DINASTI
SAMANIYAH DAN KONDISI SOSIAL POLITIK, EKONOMI DINASTI TIMUR BAGDAD
PENDAHULUAN
A. Sejarah Dinasti Samaniyah
Pada kisaran ke abad 10 M, Islam merupakan agama
yang mencapai keemasanya. Namun dengan adanya kejayaan itulah membutakan para
pemimpinya dalam menjalankan tugasnya. Sehingga terpecah belah menjadi beberapa
kelompok salah satu kelompok atau dinasti yang muncul pada waktu itu adalah
dinasti Samaniyah yang berkuasa di Transoxsania bertepatan di Iran Timur.
Kerajaan ini bukan memisahkan diri, tetapi mereka tetap berada dibawah
kekuasaan Abasiyah, tetapi masyarakat mereka menganggapnya independent.[1]
Dinasti Samaniyah merupakan Dinasti yang pemimpinya dari seorang tuan tanah
Balk yang bernama Saman-Khuda yang telah masuk Islam. Saman merupakan keturunan
dari kerajaan Sasan Persia yang terakhir. Dia mempunyai empat anak yang
mengabdi kepada kholifah Al-Makmun dan menjadi gubernur empat bagian di daerah
Khurasan. [2]
Karena mereka bekerja dengan baik dan setia, maka
Nuh diangkat menjadi gubernur Samarqand, Ahmad menjadi gubernur di Farghana,
Yahya mejadi gubernur Syasy, dan Ilyas menjadi gubernur di Herat. Pada tahun
875 cicit Saman yang bernama Nashr ibn Ahmad berhasil menguasai seluruh
Transoxsania dan mendirikan diasti Samaniyah.[3]
Ketika kekuasaan Nashr dan belum begitu berkembang. Baru setelah di lanjutkan
oleh saudaranya yaitu Isma’il Ibnu Ahmad pada tahun 900 berhasil merebut
Khurasan dari kekuasaan Dinasti Saffariyah.[4]
wilayah Transoxsania itu menjadi jantung
kekaisaran Samaniyah, dan mengambil alih tugas-tugas Integrasi politik dari
tangan orang-orang Turki. Kekuatan militer mereka sangat disegani oleh semua
kalangan dan menjadikanya kawasan Transoxsania sebagai jalur perekonomian
antara Asia selatan, tengah, barat, dan Rusia. Dengan kemakmuranya itu, maka
amir-amir Samaniyah menjadikanya sebagai istana Bukhara sebagai pusat segala
aspek yang meliputi Ilmu pengetahuan, politik, dan perekonomian.
Pada tahun 900 Isma’il berterimakasih kepada khalifah
Abasiyah karena menangkap Amr ibn Layts dan mengalahkan diasti Shaffariyah.
Setelah itu dia diangkat menjadi gubernur untuk mengantikan Tahiriyah dan
Shaffariyah.[5]
Ketika berada di bawah pimpinan Nashr II pada tahun 913-943, yang berada pada
keturunan keempat dari dinasti Samaniyah, telah berhasil memperluas kerajaan
hingga batas-batas yang jauh, diantaranya adalah kawasan Sijistan, Karman,
Jurjan, Rayyin, dan Tabaristan. Meskipun begitu Samaniyah tetap menjadi
kerajaan yang setia dengan Abasiyah dan mereka merupakan amir dalam
kedudukanya. Dibawah kekuasaan Samaniyanlah kaum muslimin bisa berkembang
dengan pesat, bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan hampir mengungguli Bagdad.
Banyak sekali para Ilmuan yang lahir dikalangan dinasti Samaniyah.[6]
Diantaranya adalah Al-kharakhi yang menguasai ilmu astronomi dan geografi dari
Khurasan, Al-Balkhi dari Balk merupakan ilmuan yang menguasai ilmu astronomi
dan astrologi. Beliau juga salah satu orang yang pertama kali membantah teori
Aris Toteles tentang planet.[7]
Al-Razi yang merupakan ilmuan kedokteran yang mana pernah menulis suatu karya
kedokteran yang berjudul Al-Manshur yang ditujukan untuk amir Samaniyah, Ibnu
Sina, dan lain-lain.
Pada masa kekholifahan Nuh II pada tahun 976-997,
ilmu pengetahuan sangat maju dan banyak sekali ilmuan yang berbangsa Persia
lahir, selain itu orang-orang Persia selalu menggunakan bahasa arab sebagai
ekspresi sastra. Samaniyah merupakan dinasti yang tercerahkan di Iran. Namun
pada akhir abad ke 10 M, terlihat adanya ketidakstabilan dalam pemerintah. Para
budak Turki sedikit-demi sedikit merebut kekuasaanya yang akhirnya berhasil
menguasai Oxus. Selain itu karena adanya seorang budak yang disukai oleh
kalangan Samaniyah, kemudian dianugrahi pos penting dalam pemerintahan yaitu
Alptighin. Yang mulanya hanya sebagai pengawal, kemudian naik menjadi kepal dan
pada 961 di angkat menjadi gubernur di Khurasan. Kemudian setelah berganti
kekuasaan, Alp sudah tidak lagi disukai. Pada 962 dia perdi ke Ghaznah dan
merebutnya, dari situ di mendirikan dinasti Ghaznawiyah yang meliputi
Afghanistan dan Punjab.[8]
Sedikit demi sedikit, kekuasaan Samaniyah di rebut
oleh dinasti Ghaznawiyah karena sebelumnya tentara bayaran Turki sebagai
kekuatan utama, namun setelah beberapa daerah memisahkan diri, maka dalam
perpajakanya juga turun. Akhirnya tentara Turki banyak yang bergabung dengan
Ghaznawiyah. Pada tahun 977 tentara
Turki menurunkan pimpinanya yang dianggap tidak becus dan digantikan oleh
Subugtigin. Pada tahun 993 Alptighin kembali ke Samarkhan dan menganggap
dirinya masih sebagai gubernur. Dia memberikan bantuan kepada dinasti Samaniyah
ketika terjadi pemberontakan. Mahmud putra dari Sebuktigin tinggal di Khurasan
bersama ayahnya dan akhirnya diangkat menjadi gubernur Khurasan. Tahun 997
terjadi pertikaian di Samaniyah. Karena ayahnya meninggal, maka Ahmad
mengantikanya sebagai penguasa Ghaznah. Pada waktu yang sama terjadi
pemberontakan kepada dinasti Samaniyah, yaitu dinasti Qarakhani yang dipimpin
oleh Ilek Khan dari Asia meyerbu Samaniyah. Tahun 999 Samaniyah terpecah-pecah.
Mahmud merebut Khuraan dan Transoxsania sampai Oxus. Dan inlah akhir dari
kekuasaan Samaniyah, tetapi amir Samaniyah yaitu Isma’il Al-Munthasari masih
bisa bertahan sampai 1005 M dengan kekuasaan yang kecil di Bukhara.[9]
B. Keadaan Sosial Politik dan Ekonomi Dinasti-dinasti
Kecil Di Timur Bagdad
Daulah abasiyah merupakan dinasti masa kejayaan
Islam. Namun dengan adanya kekuasaan yang begitu besar, mengakibatkan sulitnya
mengatur struktur pemerintahan didaerah-daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan. Maka dari itu dibentuklah gubernur di setiap Negara. Namun ketika
gubernur itu merasa ingin berkuasa, mereka sedikit demi sedikit tidak loyal
lagi kepada pemerintah pusat dan akhirnya mereka memerdekaakan diri. Adapun
dinasti yang memerdekakan diri di Timur Bagdad awalnya merupakan tempat yang
dianugrahkan oleh kholifah abasiyah, mereka diangkat sebagai Amir. Disetiap
kekuasaanya, tugas pertamanya adalah sebagai polisi khusus untuk membetengi
daerah pinggiran, sebagai kantor pos, sebagai penyalur perdagangan, dan
pemungut pajak. Dalam masalah pengadilan, mereka mengangkat ilmuan agama untuk
menjadi ahli hakim. [10]
Pada sekitar abad ke 9, organisasi militer yang berada di daerah timur Bagdad
sangat disegani. Mereka meliputi orang-orang Turki dan Persia. Kepala
kepolisian biasa disebut Muhtasib. Meskipun terkadang mereka melakukan
perlawanan dengan yang lain, mereka tetap menjadi bawahan dinasti abasiyah. Tentara
ini meliputi pasukan infranti, bersenjata tomabak, pedang, perisai, pasukan panah,
dan berkuda.
Pemerintahan dinasti timur Bagdad dipegang oleh
amir. Kedudukan amir disi adalah independen dan kekuasaanya biasa diwariskan
sesuai yang mereka kehendaki. Setiap amir memilik wazir sendiri yang ditugaskan
sebagai penata pemerintahan dipusat kota. Mayoritas kekuasaan mereka adalah
absolute, dikarenakan jauh dari pusat pemerintahan dan pada waktu tertentu
abasiyah tidak punya kekuatan untuk memberantasnya, sehingga dibiarkan
independent. Para amir ditimur Bagdad sangat mengutamakan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Mereka memberikan peluang yang besar untuk ilmuan untuk tinggal di
kerajaan dan mengembangkan ilmunya. Ilmu-ilmu yang dikembangkan merupakan ilmu
dari zaman Persia lama, karena daerah tersebut merupakan daerah Persia. Para
penduduk tidak lagi menggunakan bahasa Persia sebagai bahasa utamanya, tetapi
bahasa arab.
Keadaan politik dinasti kecil di Timur Bagdad tidak
bisa selalu berjalan lancar, karena sering adanya kekuasaan yang sama-sama
ingin menguasai. Usaha mereka untuk menjadi independent terlihat ketika mereka
menghilangkan pembacaan nama-nama kholifah abasiyah dan diganti dengan dirinya,
selain itu mereka juga menggati gambar uang logam dengan dirinya.
Selain masalah politk, kawasan timur
Bagdad merupakan sarana perekonomian Dunia. Para ilmuan banyak mengembangkan
ilmunya dalam bidang pertanian, pedagangan, arsitektur, dll. Hal ini digunakan
untuk meningkatkan perekonomian kerajaan. Selain dari pengembangan sumberdaya
alamnya, masyarakat juga harus memberikan pajak kepada pusat kerajaan meskipun
kerajaan harus memberikan pajak juga kepada dinasti abasiyah sebelum
memerdekakan diri. Transaksi dengan Negara-negara lain selalu dijalankan.
Bahkan produksi logam, tekstil, perak mereka ekspor sampai ke Rusia, Cina. Industri
kerajinan tangan menjamur diberbagai daerah sampai pelosok kerajaan. Contoh
kerajinannya adalah mangkok dan piring yang terbuat dari tanah liat, tembikar
yang bermotif macam-macam hiasan. Pada waktu itu sudah ada mesin pencetak
karpet yang memiliki harga 130 juta dirham sehelainya.[11]
Untuk kawasan Khurasan terkenal dengan daganganya berupa timal meja, hiasan
dinding, serta kain pembungkus sofa dan bantal. Bukhara sangat terkenal dengan
produksi sajadahnya. Gambaran yang lengkap tentang perkembangan industri dan
perdagangan di Trasoxiana dapat di lihat dar tulisan Al-Maqsidi yang
menyebutkan daftar daftar barang yang di ekspor ke berbagai kota yaitu sabun,
karpet, lampu, perunggu, wol, madu, pisau, pedang, pot bunga, dll.[12]
Industri penting lain yang perlu dicatat adalah pembuatan
kertas tulis yang di perkenalkan pada ke 8 kepada cina dari Samarkhan. kertas
yang dicetak sudah bermacam-macam, seperti kertas putih, kertas warna, dan
macam-macam kertas lainya.[13]
Di Khurasan pada abad ke 10 menjadi sumber tambang yang merupakan tumbuhnya
industri perhiasan yang meliputi emas, perak yang menghasilkan marmer.
Selain masalah industri, masalah
pertanian daerah Transoxiana sangat maju, bahkan bisa mengungguli Irak dan
Mesir. Pertanian merupakan pendapatan pajak yang terbesar. Di sini antara
Samarkand dengan Bukhara tebentang lembah yang luas yang banyak menghasil hasil
pertanian seperti jenis buah, sayuran, bungan.[14]
selain dari perindustrian dan pertanian.
Para dinasti di timur Bagdad juga mendapatkan pemasukan dari integrasi mereka terutama
ketika menghadapi masyarakat hindu di Bombay. Selain mendapatkan kemengangan,
umat Islam juga mendapatkan harta rampasan yang melimpah. Dengan adanya banyak
sumber perekonomian, para amir membangun bangunan yang megah di setiap pusat
kekuasaanya.
KESIMPULAN
Dinasti samaniyah merupakan salah satu dinasti yang
berada di timur Bagdad. Meskipun dari masyarakatnya menganggap dinasti ini
memerdekakan diri dari kekuasaan, namun sebenarnya dinasti ini tetap setia
bersama dinasti Abasiyah. Kepala Negara mereka juga hanya cukup sebagai amir.
Dinasti Samaniyah tidak sama dengan keberadaan dinasti yang ada di timur bagdad
lainya. Umumnya dinasti yang lain memerdekakan diri dan melawan kekuaaan pusat,
tetapi dinasti Samaniyah tidak. Namun keberadaan dinasti ini tidak bisa
bertahan lama karena adanya kesalahan politik dan pergeseran kekuasaan dengan
dinasti lain.
Meskipun para dinasti di timur bagdad sebagian
memerdekakan diri, namun mereka juga dipaksa untuk membayar pajak. Pajak yang
digunakan untuk membayar yaitu berasal dari hasil pertanian, perdagangan, seni,
dll. Kekuasaan dinasti ditimur bagdad sangat kaya, selain dari hasil buminya,
perdaganganya sangat maju. Karena ditopang adanya salah satu jalur darat yang
menghubungkan anatar Negara besar di Dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial
Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003)
Sholikhin, Muhammad, Menyatu
Diri Dengan Illahi, (Jakarta: Suka Buku, 2010)
C. E. Boswoth, Dinasti-Dinasti
Islam, (Bandung: Mizan, 1993)
K. Hitti, Philip, History of The
Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010)
Murtiningsih, Wahyu, Biografi
Para Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008)
Watt, W. Montgomery, Kejayaan
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990)
[1] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik
Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003). Hlm. 139
[2] Muhammad Sholikhin, Menyatu Diri Dengan
Illahi, (Jakarta: Suka Buku, 2010). Hlm. 44
[3] C. E. Boswoth, Dinasti-Dinasti Islam,
(Bandung: Mizan, 1993). Hlm. 128
[4] Philip K. Hitti, History of The Arabs,
(Jakarta: Serambi, 2010). Hlm. 586
[5] C. E. Boswoth, Dinasti-Dinasti Islam.
Hlm. 128-129
[6] Philip K. Hitti, History of The Arabs.
Hlm. 586-587
[7] Wahyu Murtiningsih, Biografi Para
Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008). Hlm. 139
[8] Philip K. Hitti, History of The Arabs.
Hlm. 586-588
[9] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990). Hlm. 211-212
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs.
Hlm. 401
[11] Ibid.
Hlm. 431
[12] Ibid.
Hlm. 432
[13] Ibid.
Hlm. 433
[14] Ibid.
Hlm. 438
Tidak ada komentar:
Posting Komentar