"PENDIDKAN
ISLAM INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN"
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan faktor penting yang mempunyai andil besar dalam
memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban manusia. Tujuan pendidikan itu
merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan
berkualitas akan terus mengundang para penjajah, baik penjajahan secara
fisik maupun non fisik, seperti penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi,
sosial, politik dan agama. Hal ini senada dengan ungkapan “kebodohan
bukanlah karena penjajahan tetapi kebodohanlah yang mengundang penjajah”. Bangsa
Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan
ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah
merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai
tujuannya. Benarkah demikian?
Mengamati perjalanan sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang sungguh menarik dan memiliki proses yang amat panjang.
Belanda yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/ 2 tahun
meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan
misi gold, glory dan gospelnya mereka mempengaruhi pemikiran dan
iedeologi dengan doktrin-doktrin Barat.
Itulah sekilas tentang pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda dan
Jepang. Setelah merdeka, bangsa Indonesia merasa mampu menghirup
angin segar di negerinya sendiri karena telah terlepas dari
penjajahan. Akan tetapi, sikap, watak dan mental bangsa yang terjajah
akan menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan negara, khususnya
pendidikan Islam di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Dilaporkan oleh Ibn Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn
Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia
mengikuti raja mengatakan halaqah setelah solat Jum’at sampai waktu
Ashar. Dari kerajaan itu diduga kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah menjadi
pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam
untuk berdiskusi masalah keagamaan dan keduniaan sekaligus.[1]
Dengan demikian Samudra Pasai merupakan tempat studi Islam
yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sementara itu untuk keluar
kerajaan, halaqah ajaran Islam diduga sudah dilakukan oleh koloni-koloni
tempat pedagang Islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Proses halaqah ini
dilakukan di masjid istana bagi anak-anak pembesar negara, di masjid-masjid
lain, mengaji di rumah-rumah guru dan di surau-surau untuk masyarakat umum.
Dari halaqah-halaqah seperti ini yang nantinya akan menjadi lembaga
pendidikan Islam.[2] Yang setelah merosotnya
kerajaan Samudra Pasai dilanjutkan dengan kerjaan Islam lain yaitu kerajaan
yang berada di Malaka.
Selain terdiri dari halaqah-halaqah yang berada di
masjid, surau dan juga dirumah para guru mengaji, Istana juga sebagai tempat
untuk mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan sebagai
perpustakaan kitab-kitab, terutama kitab keislaman. (Abdullah Ishak)[3]
Mata pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga Islam saat itu dibagi menjadi
dua tingkatan:
a.
Tingkat dasar terdiri dari
pelajaran memabaca, menulis bahasa Arab, pengajian Al-Qur’an dan ibadah praktis
b.
Tingkatan yang lebih tinggi
dengan materi-materi ilmu fiqh, tasawuf, ilmu kalam dan sebagainya
Banyak ulama manca negara yang datang ke Malaka dari
Afganistan, Malabar, Hindustan, terutama dari Arab yang mengambil peran sebagai
penyebar Islam pada waktu itu. Diceritakan, dari Jawa, Sunan Bonang dan Sunan
Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka, kemudian setelah selasai belajar dari sana,
mereka mendirikan tempat pendidikan Islam di negeri masing-masing.
Tidak kalah penting dengan Samudra Pasai, pada kerajaan Aceh
Darussalam, tepatnya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda juaga sangat
meperhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti masjid
Bait al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan yang disebut Dayah.
Sultan mengambil ulama sebagai penasehatnya yang terkenal diantaranya
Syamsuddin Sumatrani. Tradisi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya
sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan
pengetahuan Islam di Asia Tenggara.
Para ulama besar ini banyak berjasa mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang kemudian berkembang menjadi seperti
perguruan tinggi. Nuruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel termasuk ulama-ulama
yang menjadi guru pada waktu itu. Salah satu penuntut ilmu saat itu adalah Syekh
Burhanuddin yang berasal dari Ulakan Pariaman, Minangkabau yang kemudian
mendirikan pendidikan Islam yang disebut Surau.[4]
Pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat setelah para ulama
mengarang buku-buku pelajaran keislaman menggunakan bahasa Melayu seperti
karya-karya Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abd. Rauf Singkel di Aceh. Hal
ini terjadi setelah banyak orang-orang Indonesia yang belajar ke Arab dan
menjadi ulama terkenal setelah kembali ke negeri asalnya. Di Minangkabau
lembaga pendidikan disebut Surau yang dipelopori oleh Syekh Burhanuddin
(1641-1691) setelah kembali menuntut ilmu keislaman kepada Abd Rauf Singgkel di
Kutaraja, Aceh.
Di Jawa lembaga pendidikan disebut pesantren, yang berasal
dari bahasa Tamil Santri yang berarti guru ngaji. Sementara pendapat C.
C. Berg mengatakan pesantren berasal dari kata India shastri berarti
orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu. Menurut sumber lokal, lembaga
pendidikan Islam pertama di Jawa adalah pesantren Giri dan pesantren Gresik di
Jawa Timur. Pesantren Gresik didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim. Terdapat
juga pendidikan Islam di Ampel Surabaya, dibangau oleh Raden Rahmat. Berawal
dari Giri dan Ampel pada berikutnya semakin banyak pusat-pusat pendidikan Islam
di Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan Gunung Jati Cirebon.
Di kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga
pendidikan Islam pertama disebut langgar yang dipelopori oleh Seykh
Muhammad Arsyad Al-Banjari. Di Sulawesi adalah raja Gowa XIV, Sultan Alauddin
yang pertama mendirikan masjid di Bantalu yang berfungsi sebagai tempat shalat,
pusat pengajian, pendidikan dan pengajaran Islam. Yang bertindak sebagai guru
adalah Dato Ri Bandang dibantu oleh Dato Patimang dan Dato Ri Tiro yang diduga
semuanya dari Minangkabau.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak pendidikan Islam
semakin maju karena ada pemerintahan yang menyelenggarakannya dan
pembesar-pembesar Islam yang membelanya. Pada tahun 1476 di Bintoro dibentuk
organisasi Bayankare Islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk mempergiat
usaha pendidikan dan pengajaran Islam.
Kemudian pusat kerajaan pindah ke Mataram tahun 1586. Pada
Zaman Sultan Agung Mataram (1613) sesudah mempersatukan Jawa Tengah dan Jawa
Timur pada tahun 1630, Ia mempergiat pertanian dan pedagangan. Kemudian pada
masa kerajaan Kartasura (± tahun 1700) ada beberapa pesantren besar dijadikan
perdikan yaitu deberikan tanah, sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik
turun temurun yang dibebaskan dari membayar pajak. Tanah itu disebut tanah
Mutihan. Namun sayang pada tahun 1916-1917 semua perdikan dihapuskan oleh
Belanda dijadikan tanah Gubernemen.
B. Pendidikan Zaman Kolonial Belanda
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2
(dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie)
dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie).[5]
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan
sebagai berikut:
1.
Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar
rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama,
menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung.
Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja
kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada
kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para
murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain
Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah
Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.[6]
2.
Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah
pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama,
mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup,
akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
3.
Seminarium
Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama
kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi
menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa
Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2
pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan
Yahudi, filsafat, Sejarah, Arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya
pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya
asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama
10 tahun.
4.
Academie der Marine (Akademi Pelayaran)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira
pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi Matematika, Bahasa
Latin, Bahasa Ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), Navigasi, Menulis, Menggambar,
Agama, Keterampilan naik Kuda, Anggar, dan Dansa. Tetapi akhirnya Akademi
pelayaran ditutup tahun 1755.[7]
5.
Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat
vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740.
selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat
keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.[8]
6.
Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui
lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak
proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau
mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan,
kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda
langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju
dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai
dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau
tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan
lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan
guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut
pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur
dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan
sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi
secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi
untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya
menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana
berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun
1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie,
Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di
bidang pendidikan pada masa ini adalah[9]:
1.
Pendidikan dan
pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda
diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan;
2.
Pendidikan rendah
bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa
ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh
pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi
tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan:
a. Golongan Eropa;
b. Golongan yang dipersamakan dengan Eropa;
c. Golongan Bumiputera; dan
d. Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera.
Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut
ini:
a. Golongan Eropa;
b. Golongan Bumiputera; dan
c. Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk
golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut:
1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat;
2) Pemimpin agama (Ulama); dan
3) Rakyat biasa.
Telah disebutkan diatas bahwa pendidikan pada masa Belanda sangat
diskriminatif sebagaimana kemudian Belanda mengeluarkan peraturan untuk
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak diizinkan yang disebut
dengan Ordonansi sekolah liar.[10]
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan
Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan dasar
meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah
dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan.
2.
Pendidikan
lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan
kejuruan.
3.
Pendidikan
tinggi.[11]
C. Pendidikan Zaman Jepang
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang
itu dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan Dasar (Kokumin
Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama
yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di
masa Hindia Belanda.
2.
Pendidikan Lanjutan. Terdiri
dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan
Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3.
Pendidikan Kejuruan. Mencakup
sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan,
pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4.
Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang
mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan
Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943.
Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak
menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa
setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai
penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini
dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan
China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di
Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum
berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa
pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize
kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk
menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia
Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru
agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya.
Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1.
Indoktrinasi ideologi Hakko
Ichiu;
2.
Nippon Seisyin, yaitu latihan
kemiliteran dan semangat Jepang;
3.
Bahasa, sejarah dan
adat-istiadat Jepang;
4.
Ilmu bumi dengan perspektif
geopolitis; serta
5.
Olaharaga dan nyanyian Jepang[12].
Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid
sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1.
Menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang, Kimigayo setiap pagi;
2.
Mengibarkan bendera Jepang,
Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3.
setiap pagi mereka juga harus
melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4.
Setiap pagi mereka juga
diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
5.
Melakukan latihan-latihan
fisik dan militer;
6.
Menjadikan bahasa Indonesia
sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga
wajib diajarkan[13].
Setelah menguasai Indonesia, Jepang
menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan
materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus
ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah
berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi
pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai
keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk
mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk
kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis
diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak
swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah
swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa
misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara
Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya
kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan
dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang
mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1.
Mengubah Kantoor Voor
Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Shumubu
yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah
dibentuk Sumuka;
2.
Pondok pesantren sering
mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3.
Mengizinkan pembentukan
barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda
Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin;
4.
Mengizinkan berdirinya
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta;
5.
Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan
menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
6.
Diizinkannya Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan
diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua
ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang
memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini
membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan[14].
KESIMPULAN
Dari paparan diatas, tentang pendidikan pra
kemerdekaan yakni ada tiga fase :
1. Pendidikan pada masa kerajaan Islam
2. Pendidikan pada masa kolonial atau Belanda
3. Pendidikan pada masa Jepang
Dari situlah dapat diambil kesimpulan secara
umum bahwa kebijakan pendidikan memang selalu bernuansa politis. Sistem
pendidikan yang ditetapkan melalui kebijakan pendidikan tersebut sebenarnya
adalah usaha-usaha pemerintah sebagai kelompok elit minoritas yang sedang
berkuasa di sebuah negara untuk melanggengkan status kekuasaannya serta
melestarikan hegemoni atas rakyat mayoritas yang menjadi sasaran implementasi
kebijakan tersebut. Secara garis besar, arah makro politik kebijakan pendidikan
di Indonesia pra proklamasi kemerdekaan Indonesia berdasarkan periodisasi
perkembangan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Rifai, Muhammad. Sejarah
Pendidikan Nasional. (Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011)
Sunanto, Musrifah. Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010)
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-penjajahan-belanda
http://khairuddinhsb.blogspot.com/2008/07/pendidikan-di-zaman-belanda.html
http://dafiyowe.blogspot.com/2011/02/sejarah-al-wasliyah.html
[1].Musrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010), hal. 104-105
[2]. Ibid,
hal. 105
[3]. Ibid,
hal. 105.
[4]
Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, hal. 107.
[5] http://dafiyowe.blogspot.com/2011/02/sejarah-al-wasliyah.html.
[6] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional.
(Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011) hal. 59-60
[7] http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-penjajahan-belanda/
[8] http://khairuddinhsb.blogspot.com/2008/07/pendidikan-di-zaman-belanda.html
[9] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional,
hal. 63-64.
[10] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia
[11] http://dafiyowe.blogspot.com/2011/02/sejarah-al-wasliyah.html.
[12] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional.
(Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011) hal. 87
[13] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan
Nasional. (Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011) hal. 87
[14] Musrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), hal. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar