"PARTAI-PARTAI
ISLAM DAN PEMILU PERTAMA (1955)"
BAB I
PENDAHULUAN
Pemilihan umum adalah sebagai salah
satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna mengikutsertakan rakyat dalam
menentukan wakil dan calon pemimpinnya belum dapat diselenggarakan di
tahun-tahun awal kita merdeka, karena revolusi pada saat itu memang berada
dalam suasana, dimana kegiatan-kegiatan pemerintah lebih diarahkan untuk
mempertahankan kemerdekaan serta membendung arus kolonial.
Ditambah lagi dengan pertikaian
intern dalam lembaga politik dan pemerintah serta belum adanya undang-undang
yang mengatur pelaksanaan pemilu, meskipun ide untuk menyelenggarakannya sudah
muncul sejak tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Hasrat untuk
melaksanakan pemilu tersebut baru terlaksana dalam tahun 1955. Dalam pemilu
pertama ini umat Islam mengeluarkan aspirasinya lewat partai-partai Islam,
walaupun pada akirnya partai-partai Islam tersebut harus menerima kekecewaan
karena kurang mendapatkan suara yang memuaskan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Partai-Partai Islam
1.
Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah
partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai
ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945. Setelah
sidang selama dua hari, konggres akirnya menyepakati pembentukan partai Islam,
sebagai satu-satunya wadah perjuanagan politik umat Islam Indonesia,[1]
dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai
partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Atau secara lebih
terperincinya, dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945. Masyumi memiliki dua
tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama
Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.[2]
Tujuan ini dijabarkan dalam Tafsiran Anggaran Dasar, dimana diberikan gambaran
kasar dan umum tentang apa yang disebut suatu negara yang berdasarkan Islam itu
:
“Kita menuju kepada “Baldatun
Thoiyibatun, wa rabbun ghofur” negara
yang berkebajikan diliputi keampunan Ilahi, dimana negara melakukan
kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantara wakil-wakil rakyat yang
dipilih; dimana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaa,
tashamuh (lapang dada), keadilan sosial sebagai yang diajarkan oleh Islam,
terlaksana sepenuhnya; dimana kaum muslimin mendapat kesempatan untuk mengatur
perikehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan ajaran dan hukum-hukum Islam
sebagai yang tercantum dalam Qur’an dan Sunnah”.[3]
Di masa
penjajahan Belanda, ada sebuah organisasi yang disinyalir sebagai cikal bakal
partai Masyumi yaitu Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang pada masa
pendudukan Jepang berganti nama menjadi Masyumi namun bukan masyumi sebagai
partai politik. Hal ini disinyalir sebagai cikal bakal partai Masyumi karena
dalam sistem organisasinya terdapat kemiripan yakni mewadahi seluruh ormas
Islam yang ada di Indonesia yang ada saat itu. Kongres pembentukan Masyumi
dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili
hampir semua organisasi Islam yang ada, dari masa sebelum perang serta masa
pendudukan Jepang.
Susunan
pengurus pusat pada awal pendirian Masjoemi diantaranya sebagai Ketua Dr.
Soekiman Wirjosandjojo, Ketua Muda I dijabat oleh R. Abikoesno
Tjokroasoejoso, Ketua Muda II oleh Wali Al-Fatah sementara Panitera I
(Sekretaris) dijabat oleh S.M. Kartosoewirjo dan Panitera II oleh Prawoto
Mangoensasmito.[4]
2.
NU (Nahdatul Ulama’)
Nahdatul Ulma’ (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di
Surabaya, pada awal berdirinya disebut Jam’iah Nahdatul Ulama’, belum merupakan
partai politik.[5]
Ada tiga faktor utama didirikannya partai ini. Pertama, karena rasa tanggung
jawab yang besar dari para Ulama akan kemurnian serta keluhuran agama Islam.
Kedua, rasa tanggung jawab yang besar dari para Ulama’ sebagai pemimpin ummat
dan penerus perjuangan pahlawan Islam. Ketiga, rasa tanggung jawab para ulama’
untuk memelihara ketentraman dan
ketenangan bangsa Indonesia.[6] NU baru menjadi partai politik sejak ia
keluar dari masyumi. NU keluar dari Masyumi disebabkan oleh:
1. keinginan
NU sendiri untuk mandiri dalam
berpolitik
2. Masyumi
didominasi oleh kelompok
modernis
3. perbedaan
visi karena tradisi berpolitik yang dikembangkan
kelompok tradisonalis dengan modernis
Karena
sering terjadi konflik kepentingan dalam tubuh partai, maka NU keluar dari Masyumi
pada 8 April 1952 dan mendirikan partai
sendiri yang diberi nama sesuai dengan nama jam’iyahnya, yaitu Partai Nahdlatul Ulama. Secara garis
besar menurut B.J. Bollan faktor langsung keluarnya NU dari Masyumi yaitu
masalah perebutan jabatan menteri agama dalam kabnet Wilopo (April 1952). Adanya kritik terhadap
kebijakan Wahid Hasim menyebabkan terpilihnya Fakih Usman , sedangkan NU tetap
menuntut jabatan ini untuk Wahid Hasim.[8] Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelumnya NU
adalah organisasi masyarakat yang besar, maka ketika menjadi partai politik NU
pun mempunyai suara yang besar.
Dengan
bermodal jumlah massa yang cukup besar, NU berusaha untuk memperoleh suara yang
sebanyak-banyaknya dalam pemilihan umum.
Pemilihan umum pertama tahun 1955 sebagai wujud konkret bagi kekuatan NU dan dapat dikatakan
sebagai pukulan yang besar bagi Masyumi.
Pada pemilu tahun 1955, NU menempatkan diri pada urutan ketiga perolehan suara dari 29
partai yang memperoleh kursi di DPR.
Menurut
Abdul Rouf dalam bukunya NU dan Civil Islam di Indonesia, kemenangan NU
dalam pemilu 1955 disebabkan beberapa faktor. Pertama, peran strategis kyai NU
yang memiliki pengaruh kuat di tengah-tengah masyarakat, khususnya di daerah
pedesaan sebagai basis mayoritas massa NU. Kedua, banyaknya jumlah pesantren NU
yang tersebar luas di berbagai daerah. Ketiga, dukungan para santri dan
mayoritas massa NU yang yang fanatik terhadap kyai yang menjadi panutan.
Keempat, jargon Islam keislaman yang selalu dijadikan sebagai sentral dalam
kampanye.[9]
3.
PSII (Partai Serikat Islam Indonesia)
Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 (PSII 1905) ini lahir dengan
mengacu pada pendirian Syarikat Dagang Islam yang bertahun 1905.[10] Pada
mula didirikan, partai ini lahir karena dorongan ekonomi rakyat, mengingat
adanya tekanan yang hebat dari luar negeri terhadap ekonomi rakyat Indonesia,
karena itu di bawah pimpinan Samanhoedi, Serikat Dagang Islam (SDI). Baru tahun
1912 namanya diubah menjadi Serikat Islam (SI) bergerak terang-terangan dalam
partai politik radikal dengan diketuai oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto.[11]
Nama Serikat Islam (SI) kemudian berubah menjadi Partai Serikat
Islam pada tahun 1921 dan berubah lagi menjadi Partai Serikat Islam Indonesia
(PSII) pada tahun 1930. Setelah terjadi perubahan nama, terjadi pemisahan
besar-besaran pada partai ini pada tahun 1932 dan 1936. Diantaranya yaitu
Partai Islam Indonesia (PERLI), di pimppin oleh Dr. Soekiman, PENYEDAR yang di
ketuai oleh H. Agus Salim, kemudian disusul dengan pemisahan yang lebih radikal
lagi yang dipimpin oleh Soekarmadji Kartosuwirjo dengan mendirikan Komite
Pembela Kebenaran PSII.
PSII yaitu kelompok yang pertama
keluar dari Masyumi, yaitu pada bulan Juli 1947. Menurut Boland dalam bukunya
“Pergumulan Islam di Indonesia”, alasan PSII keluar dari Masyumi tidak jelas,
namun menurut sebuah artikel di “Freedom Institute” PSII keluar karena ingin
mendapatkan portofolio menteri di Kabinet Amir Sjarifudin I (1947-1948). Pada
saat itu memang Masyumi mengambil sikap oposisi terhadap kabinet pemerinta
akibat tidak menyetujui perjanjian Linggarjati.[12]
4.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
Organisasi ini didirikan di
Bukit Tinggi pada tanggal 20 Mei 1930, para pendirinya terdiri dari para ulama’
terkemuka, antara lain: Syekh Suleman Rasuly, Syekh Muhammad Djamil Djaho,
Syekh Muhammad Ladang Laweh, Syekh Abdul Wahid es Sahily dan Syekh Arifin
Arsjadi. Sejak awal berdiri sampai kongres ke-4 organisasi ini bersifat sosial
yang bergerak dibidang pendidikan, pengajaran agama dan umum, membantu fakir
miskin serta menggalakkan tolong-menolong.[13]
Organisasi ini terjun kedalam politik berdasarkan siding pleno
pengurus besar tanggal 22 November 1945 di Bukit Tinggi. Sejak itu pula namanya
menjadi partai Islam PERTI. Partai yang berazaskan Islam ini, menggunakan
madzhab Syafi’I dan dalam akidah menggunakan Madzhab ahlus sunnah wal jama’ah,
dengan tujuan “Kalimatullah Hiyal Ulya”(ketinggian agama Islam). Dalam
arti yang luas. Untuk mencapai tujuan ini, maka PERTI bergerak di bidang:
1.
Memperdalam rasa cinta terhadap agama, bangsa dan tanah air
2.
Memperhebat penyiaran dan pertahanan agama Islam
3.
Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia
4.
Memajukan pengajaran, pendidikandan kecerdasan rakyat
5.
Memajukan perekonomian dan
mengusahakan kemakmuran rakyat, dll.[14]
Berbeda dengan partai Islam
yang lain, partai ini kurang berkembang selain di Sumatra. Mungkin karena
partai tersebut tidak mempunyai kekhususan, mereka pendatang baru, sehingga ia
tidak begitu popular di luar Suamatra, disisi lain kehadirannya di Sumatra
barat (dahulu Sumatra tengah) yang berbasis Muhammadiyah membuat partai ini
agak eksklusif disbanding Muhammadiyah yang telah berkembang di tanah air.[15]
B.
Partai-Partai Islam dan Pemilu Pertama (1955)
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam
sejarah bangsa Indonesia yang saat itu masih berusia 10 tahun dan dipersiapkan
di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali
Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Tiga
bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17
Agustus 1945, pemerintah menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan pemilu
pada awal tahun 1946.
Hal itu dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad
Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan
partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih
anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Tetapi, berbeda
dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat tersebut, pemilu 1955 dilakukan
dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR
diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk
memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak,
termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 29-an partai
politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Yang
menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat.
Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang
menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali
ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih
anggota Dewan Konstituante.
Jumlah orang yang hadir dalam pemilu untuk memilih anggota
DPR pada bulan September 1955 sangat banyak, lebih dari 39 juta orang
memberikan suara, mewakili 91,5% dari para pemilih yang terdaftar. Pemilu ini
menawarkan pilihan yang paling bebas di kalangan partai-partai yang terbatas,
yang semuanya kampanye dengan penuh semangat, oleh karena itu, hasil pemilu
tersebut menunjukkan kesetiaan politik pada saat itu.[16]
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR :
No
|
Partai
|
Suara yang sah
|
% suara yang sah
|
Kursi parlemen
|
% kursi parlemen
|
1.
|
PNI
|
8.434.653
|
22,32
|
57
|
22,2
|
2.
|
Masyumi
|
7.903.886
|
20,92
|
57
|
22,2
|
3.
|
NU
|
6.955.141
|
18,41
|
45
|
17,5
|
4.
|
PKI
|
6.179.914
|
16,36
|
39
|
15,2
|
5.
|
PSII
|
1.091.160
|
2,89
|
8
|
3,1
|
6.
|
Parkindo
|
1.003.326
|
2,66
|
8
|
3,1
|
10.
|
Perti
|
483.014
|
1,28
|
4
|
|
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15
Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi
di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang
dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa
PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi
pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang
diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante :
No
|
Partai
|
Suara yang sah
|
% suara yang sah
|
Kursi parlemen
|
1.
|
PNI
|
9.070.218
|
23,97
|
119
|
2.
|
Masyumi
|
7.789.619
|
20,59
|
112
|
3.
|
NU
|
6.989.333
|
18,47
|
91
|
4.
|
PKI
|
6.232.512
|
16,47
|
80
|
5.
|
PSII
|
1.054.160
|
2,80
|
16
|
6.
|
Parkindo
|
988.810
|
2,61
|
16
|
10.
|
Perti
|
465.359
|
1,23
|
7
|
Walaupun seluruh upaya sudah dilakukan,
keempat partai Islam tersebut, Masyumi, NU, PSII dan Perti, secara bersama-sama
hanya memperoleh sebanyak 43,5% dari seluruh jumlah dari pemilihan DPR. Dari pengamatan diatas partai Islam
masih memperoleh suara yang kurang memuaskan. Dengan perolehan, Masyumi 20,9%
dan PSII 18,4%. Ternyata PSII telah menjadi partai kecil dengan perolehan 2,9%, sedangkan Perti sama
sekali menjadi tidak berarti dengan perolehan 1,3%.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Sekitar bulan November sampai Desember
1945, berbagai partai politik bermunculan di tanah air. Umat Islam meskipun
tidak secara langsung berkaitan dengan seruan pemerintah itu, menyelenggarakan
konggres umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta.
Dalam konggres tersebut akhirnya menyepakati untuk membentuk partai Islam
Indonesia, yaitu Masyumi, sebagai wadah dari aspirasi umat Islam.
Pada perkembangan selanjutnya partai
Islam satu-satunya ini mengalami perpecahan karena konflik intern, dengan
keluarnya PSII pada bulan Juli 1947, kemudian disusul dengan keluarnya NU pada
8 April 1952. Baik organisasi maupun partai yang keluar dari masyumi akhirnya
mendirikan partai politik Islam sendiri dan ikut bertanding di panggung pemilu
1955.
Berdasarkan pemilu 1955, ternyata
partai-partai Islam kurang mendapatkan suara yang memuaskan, hal ini terbukti
dengan unggulnya PNI, dengan mendapatkan suara 22,32 pada pemilihan DPR dan 23,97 dalam pemilihan konstituante sedangkan partai Islam berada dibawah
PNI, seperti Masyumi menduduki peringkat ke-2 dengan perolehan 20,92 pada pemilihan DPR dan 20,59
dalam pemilihan anggota konstituante, selanjutnya disusul oleh NU dengan perolehan 18,41 dalam pemilhan DPR dan 18,47 dalam pemilihan anggota
konstituante. PSII
ternyata telah menjadi partai kecil dengan mendapatkan suara 2,89 pada pemilihan DPR dan 2,80 pada
pemilihan konstituante. Sedangkan Perti sama sekali tidak berarti dengan
mendapat suara 1,28 dalam pemilihan DPR dan 1,23 dalam pemilihan konstituante.
[1]. Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa Menoleh Ke Belakang
Menatap Masa Depan, (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1977), hal. 84
[2]. M. Rusli Karim, Perjalanan
Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut (Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada, 1993), hal. 68
[5]. M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah
Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali Press, 1993) Hal. 101
[6]. M.Rusli Karim, hal 102
[8]. B.J.Bollan, Pergumulan
Islam di Indonesia 1945-1970 (Grafiti Press, 1985), hal. 49-50
[9]. Abdul Rouf, NU dan Civil Islam di Indonesia, (Jakarta:
Intimedia Ciptanusantara, 2010), hal. 131
[11]. M. Rusli Karim, hal. 73
[12]. http/www.facebook.com/topic.php?uid=123667618972&topic=14434
[13]. M. Rusli Karim, hal. 75
[14]. M. Rusli Karim, Hal. 76
[15]. Ibid, hal. 77
[16]. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta:
PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2008), hal. 520
[17]. B.J.Bollan, hal. 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar