Powered By Blogger

Selasa, 22 November 2011

"DINASTI SAMANIYAH DAN KONDISI SOSIAL POLITIK, EKONOMI DINASTI TIMUR BAGDAD "



DINASTI SAMANIYAH DAN KONDISI SOSIAL POLITIK, EKONOMI DINASTI TIMUR BAGDAD


PENDAHULUAN
A.     Sejarah Dinasti Samaniyah
Pada kisaran ke abad 10 M, Islam merupakan agama yang mencapai keemasanya. Namun dengan adanya kejayaan itulah membutakan para pemimpinya dalam menjalankan tugasnya. Sehingga terpecah belah menjadi beberapa kelompok salah satu kelompok atau dinasti yang muncul pada waktu itu adalah dinasti Samaniyah yang berkuasa di Transoxsania bertepatan di Iran Timur. Kerajaan ini bukan memisahkan diri, tetapi mereka tetap berada dibawah kekuasaan Abasiyah, tetapi masyarakat mereka menganggapnya independent.[1] Dinasti Samaniyah merupakan Dinasti yang pemimpinya dari seorang tuan tanah Balk yang bernama Saman-Khuda yang telah masuk Islam. Saman merupakan keturunan dari kerajaan Sasan Persia yang terakhir. Dia mempunyai empat anak yang mengabdi kepada kholifah Al-Makmun dan menjadi gubernur empat bagian di daerah Khurasan. [2]
Karena mereka bekerja dengan baik dan setia, maka Nuh diangkat menjadi gubernur Samarqand, Ahmad menjadi gubernur di Farghana, Yahya mejadi gubernur Syasy, dan Ilyas menjadi gubernur di Herat. Pada tahun 875 cicit Saman yang bernama Nashr ibn Ahmad berhasil menguasai seluruh Transoxsania dan mendirikan diasti Samaniyah.[3] Ketika kekuasaan Nashr dan belum begitu berkembang. Baru setelah di lanjutkan oleh saudaranya yaitu Isma’il Ibnu Ahmad pada tahun 900 berhasil merebut Khurasan dari kekuasaan Dinasti Saffariyah.[4] wilayah Transoxsania  itu menjadi jantung kekaisaran Samaniyah, dan mengambil alih tugas-tugas Integrasi politik dari tangan orang-orang Turki. Kekuatan militer mereka sangat disegani oleh semua kalangan dan menjadikanya kawasan Transoxsania sebagai jalur perekonomian antara Asia selatan, tengah, barat, dan Rusia. Dengan kemakmuranya itu, maka amir-amir Samaniyah menjadikanya sebagai istana Bukhara sebagai pusat segala aspek yang meliputi Ilmu pengetahuan, politik, dan perekonomian.  
Pada tahun 900 Isma’il berterimakasih kepada khalifah Abasiyah karena menangkap Amr ibn Layts dan mengalahkan diasti Shaffariyah. Setelah itu dia diangkat menjadi gubernur untuk mengantikan Tahiriyah dan Shaffariyah.[5] Ketika berada di bawah pimpinan Nashr II pada tahun 913-943, yang berada pada keturunan keempat dari dinasti Samaniyah, telah berhasil memperluas kerajaan hingga batas-batas yang jauh, diantaranya adalah kawasan Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyin, dan Tabaristan. Meskipun begitu Samaniyah tetap menjadi kerajaan yang setia dengan Abasiyah dan mereka merupakan amir dalam kedudukanya. Dibawah kekuasaan Samaniyanlah kaum muslimin bisa berkembang dengan pesat, bahkan dalam bidang ilmu pengetahuan hampir mengungguli Bagdad. Banyak sekali para Ilmuan yang lahir dikalangan dinasti Samaniyah.[6] Diantaranya adalah Al-kharakhi yang menguasai ilmu astronomi dan geografi dari Khurasan, Al-Balkhi dari Balk merupakan ilmuan yang menguasai ilmu astronomi dan astrologi. Beliau juga salah satu orang yang pertama kali membantah teori Aris Toteles tentang planet.[7] Al-Razi yang merupakan ilmuan kedokteran yang mana pernah menulis suatu karya kedokteran yang berjudul Al-Manshur yang ditujukan untuk amir Samaniyah, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Pada masa kekholifahan Nuh II pada tahun 976-997, ilmu pengetahuan sangat maju dan banyak sekali ilmuan yang berbangsa Persia lahir, selain itu orang-orang Persia selalu menggunakan bahasa arab sebagai ekspresi sastra. Samaniyah merupakan dinasti yang tercerahkan di Iran. Namun pada akhir abad ke 10 M, terlihat adanya ketidakstabilan dalam pemerintah. Para budak Turki sedikit-demi sedikit merebut kekuasaanya yang akhirnya berhasil menguasai Oxus. Selain itu karena adanya seorang budak yang disukai oleh kalangan Samaniyah, kemudian dianugrahi pos penting dalam pemerintahan yaitu Alptighin. Yang mulanya hanya sebagai pengawal, kemudian naik menjadi kepal dan pada 961 di angkat menjadi gubernur di Khurasan. Kemudian setelah berganti kekuasaan, Alp sudah tidak lagi disukai. Pada 962 dia perdi ke Ghaznah dan merebutnya, dari situ di mendirikan dinasti Ghaznawiyah yang meliputi Afghanistan dan Punjab.[8]
Sedikit demi sedikit, kekuasaan Samaniyah di rebut oleh dinasti Ghaznawiyah karena sebelumnya tentara bayaran Turki sebagai kekuatan utama, namun setelah beberapa daerah memisahkan diri, maka dalam perpajakanya juga turun. Akhirnya tentara Turki banyak yang bergabung dengan Ghaznawiyah. Pada  tahun 977 tentara Turki menurunkan pimpinanya yang dianggap tidak becus dan digantikan oleh Subugtigin. Pada tahun 993 Alptighin kembali ke Samarkhan dan menganggap dirinya masih sebagai gubernur. Dia memberikan bantuan kepada dinasti Samaniyah ketika terjadi pemberontakan. Mahmud putra dari Sebuktigin tinggal di Khurasan bersama ayahnya dan akhirnya diangkat menjadi gubernur Khurasan. Tahun 997 terjadi pertikaian di Samaniyah. Karena ayahnya meninggal, maka Ahmad mengantikanya sebagai penguasa Ghaznah. Pada waktu yang sama terjadi pemberontakan kepada dinasti Samaniyah, yaitu dinasti Qarakhani yang dipimpin oleh Ilek Khan dari Asia meyerbu Samaniyah. Tahun 999 Samaniyah terpecah-pecah. Mahmud merebut Khuraan dan Transoxsania sampai Oxus. Dan inlah akhir dari kekuasaan Samaniyah, tetapi amir Samaniyah yaitu Isma’il Al-Munthasari masih bisa bertahan sampai 1005 M dengan kekuasaan yang kecil di Bukhara.[9]
B.     Keadaan Sosial Politik dan Ekonomi Dinasti-dinasti Kecil Di Timur Bagdad
Daulah abasiyah merupakan dinasti masa kejayaan Islam. Namun dengan adanya kekuasaan yang begitu besar, mengakibatkan sulitnya mengatur struktur pemerintahan didaerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Maka dari itu dibentuklah gubernur di setiap Negara. Namun ketika gubernur itu merasa ingin berkuasa, mereka sedikit demi sedikit tidak loyal lagi kepada pemerintah pusat dan akhirnya mereka memerdekaakan diri. Adapun dinasti yang memerdekakan diri di Timur Bagdad awalnya merupakan tempat yang dianugrahkan oleh kholifah abasiyah, mereka diangkat sebagai Amir. Disetiap kekuasaanya, tugas pertamanya adalah sebagai polisi khusus untuk membetengi daerah pinggiran, sebagai kantor pos, sebagai penyalur perdagangan, dan pemungut pajak. Dalam masalah pengadilan, mereka mengangkat ilmuan agama untuk menjadi ahli hakim. [10] Pada sekitar abad ke 9, organisasi militer yang berada di daerah timur Bagdad sangat disegani. Mereka meliputi orang-orang Turki dan Persia. Kepala kepolisian biasa disebut Muhtasib. Meskipun terkadang mereka melakukan perlawanan dengan yang lain, mereka tetap menjadi bawahan dinasti abasiyah. Tentara ini meliputi pasukan infranti, bersenjata tomabak, pedang, perisai, pasukan panah, dan berkuda.
Pemerintahan dinasti timur Bagdad dipegang oleh amir. Kedudukan amir disi adalah independen dan kekuasaanya biasa diwariskan sesuai yang mereka kehendaki. Setiap amir memilik wazir sendiri yang ditugaskan sebagai penata pemerintahan dipusat kota. Mayoritas kekuasaan mereka adalah absolute, dikarenakan jauh dari pusat pemerintahan dan pada waktu tertentu abasiyah tidak punya kekuatan untuk memberantasnya, sehingga dibiarkan independent. Para amir ditimur Bagdad sangat mengutamakan dalam bidang ilmu pengetahuan. Mereka memberikan peluang yang besar untuk ilmuan untuk tinggal di kerajaan dan mengembangkan ilmunya. Ilmu-ilmu yang dikembangkan merupakan ilmu dari zaman Persia lama, karena daerah tersebut merupakan daerah Persia. Para penduduk tidak lagi menggunakan bahasa Persia sebagai bahasa utamanya, tetapi bahasa arab.
Keadaan politik dinasti kecil di Timur Bagdad tidak bisa selalu berjalan lancar, karena sering adanya kekuasaan yang sama-sama ingin menguasai. Usaha mereka untuk menjadi independent terlihat ketika mereka menghilangkan pembacaan nama-nama kholifah abasiyah dan diganti dengan dirinya, selain itu mereka juga menggati gambar uang logam dengan dirinya.
            Selain masalah politk, kawasan timur Bagdad merupakan sarana perekonomian Dunia. Para ilmuan banyak mengembangkan ilmunya dalam bidang pertanian, pedagangan, arsitektur, dll. Hal ini digunakan untuk meningkatkan perekonomian kerajaan. Selain dari pengembangan sumberdaya alamnya, masyarakat juga harus memberikan pajak kepada pusat kerajaan meskipun kerajaan harus memberikan pajak juga kepada dinasti abasiyah sebelum memerdekakan diri. Transaksi dengan Negara-negara lain selalu dijalankan. Bahkan produksi logam, tekstil, perak mereka ekspor sampai ke Rusia, Cina. Industri kerajinan tangan menjamur diberbagai daerah sampai pelosok kerajaan. Contoh kerajinannya adalah mangkok dan piring yang terbuat dari tanah liat, tembikar yang bermotif macam-macam hiasan. Pada waktu itu sudah ada mesin pencetak karpet yang memiliki harga 130 juta dirham sehelainya.[11] Untuk kawasan Khurasan terkenal dengan daganganya berupa timal meja, hiasan dinding, serta kain pembungkus sofa dan bantal. Bukhara sangat terkenal dengan produksi sajadahnya. Gambaran yang lengkap tentang perkembangan industri dan perdagangan di Trasoxiana dapat di lihat dar tulisan Al-Maqsidi yang menyebutkan daftar daftar barang yang di ekspor ke berbagai kota yaitu sabun, karpet, lampu, perunggu, wol, madu, pisau, pedang, pot bunga, dll.[12]
Industri penting lain yang perlu dicatat adalah pembuatan kertas tulis yang di perkenalkan pada ke 8 kepada cina dari Samarkhan. kertas yang dicetak sudah bermacam-macam, seperti kertas putih, kertas warna, dan macam-macam kertas lainya.[13] Di Khurasan pada abad ke 10 menjadi sumber tambang yang merupakan tumbuhnya industri perhiasan yang meliputi emas, perak yang menghasilkan marmer.
            Selain masalah industri, masalah pertanian daerah Transoxiana sangat maju, bahkan bisa mengungguli Irak dan Mesir. Pertanian merupakan pendapatan pajak yang terbesar. Di sini antara Samarkand dengan Bukhara tebentang lembah yang luas yang banyak menghasil hasil pertanian seperti jenis buah, sayuran, bungan.[14]  selain dari perindustrian dan pertanian. Para dinasti di timur Bagdad juga mendapatkan pemasukan dari integrasi mereka terutama ketika menghadapi masyarakat hindu di Bombay. Selain mendapatkan kemengangan, umat Islam juga mendapatkan harta rampasan yang melimpah. Dengan adanya banyak sumber perekonomian, para amir membangun bangunan yang megah di setiap pusat kekuasaanya.



KESIMPULAN
Dinasti samaniyah merupakan salah satu dinasti yang berada di timur Bagdad. Meskipun dari masyarakatnya menganggap dinasti ini memerdekakan diri dari kekuasaan, namun sebenarnya dinasti ini tetap setia bersama dinasti Abasiyah. Kepala Negara mereka juga hanya cukup sebagai amir. Dinasti Samaniyah tidak sama dengan keberadaan dinasti yang ada di timur bagdad lainya. Umumnya dinasti yang lain memerdekakan diri dan melawan kekuaaan pusat, tetapi dinasti Samaniyah tidak. Namun keberadaan dinasti ini tidak bisa bertahan lama karena adanya kesalahan politik dan pergeseran kekuasaan dengan dinasti lain.
Meskipun para dinasti di timur bagdad sebagian memerdekakan diri, namun mereka juga dipaksa untuk membayar pajak. Pajak yang digunakan untuk membayar yaitu berasal dari hasil pertanian, perdagangan, seni, dll. Kekuasaan dinasti ditimur bagdad sangat kaya, selain dari hasil buminya, perdaganganya sangat maju. Karena ditopang adanya salah satu jalur darat yang menghubungkan anatar Negara besar di Dunia.













DAFTAR PUSTAKA

Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003)

Sholikhin, Muhammad, Menyatu Diri Dengan Illahi, (Jakarta: Suka Buku, 2010)

C. E. Boswoth, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1993)

K. Hitti, Philip, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010)

Murtiningsih, Wahyu, Biografi Para Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008)

Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990)



[1] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003). Hlm. 139
[2] Muhammad Sholikhin, Menyatu Diri Dengan Illahi, (Jakarta: Suka Buku, 2010). Hlm. 44
[3] C. E. Boswoth, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1993). Hlm. 128
[4] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2010). Hlm. 586
[5] C. E. Boswoth, Dinasti-Dinasti Islam. Hlm. 128-129
[6] Philip K. Hitti, History of The Arabs. Hlm. 586-587
[7] Wahyu Murtiningsih, Biografi Para Ilmuan Muslim, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008). Hlm. 139
[8] Philip K. Hitti, History of The Arabs. Hlm. 586-588
[9] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990). Hlm. 211-212
[10] Philip K. Hitti, History of The Arabs. Hlm. 401
[11]  Ibid. Hlm. 431
[12]  Ibid. Hlm. 432
[13]  Ibid. Hlm. 433
[14]  Ibid. Hlm. 438

Tidak ada komentar:

Posting Komentar