’
Ulama adalah jamak dari kata ‘alimu.[1] Yang berarti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap. Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian, dan akhlak yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya. Tentang rumusan ulama dengan sifat-sifatnya, yaitu bahwa ulama adalah hamba Allah yang berakhlak Qur’ani yang menjadi “waratsatul anbiya” (pewaris para nai), “qaudah” (pemimpin dan panutan), khalifah, pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan kelestarian hidup manusia.[2]
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dan pengertian yang diketengahkan oleh beberapa ulama antara lain Syeikh Muhammad Nawawi dari Tanahara Banten Jawa Barat dalam kitabnya Syarah Asmaul Husna dan Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fizilalil Quran. Maka musyawarah menetapkan pengertian ulama sebagai berikut: Ulama adalah hamba Allah yang memiliki jiwa dan kekuatan khasyatullah, mengenal Allah dengan pengertian yang hakiki, pewaris nabi, pelita umat, dengan ilmu dan bimbingannya, menjadi pemimpin dan panutan yang uswah hasanah dalam ketaqwaan dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam beribadah dan beramal shaleh. Sebagai mujahid dalam menegakkan kebenaran, tidak takut celaan dan tidak mengikuti hawa nafsu, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.

  1. Ciri-Ciri Ulama’

Ulama’ adalah pemersatu umat, bukan pemecah belah, teguh dan tegar dalam memperjuangkan dan meninggikan Islam saat berjalan di jalan Allah.[3] adapun Syarat-syarat atau kriteria serta ciri-ciri ulama adalah sebagai berikut:
  1. Keilmuan dan ketrampilan
a)    Memahami al-Quran dan Sunnah Rasul serta ulumuddin lainnya.
b)   Memiliki kemampuan memahami situasi dan kondisi serta mengantisipasi perkembangan masyarakat dan da’wah Islam.
c)    Mampu memimpin dan membimbing umat dalm melaksanakan kewajiban “hablum min Allah, hablum min-annas dan hablum min al-alam”.
  1. Pengabdian
a)    Mengabdikan seluruh hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah SWT.
b)   Menjadi pelindung, pembela dan pelayan umat (waliyul mukmin).
c)    Menunaikan segenap tugas dan kewajibannya atas landasan iman dan taqwa kepada Allah SWT dengan rasa penuh tanggung jawab.
  1. Akhlak dan kepribadian
a)    Berakhlak mulia, ikhlas, sabar, tawakkal, istiqamah.
b)   Berpikir kritis, berjiwa dinamis, bijaksana dan lapang dada.[4]
  1. Peranan Ulama Dalam Masyarakat
Pembahasan tentang peranan ulama, dalam budaya Jawa, hampir tidak dapat dibedakan dengan peranan kyai dalam masyarakat, karena dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa seorang kyai pasti ulama namun seorang ulama belum tentu kyai. Sekiranya ulama diartikan sebagai jabatan fungsional yang dipegang kyai, maka peran kyai mempunyai peran ganda. Yaitu sebagai pemimpin pondok pesantren dan pemimppin masyarakat.[5]   Menurut Horikhosi seorang ulama  dan kyai menduduki status sosial sebagai kekuatan moral dan menyerukan kebajikan dalam masyarakat.[6]
Ulamasebagai penerus dari Nabi memiliki peran dan tugas dalam memberikan pengajaran Islam berdasarkan al-Qur'an, menjelaskan makna dalam ayat-ayat  serta memberikan model peran bagi setiap manusia. Jika menengok pada sejarah masuknya Islam di Indonesia tentu, akan lebih di pahami bahwa para ulama memberikan kontribusi yang signifikan pada Islam maupun bangsa Indonesia (Nusantara pada waktu itu), sebagaimana dijelaskan oleh Uka Tjandrasasmita bahwa, Islam di sebarkan melalui enam metode, yaitu, dengan cara perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, politik.[7] Melihat dari informasi diatas tentu dapat disimpulkan bahwa selain memperluas agama Islam, para ulama juga berperan penting dalam mencerdaskan masyarakat. selain itu ketika Belanda datang ke Indonesia, ulama juga memberi kontribusi banyak, baik untuk Islam maupun Negara Indonesia, mulai dari mempertahankan aqidah Islam sampai mempertahankan martabat Indonesia.[8]
Di Indonesia, Ulama sebagai lembaga memiliki kecenderungan untuk dikelompokkan ke dalam beberapa organisasi. Misalnya NU dan Muhammadiyah. Dalam hal ideologi umum dan cara berpikir. Dalam hal skala geografis, ada Forum Silah Ulama al-rahim Jawa Barat. Tipe lain dari Ulama adalah MUI (Bahasa Indonesia Majelis Ulama) yang berkembang dari organisasi nasional untuk skala lokal. Meskipun keanekaragaman organisasi, Ulama memiliki peran yang sama, yaitu menyebarkan Islam.[9]
Menurut Abdul Qodir Djaelani secara garis besar peran ulama’ di bagi menjadi tiga, antara lain, sebagai berikut:
1.    Menda’wahkan dan menegakkan Islam serta membentuk kader penerus.
a.    Membina persatuan dan kesatuan dalam menunaikan tugas-tugas dan kewajiban sebagai seorang ulama.
2.    Pengkajian Islam dan pengembangannya.
a.    Senantiasa menggali ajaran al-Quran dan al-Sunnah.
b.    Menemukan dan mengemukakan gagasan-gagasan baru yang islami untuk memperbaiki/meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat.
3.    Perlindungan dan pembelaan terhadap umat Islam.
a.    Mencintai dan melindungi masyarakat.
b.    Memperjuangkan dan membela kepentingan islam dan umat islam.
c.    Membela dan melindungi Islam dan umat Islam dari setiap rong-rongan dan uasaha-usaha pelunturan ajaran dari aqidah Islam.[10]
  1. Pandangan Masyarakat Terhadap Ulama’
Dalam membahas respon masyarakat terhadap ulama’, tentunya tidak bisa disamakan, antara respon dalam masyarakat dahulu dengan masyakat saat ini, hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa respon tersebut sudah mengalami pergeseran yang signifikan. Baik dari segi fungsi maupun karisma ulama’ dahulu dengan ulama’ sekarang sangat berbeda, dalam masyarakat dahulu ulama’adalah orang yang sangat di kagumi masyarakat, di hormati serta disegani di berbagai kalangan seperti, Syekh Abdul Qodir al-Jaelani sehingga beliau di juluki “Sulthonul Auliya’”,bahkan Syekh Abu Danif al-Bagdadi dalam bukunya “Hilyatul Jalalah” menyanjung-nyangjung beliau.[11]
Tidak hanya itu, ulama’ dahulu adalah pemikir politik, seperti Sunan Ampel, dia adalah pemikir pendirian kerajaan Islam. Sebagaimana keterangan diatas dapat disimpulkan, respon masyarakat terhadap ulama’ pada saat itu adalah sangat jelas bahwa ulama’ sebagai seorang yang terhormat serta di agungkan karena kecakapannya dalam berbagai hal dan kedekatannya dengan Allah.
Berbeda dengan ulama’ mutaqoddimin, pandangan masyarakat terhadap ulama saat ini, menurut masyarakat ulama’ saat ini justru banyak di kendalikan oleh pemerintahan atau bahkan mementingkan kepentingan organisasi dari pada kemaslahatan umat, seperti halnya fatwa MUI bahwa golput haram,[12] yang sangat kontroversi di kalangan masyarakat, hal tersebut mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap ulama’,karena dianggap suatu politik pemerintah lewat para ulama’.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pandangan tentang ulama’ sebagai penerus para Nabi semakin rendah, selain karena hal diatas dikarenakan masyarakat yang semakin lemah dalam pemahaman agama. Demikianlah pandangan masyarakat terhadap ulama’.




[1]. Muhammad Ma’sum, al-Amtsilatu al-Tashrifiyah, (Semarang: Pustaka al-Alawiyah), hlm. 4.
[2].  Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm. 3.
[3]. Ibid. hlm 4.
[4]. Ibid. hlm 6.
[5]. Sukamto, Kepemimpinan Kyai Dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), hlm. 87.
[6].  Ibid, hlm. 87.
[7]. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999), hlm. 201-203.
[8]. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,(Jakarta: PT LP3ES, 1985), hlm 9-16.
[9].  http://definition280689.blogspot.com
[10].  Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm 6.
[11]. Abi Danif al-Bagdadi, Hilyatul Jalalah, yang di terjemahkan oleh Ibnu Sofyan dengan judul “Keagungan Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani”  (Jombang: Darul Hikmah, 2009)
[12].  http://apa-adanya.blogspot.com/search/label/Anthropologi