Powered By Blogger

Selasa, 22 November 2011

"PARTAI-PARTAI ISLAM DAN PEMILU PERTAMA (1955)"


"PARTAI-PARTAI ISLAM DAN PEMILU PERTAMA (1955)"

BAB I
PENDAHULUAN
Pemilihan umum adalah sebagai salah satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna mengikutsertakan rakyat dalam menentukan wakil dan calon pemimpinnya belum dapat diselenggarakan di tahun-tahun awal kita merdeka, karena revolusi pada saat itu memang berada dalam suasana, dimana kegiatan-kegiatan pemerintah lebih diarahkan untuk mempertahankan kemerdekaan serta membendung arus kolonial.
Ditambah lagi dengan pertikaian intern dalam lembaga politik dan pemerintah serta belum adanya undang-undang yang mengatur pelaksanaan pemilu, meskipun ide untuk menyelenggarakannya sudah muncul sejak tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Hasrat untuk melaksanakan pemilu tersebut baru terlaksana dalam tahun 1955. Dalam pemilu pertama ini umat Islam mengeluarkan aspirasinya lewat partai-partai Islam, walaupun pada akirnya partai-partai Islam tersebut harus menerima kekecewaan karena kurang mendapatkan suara yang memuaskan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Partai-Partai Islam
1.      Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945. Setelah sidang selama dua hari, konggres akirnya menyepakati pembentukan partai Islam, sebagai satu-satunya wadah perjuanagan politik umat Islam Indonesia,[1] dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Atau secara lebih terperincinya, dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945. Masyumi memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.[2] Tujuan ini dijabarkan dalam Tafsiran Anggaran Dasar, dimana diberikan gambaran kasar dan umum tentang apa yang disebut suatu negara yang berdasarkan Islam itu :
“Kita menuju kepada “Baldatun Thoiyibatun, wa rabbun ghofur” negara yang berkebajikan diliputi keampunan Ilahi, dimana negara melakukan kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantara wakil-wakil rakyat yang dipilih; dimana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaa, tashamuh (lapang dada), keadilan sosial sebagai yang diajarkan oleh Islam, terlaksana sepenuhnya; dimana kaum muslimin mendapat kesempatan untuk mengatur perikehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan ajaran dan hukum-hukum Islam sebagai yang tercantum dalam Qur’an dan Sunnah”.[3]
Di masa penjajahan Belanda, ada sebuah organisasi yang disinyalir sebagai cikal bakal partai Masyumi yaitu Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang pada masa pendudukan Jepang berganti nama menjadi Masyumi namun bukan masyumi sebagai partai politik. Hal ini disinyalir sebagai cikal bakal partai Masyumi karena dalam sistem organisasinya terdapat kemiripan yakni mewadahi seluruh ormas Islam yang ada di Indonesia yang ada saat itu. Kongres pembentukan Masyumi dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada, dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang.
Susunan pengurus pusat pada awal pendirian Masjoemi diantaranya sebagai Ketua Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Ketua Muda I  dijabat oleh R. Abikoesno Tjokroasoejoso, Ketua Muda II oleh Wali Al-Fatah sementara Panitera I (Sekretaris) dijabat oleh S.M. Kartosoewirjo dan Panitera II oleh Prawoto Mangoensasmito.[4]

2.      NU (Nahdatul Ulama’)
Nahdatul Ulma’ (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, pada awal berdirinya disebut Jam’iah Nahdatul Ulama’, belum merupakan partai politik.[5] Ada tiga faktor utama didirikannya partai ini. Pertama, karena rasa tanggung jawab yang besar dari para Ulama akan kemurnian serta keluhuran agama Islam. Kedua, rasa tanggung jawab yang besar dari para Ulama’ sebagai pemimpin ummat dan penerus perjuangan pahlawan Islam. Ketiga, rasa tanggung jawab para ulama’ untuk memelihara ketentraman  dan ketenangan bangsa Indonesia.[6]  NU baru menjadi partai politik sejak ia keluar dari masyumi. NU keluar dari Masyumi disebabkan oleh:
1.      keinginan NU sendiri untuk mandiri dalam berpolitik
2.      Masyumi didominasi oleh kelompok modernis
3.      perbedaan visi karena tradisi berpolitik yang dikembangkan kelompok tradisonalis dengan modernis
4.      NU dalam Masyumi tidak menduduki posisi strategis.[7]
Karena sering terjadi konflik kepentingan dalam tubuh partai, maka NU keluar dari Masyumi pada 8 April 1952 dan mendirikan partai sendiri yang diberi nama sesuai dengan nama jam’iyahnya, yaitu Partai Nahdlatul Ulama. Secara garis besar menurut B.J. Bollan faktor langsung keluarnya NU dari Masyumi yaitu masalah perebutan jabatan menteri agama dalam kabnet Wilopo  (April 1952). Adanya kritik terhadap kebijakan Wahid Hasim menyebabkan terpilihnya Fakih Usman , sedangkan NU tetap menuntut jabatan ini untuk Wahid Hasim.[8]  Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelumnya NU adalah organisasi masyarakat yang besar, maka ketika menjadi partai politik NU pun mempunyai suara yang besar.
Dengan bermodal jumlah massa yang cukup besar, NU berusaha untuk memperoleh suara yang sebanyak-banyaknya dalam pemilihan umum. Pemilihan umum pertama tahun 1955 sebagai wujud konkret bagi kekuatan NU dan dapat dikatakan sebagai pukulan yang besar bagi Masyumi. Pada pemilu tahun 1955, NU menempatkan diri pada urutan ketiga perolehan suara dari 29 partai yang memperoleh kursi di DPR.
Menurut Abdul Rouf dalam bukunya NU dan Civil Islam di Indonesia, kemenangan NU dalam pemilu 1955 disebabkan beberapa faktor. Pertama, peran strategis kyai NU yang memiliki pengaruh kuat di tengah-tengah masyarakat, khususnya di daerah pedesaan sebagai basis mayoritas massa NU. Kedua, banyaknya jumlah pesantren NU yang tersebar luas di berbagai daerah. Ketiga, dukungan para santri dan mayoritas massa NU yang yang fanatik terhadap kyai yang menjadi panutan. Keempat, jargon Islam keislaman yang selalu dijadikan sebagai sentral dalam kampanye.[9]
3.      PSII (Partai Serikat Islam Indonesia)
Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 (PSII 1905) ini lahir dengan mengacu pada pendirian Syarikat Dagang Islam yang bertahun 1905.[10] Pada mula didirikan, partai ini lahir karena dorongan ekonomi rakyat, mengingat adanya tekanan yang hebat dari luar negeri terhadap ekonomi rakyat Indonesia, karena itu di bawah pimpinan Samanhoedi, Serikat Dagang Islam (SDI). Baru tahun 1912 namanya diubah menjadi Serikat Islam (SI) bergerak terang-terangan dalam partai politik radikal dengan diketuai oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto.[11]
Nama Serikat Islam (SI) kemudian berubah menjadi Partai Serikat Islam pada tahun 1921 dan berubah lagi menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930. Setelah terjadi perubahan nama, terjadi pemisahan besar-besaran pada partai ini pada tahun 1932 dan 1936. Diantaranya yaitu Partai Islam Indonesia (PERLI), di pimppin oleh Dr. Soekiman, PENYEDAR yang di ketuai oleh H. Agus Salim, kemudian disusul dengan pemisahan yang lebih radikal lagi yang dipimpin oleh Soekarmadji Kartosuwirjo dengan mendirikan Komite Pembela Kebenaran PSII.
PSII yaitu kelompok yang pertama keluar dari Masyumi, yaitu pada bulan Juli 1947. Menurut Boland dalam bukunya “Pergumulan Islam di Indonesia”, alasan PSII keluar dari Masyumi tidak jelas, namun menurut sebuah artikel di “Freedom Institute” PSII keluar karena ingin mendapatkan portofolio menteri di Kabinet Amir Sjarifudin I (1947-1948). Pada saat itu memang Masyumi mengambil sikap oposisi terhadap kabinet pemerinta akibat tidak menyetujui perjanjian Linggarjati.[12]

4.      Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
Organisasi  ini didirikan di Bukit Tinggi pada tanggal 20 Mei 1930, para pendirinya terdiri dari para ulama’ terkemuka, antara lain: Syekh Suleman Rasuly, Syekh Muhammad Djamil Djaho, Syekh Muhammad Ladang Laweh, Syekh Abdul Wahid es Sahily dan Syekh Arifin Arsjadi. Sejak awal berdiri sampai kongres ke-4 organisasi ini bersifat sosial yang bergerak dibidang pendidikan, pengajaran agama dan umum, membantu fakir miskin serta menggalakkan tolong-menolong.[13]
Organisasi ini terjun kedalam politik berdasarkan siding pleno pengurus besar tanggal 22 November 1945 di Bukit Tinggi. Sejak itu pula namanya menjadi partai Islam PERTI. Partai yang berazaskan Islam ini, menggunakan madzhab Syafi’I dan dalam akidah menggunakan Madzhab ahlus sunnah wal jama’ah, dengan tujuan “Kalimatullah Hiyal Ulya”(ketinggian agama Islam). Dalam arti yang luas. Untuk mencapai tujuan ini, maka PERTI bergerak di bidang:
1.      Memperdalam rasa cinta terhadap agama, bangsa dan tanah air
2.      Memperhebat penyiaran dan pertahanan agama Islam
3.      Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia
4.      Memajukan pengajaran, pendidikandan kecerdasan rakyat
5.       Memajukan perekonomian dan mengusahakan kemakmuran rakyat, dll.[14]
                  Berbeda dengan partai Islam yang lain, partai ini kurang berkembang selain di Sumatra. Mungkin karena partai tersebut tidak mempunyai kekhususan, mereka pendatang baru, sehingga ia tidak begitu popular di luar Suamatra, disisi lain kehadirannya di Sumatra barat (dahulu Sumatra tengah) yang berbasis Muhammadiyah membuat partai ini agak eksklusif disbanding Muhammadiyah yang telah berkembang di tanah air.[15]
B.       Partai-Partai Islam dan Pemilu Pertama (1955)
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang saat itu masih berusia 10 tahun dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946.
Hal itu dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat tersebut, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 29-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante.
Jumlah orang yang hadir dalam pemilu untuk memilih anggota DPR pada bulan September 1955 sangat banyak, lebih dari 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5% dari para pemilih yang terdaftar. Pemilu ini menawarkan pilihan yang paling bebas di kalangan partai-partai yang terbatas, yang semuanya kampanye dengan penuh semangat, oleh karena itu, hasil pemilu tersebut menunjukkan kesetiaan politik pada saat itu.[16]
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR :
No
Partai
Suara yang sah
% suara yang sah
Kursi parlemen
% kursi parlemen
1.
PNI
8.434.653
22,32
57
22,2
2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57
22,2
3.
NU
6.955.141
18,41
45
17,5
4.
PKI
6.179.914
16,36
39
15,2
5.
PSII
1.091.160
2,89
8
3,1
6.
Parkindo
1.003.326
2,66
8
3,1
10.
Perti
483.014
1,28
4


Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante :
No
Partai
Suara yang sah
% suara yang sah
Kursi parlemen
1.
PNI
9.070.218
23,97
119
2.
Masyumi
7.789.619
20,59
112
3.
NU
6.989.333
18,47
91
4.
PKI
6.232.512
16,47
80
5.
PSII
1.054.160
2,80
16
6.
Parkindo
988.810
2,61
16
10.
Perti
465.359 
1,23
7

Walaupun seluruh upaya sudah dilakukan, keempat partai Islam tersebut, Masyumi, NU, PSII dan Perti, secara bersama-sama hanya memperoleh sebanyak 43,5% dari seluruh jumlah dari pemilihan DPR. Dari pengamatan diatas partai Islam masih memperoleh suara yang kurang memuaskan. Dengan perolehan, Masyumi 20,9% dan PSII 18,4%. Ternyata PSII telah menjadi partai kecil  dengan perolehan 2,9%, sedangkan Perti sama sekali menjadi tidak berarti dengan perolehan 1,3%.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Sekitar bulan November sampai Desember 1945, berbagai partai politik bermunculan di tanah air. Umat Islam meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan seruan pemerintah itu, menyelenggarakan konggres umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta. Dalam konggres tersebut akhirnya menyepakati untuk membentuk partai Islam Indonesia, yaitu Masyumi, sebagai wadah dari aspirasi umat Islam.
Pada perkembangan selanjutnya partai Islam satu-satunya ini mengalami perpecahan karena konflik intern, dengan keluarnya PSII pada bulan Juli 1947, kemudian disusul dengan keluarnya NU pada 8 April 1952. Baik organisasi maupun partai yang keluar dari masyumi akhirnya mendirikan partai politik Islam sendiri dan ikut bertanding di panggung pemilu 1955.
Berdasarkan pemilu 1955, ternyata partai-partai Islam kurang mendapatkan suara yang memuaskan, hal ini terbukti dengan unggulnya PNI, dengan mendapatkan suara 22,32 pada pemilihan DPR dan 23,97 dalam pemilihan konstituante sedangkan partai Islam berada dibawah PNI, seperti Masyumi menduduki peringkat ke-2 dengan perolehan 20,92 pada pemilihan DPR dan 20,59 dalam pemilihan anggota konstituante, selanjutnya disusul oleh NU dengan perolehan 18,41 dalam pemilhan DPR dan 18,47 dalam pemilihan anggota konstituante. PSII ternyata telah menjadi partai kecil dengan mendapatkan suara 2,89 pada pemilihan DPR dan 2,80 pada pemilihan konstituante. Sedangkan Perti sama sekali tidak berarti dengan mendapat suara 1,28 dalam pemilihan DPR dan 1,23 dalam pemilihan konstituante.



[1]. Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa Menoleh Ke Belakang Menatap Masa Depan, (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1977), hal. 84
[2].  M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 68
[5]. M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, (Jakarta: Rajawali Press, 1993) Hal. 101
[6]. M.Rusli Karim, hal 102
[8].  B.J.Bollan, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 (Grafiti Press, 1985), hal. 49-50
[9]. Abdul Rouf, NU dan Civil Islam di Indonesia, (Jakarta: Intimedia Ciptanusantara, 2010), hal. 131
[11].  M. Rusli Karim, hal. 73
[12]. http/www.facebook.com/topic.php?uid=123667618972&topic=14434
[13]. M. Rusli Karim, hal. 75
[14]. M. Rusli Karim, Hal. 76
[15].  Ibid, hal. 77
[16]. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2008), hal. 520
[17]. B.J.Bollan, hal. 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar