Powered By Blogger

Selasa, 22 November 2011

"PENDIDKAN ISLAM INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN"


"PENDIDKAN ISLAM INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN"

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan faktor penting yang mempunyai andil besar dalam memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban manusia. Tujuan pendidikan itu merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan berkualitas akan terus mengundang  para penjajah, baik penjajahan secara fisik maupun non fisik, seperti penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi, sosial, politik dan agama. Hal ini senada dengan ungkapan “kebodohan bukanlah karena penjajahan tetapi kebodohanlah yang mengundang penjajah”. Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Benarkah demikian?
Mengamati perjalanan sejarah pendidikan Islam  pada masa penjajahan Belanda dan Jepang sungguh menarik  dan memiliki proses yang amat panjang. Belanda yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/ 2 tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan misi gold, glory dan gospelnya mereka mempengaruhi pemikiran dan iedeologi dengan doktrin-doktrin Barat.
Itulah sekilas tentang pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang.  Setelah merdeka, bangsa Indonesia merasa mampu menghirup  angin segar  di negerinya sendiri karena telah  terlepas dari penjajahan. Akan tetapi,  sikap, watak dan mental bangsa yang terjajah akan menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan  negara, khususnya pendidikan Islam  di Indonesia.





PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Dilaporkan oleh Ibn Batutah dalam bukunya Rihlah Ibn Batutah bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja mengatakan halaqah setelah solat Jum’at sampai waktu Ashar. Dari kerajaan itu diduga kerajaan Samudra Pasai ketika itu sudah menjadi pusat agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi masalah keagamaan dan keduniaan sekaligus.[1]
Dengan demikian Samudra Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sementara itu untuk keluar kerajaan, halaqah ajaran Islam diduga sudah dilakukan oleh koloni-koloni tempat pedagang Islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Proses halaqah ini dilakukan di masjid istana bagi anak-anak pembesar negara, di masjid-masjid lain, mengaji di rumah-rumah guru dan di surau-surau untuk masyarakat umum. Dari halaqah-halaqah seperti ini yang nantinya akan menjadi lembaga pendidikan Islam.[2] Yang setelah merosotnya kerajaan Samudra Pasai dilanjutkan dengan kerjaan Islam lain yaitu kerajaan yang berada di Malaka.
Selain terdiri dari halaqah-halaqah yang berada di masjid, surau dan juga dirumah para guru mengaji, Istana juga sebagai tempat untuk mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan kitab-kitab, terutama kitab keislaman. (Abdullah Ishak)[3] Mata pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga Islam saat itu dibagi menjadi dua tingkatan:
a.       Tingkat dasar terdiri dari pelajaran memabaca, menulis bahasa Arab, pengajian Al-Qur’an dan ibadah praktis
b.      Tingkatan yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu fiqh, tasawuf, ilmu kalam dan sebagainya
Banyak ulama manca negara yang datang ke Malaka dari Afganistan, Malabar, Hindustan, terutama dari Arab yang mengambil peran sebagai penyebar Islam pada waktu itu. Diceritakan, dari Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka, kemudian setelah selasai belajar dari sana, mereka mendirikan tempat pendidikan Islam di negeri masing-masing.
Tidak kalah penting dengan Samudra Pasai, pada kerajaan Aceh Darussalam, tepatnya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda juaga sangat meperhatikan pengembangan agama dengan mendirikan masjid-masjid seperti masjid Bait al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan yang disebut Dayah. Sultan mengambil ulama sebagai penasehatnya yang terkenal diantaranya Syamsuddin Sumatrani. Tradisi ini dilanjutkan oleh sultan-sultan selanjutnya sehingga di Aceh terdapat ulama-ulama terkenal yang sangat berjasa menyebarkan pengetahuan Islam di Asia Tenggara.
Para ulama besar ini banyak berjasa mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang kemudian berkembang menjadi seperti perguruan tinggi. Nuruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel termasuk ulama-ulama yang menjadi guru pada waktu itu. Salah satu penuntut ilmu saat itu adalah Syekh Burhanuddin yang berasal dari Ulakan Pariaman, Minangkabau yang kemudian mendirikan pendidikan Islam yang disebut Surau.[4]
Pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat setelah para ulama mengarang buku-buku pelajaran keislaman menggunakan bahasa Melayu seperti karya-karya Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abd. Rauf Singkel di Aceh. Hal ini terjadi setelah banyak orang-orang Indonesia yang belajar ke Arab dan menjadi ulama terkenal setelah kembali ke negeri asalnya. Di Minangkabau lembaga pendidikan disebut Surau yang dipelopori oleh Syekh Burhanuddin (1641-1691) setelah kembali menuntut ilmu keislaman kepada Abd Rauf Singgkel di Kutaraja, Aceh.
Di Jawa lembaga pendidikan disebut pesantren, yang berasal dari bahasa Tamil Santri yang berarti guru ngaji. Sementara pendapat C. C. Berg mengatakan pesantren berasal dari kata India shastri berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu. Menurut sumber lokal, lembaga pendidikan Islam pertama di Jawa adalah pesantren Giri dan pesantren Gresik di Jawa Timur. Pesantren Gresik didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim. Terdapat juga pendidikan Islam di Ampel Surabaya, dibangau oleh Raden Rahmat. Berawal dari Giri dan Ampel pada berikutnya semakin banyak pusat-pusat pendidikan Islam di Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan Gunung Jati Cirebon.
Di kerajaan Islam Banjar Kalimantan Selatan, lembaga pendidikan Islam pertama disebut langgar yang dipelopori oleh Seykh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Di Sulawesi adalah raja Gowa XIV, Sultan Alauddin yang pertama mendirikan masjid di Bantalu yang berfungsi sebagai tempat shalat, pusat pengajian, pendidikan dan pengajaran Islam. Yang bertindak sebagai guru adalah Dato Ri Bandang dibantu oleh Dato Patimang dan Dato Ri Tiro yang diduga semuanya dari Minangkabau.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak pendidikan Islam semakin maju karena ada pemerintahan yang menyelenggarakannya dan pembesar-pembesar Islam yang membelanya. Pada tahun 1476 di Bintoro dibentuk organisasi Bayankare Islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran Islam.
Kemudian pusat kerajaan pindah ke Mataram tahun 1586. Pada Zaman Sultan Agung Mataram (1613) sesudah mempersatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1630, Ia mempergiat pertanian dan pedagangan. Kemudian pada masa kerajaan Kartasura (± tahun 1700) ada beberapa pesantren besar dijadikan perdikan yaitu deberikan tanah, sawah dan tempat tinggal sebagai hak milik turun temurun yang dibebaskan dari membayar pajak. Tanah itu disebut tanah Mutihan. Namun sayang pada tahun 1916-1917 semua perdikan dihapuskan oleh Belanda dijadikan tanah Gubernemen.


B.     Pendidikan Zaman Kolonial Belanda
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie).[5]
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.[6]
2.      Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
3.      Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan Yahudi, filsafat, Sejarah, Arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
4.       Academie der Marine (Akademi Pelayaran)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi Matematika, Bahasa Latin, Bahasa Ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), Navigasi, Menulis, Menggambar, Agama, Keterampilan naik Kuda, Anggar, dan Dansa. Tetapi akhirnya Akademi pelayaran ditutup tahun 1755.[7]
5.      Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.[8]
6.      Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah[9]:
1.            Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan;
2.            Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan:
a.       Golongan Eropa;
b.      Golongan yang dipersamakan dengan Eropa;
c.       Golongan Bumiputera; dan
d.      Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera.
Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini:
a.       Golongan Eropa;
b.      Golongan Bumiputera; dan
c.       Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut:
1)      Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat;
2)      Pemimpin agama (Ulama); dan
3)      Rakyat biasa.
Telah disebutkan diatas bahwa pendidikan pada masa Belanda sangat diskriminatif sebagaimana kemudian Belanda mengeluarkan peraturan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak diizinkan yang disebut dengan Ordonansi sekolah liar.[10]
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut:
1.      Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan.
2.      Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
3.      Pendidikan tinggi.[11]
C.    Pendidikan Zaman Jepang
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.      Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2.      Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3.      Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4.      Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1.      Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2.      Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
3.      Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4.      Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5.      Olaharaga dan nyanyian Jepang[12]. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1.      Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi;
2.      Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3.      setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4.      Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
5.      Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
6.      Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan[13].
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1.      Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Shumubu yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka;
2.      Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3.      Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin;
4.      Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta;
5.      Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan
6.      Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan[14].


KESIMPULAN
Dari paparan diatas, tentang pendidikan pra kemerdekaan yakni ada tiga fase :
1.      Pendidikan pada masa kerajaan Islam
2.      Pendidikan pada masa kolonial atau Belanda
3.      Pendidikan pada masa Jepang
Dari situlah dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa kebijakan pendidikan memang selalu bernuansa politis. Sistem pendidikan yang ditetapkan melalui kebijakan pendidikan tersebut sebenarnya adalah usaha-usaha pemerintah sebagai kelompok elit minoritas yang sedang berkuasa di sebuah negara untuk melanggengkan status kekuasaannya serta melestarikan hegemoni atas rakyat mayoritas yang menjadi sasaran implementasi kebijakan tersebut. Secara garis besar, arah makro politik kebijakan pendidikan di Indonesia pra proklamasi kemerdekaan Indonesia berdasarkan periodisasi perkembangan pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

Rifai, Muhammad. Sejarah Pendidikan Nasional. (Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011)
Sunanto, Musrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010)
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-penjajahan-belanda
http://khairuddinhsb.blogspot.com/2008/07/pendidikan-di-zaman-belanda.html
http://dafiyowe.blogspot.com/2011/02/sejarah-al-wasliyah.html



[1].Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 104-105
[2]. Ibid, hal. 105
[3]. Ibid, hal. 105.
[4] Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, hal. 107.
[5]  http://dafiyowe.blogspot.com/2011/02/sejarah-al-wasliyah.html.
[6] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional. (Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011) hal. 59-60
[7] http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-penjajahan-belanda/
[8] http://khairuddinhsb.blogspot.com/2008/07/pendidikan-di-zaman-belanda.html
[9] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional, hal. 63-64.
[10] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia
[11] http://dafiyowe.blogspot.com/2011/02/sejarah-al-wasliyah.html.
[12] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional. (Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011) hal. 87
[13] Muhammad Rifai, Sejarah Pendidikan Nasional. (Jogjakarta: AR-RUZZMEDIA, 2011) hal. 87
[14] Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar