DINASTI-DINASTI DI BARAT BAGDAD
A.
PENDAHULUAN
Pada masa dinasti Abbasiyah,
pembangunan dan pembinaan di berbagai aspek mengalami perkembangan dan kemajuan
yang sangat pesat, mulai bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lain.
Namun disisi lain terdapat persoalan politik yang akhirnya menjadikan dinasti
ini lumpuh. Kebijakan pemerintah Abbasiyah yang menitikberatkan terhadap
pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik, sedikitnya mempermudah
wilayah-wilayah atau provinsi tertentu untuk melepaskan diri dari kesatuan
wilayah Abbasiyah.[1]
Daerah-daerah kecil dinasti
Abbasiyah, banyak yang melepaskan dan memerdekakan diri dari pemerintahan.
Setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah, kebanyak dari mereka
membangun dan menjadikan wilayah tersebut menjadi dinasti-dinasti kecil yang
berdiri secara independen dan berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaan dengan
menaklukkan daerah-daerah sekitarnya. Mereka melepaskan diri dengan cara, pertama,
seoranmg pemimpin lokal suatu pemberontakan
dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti dinasti Idrisiyah, kedua,
seorang yang ditunjuk oleh khalifah dan kedudukannya semakin bertambah kuat,
seperti dinasti Thahiriyah dan lain sebagainya.[2]
B.
DINASTI THULUNIYAH
Dinasti Thuluniyah merupakan dinasti yang memperoleh hak otonom
dari pemerintahan dinasti Abbasiyah. Pendidirinya adalah Ahmad Ibn Thulun,[3] yaitu
seorang budak dari Asia tengah yang dikirim oleh panglima Thahir Ibn Husaen ke
Baghdad untuk dipersembahkan kepada Khalifah al-Makmun dan diangkat menjadi
kepala pegawai Istana.[4]
Ahmad Ibn Thulun dikenal sebagai sosok yang gagah berani, dermawan, hafidz,
ahli dibidang sastra, syari’at dan militer.
Pada masa khalifah al-Mu’taz, Ahmad Ibn Thulun diangkat menjadi
wali di Mesir dan Libya atas bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai
panglima Turki di belahan barat. Ketika pemerintahan Abbasiyah terjadi
disintegrasi dan distabilitas politik, Ahmad Ibn Thulun memanfaatkan situasi
ini dengan memproklamasikan indepensi wilayahnya dengan membentuk dinasti
Thuluniyah, meskipun demikian, Thuluniyah masih tetep memperlihatkan
loyalitasnya kepada pemerintahan Abbasiyah melalui penyebutan nama khalifah
pada kotbah jum’at dan penulisan nama khalifah pada mata uang, serta pembayaran
pajak sejumlah 300.000 dinar.[5]
Lahirnya rezim Thulun mengubah keadaan negeri itu, dan secara
bertahab berhasil menciptakan kemakmuran. Ibnu Thulun membangun Negara barunya
itu dan membentuk organisasi militer yang ketat. Untuk mempertahankan
kekuasaan, ia mengadalkan kekuatan angkatan perangnya yang berkekuatan seratus
ribu tentara, dengan tentara intinya terdiri dari prajurit kebangsaan Turki
ditambah budak-budak negro.[6] Keberadaan
dinasti ini semakin bertambah besar dan kuat, setelah adanya ikatan perkawinan
antara Ibn Thulun dengan saudara Yarjukh, sebagai jaminan atas kedudukan yang
di peroleh Thuluniyah. Ahmad Ibn Thulun mulai mengdakan ekspansi ke wilawah
Hijaz di semenanjung Arabia hingga Palestina dan Siria pada tahun 878 M serta
wilayah Sisilia di Asai kecil pada tahun 879 M.[7]
Pada masa pemerintahannya Ahmad Ibn Thulun dinasti ini sudah mulai
memperlihatkan kecermelanggannya, ia membentuk armada laut yang kuat, untuk
membentengi serangan-serangan musuhnya, mendirikan markas militer al-Qatha’i,
Fusthath dan membangun masjidnya yang terkenal untuk menampung semua pasukan
yang tidak tertampung di masjid ‘Amr ibn al-Ash.[8]
Ibn Thulun meninggal pada tahun 270 H dalam usia 50 tahun, maka kekuasaannya
pun berpindah ke tangan tangan putranya yang tertua yaitu Khumarwaihi. Di bawah
kekuasaannyalah dinasti Thuluhiyah mencapai masa kejayaannya.[9] Ia
dapat memperluasnya hingga Siria, Gunung Taurus, al-Jazirah kecuali Mosul.[10] Pada
masa kejayaanya ini Thuluniyah mencapai berbagai macam pretasi antara lain
yaitu bidang seni dan arsitektur, pembangun rumah sakit yang yang memakan biaya
60.000 dinar dan istana Khumarwaihi dengan balairung emasnya. Menurut Pillip,
bangunan ini memiliki aula emas yang dindingnya dihiasi emas dan dihiasi
ukiran-ukuran yang bergambar dirinya, para Istri dan pengiringgnya, terdapat
kandang burung yang besar, kebun binatang dan kolam air raksa yang terletak di
pelataran depan.[11]
Selama beberapa tahun menjelang berakirnya masa kekuasaan
al-Khumarwaihi, dinasti ini mulai kelihatan adanya gejala-gejal memburuk,
ketiak Khumarwaihi meninggal, tahta dipegang oleh Abu al-‘Asakir Jaisy Ibn
Khumarwaihi, kemudian Harun bin Khumarwaihi dan terakir di pegang oleh Saiban
Ibn Ahmad Ibn Thulun. Pada masa pemerintahan Syaiban muncul dan berkembang sekte-sekte
keagamaan Qaramitah yang berpusat di Gurun Siria. Melihat keadaan
seperti itu Sayiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan
sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu pula khalifah Abbasiyah
mengirimkan pasukan untuk menaklukkan dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga
dinasti ini yang masih hidup ke Baghdad. Maka berakirlah dinasti ini.[12]
C.
DINASTI IKHSIDIYAH
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Thught al-Ikhsyid. Gelar
ikhsyid ini diperoleh pada tahun 323H/935M, ketika dia diangkat menjadi
gubernur Mesir, dari khalifah Ar-Radhi,[13]
atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan Nil dari serangan kaum
Fatimiyah yang berpusat di Afrika utara.[14]
Dinasti ini mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyokong dan memperkuat
wilayah Mesir. Pada masa itu, Mesir mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena
ditopang dengan kemiliteran Ikhsidiyah yang tangguh dan pasukan pengawal
sejumlah 40.000 orang dan 800 orang pengawal pribadi.[15]
Kekuasaan dua anak laki-laki yang menggantikan al-Ikhsyid hanya
bersifat formalitas, kendali pemerintahan dipegang oleh seorang kasim yang
memiliki kecakapan dari Abissina, yakni Abu Kafur, yang kemudian menjadi
satu-satunya penguasa sejak 966-986 M.[16]
Pada dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia
keilmuan dan intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang
dipusatkan di masjid-masjid, rumah para menteri dan ulama’. Kegiatan itulah
yang berperan dalam pendewasaan pendidikan pada saat itu, dan juga dibangun
sebagai pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat beridiskusi yang dikenal
dengan nama Syuq al-Waraqin.[17]
Namun ia tidak memberikan kontribusi apa pun bagi kehidupan seni dan sastra di
Mesir maupun di Suriah. Tidak ada karya-karya publik yang lahir dari tangan mereka.[18]
Setelah dua tahun berkuasa di Mesir, dinasti ini mengadakan
ekspansi ke wilayah Suriah dan Palestina, menurut Pillip keduanya dimasukkan
kedalam Negara semi independen yang dipimpinnya, tahun berikutnya Mekah dan
Madinah dimasukkan kedalam wilayahnya. Dengan demikian kekuasaannya bertambah
besar dan pesat, bahkan menurut Bosworth kekuasaanya tidak terbatas.
Pada tahun 355H/966M Kafur meninggal, kemudian kekuasaan dinasti
berpindah tangan kepada Abu al-Fawaris Ibn Ahmad Ibn Ali. Ketika kekuasaan dipegang
oleh al-Fawaris dinasti Ikhsidiyah menjadi lumpuh. Tampaknya kekuasaan
al-Fawaris tidak bertahan lama, karena kepimimpinannya sangat lemah, sehingga
serangan terus-menerus dari Fathimiyah dilancarkan kepada pemerintahannya,
membuat dinasti Ikhsidiyah tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan
kekuasaannya di Mesir. Pada akhirnya, Ikhsidiyah dapat ditaklukkan oleh
Fathimiyah.[19]
D.
DINASTI HAMDANIYAH
Dinasti Hamdaniyah didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, nama dinasti
ini dinisbahkan kepada pendirinya Hamdan Ibn Hamdun yang bergelar al-Haija.[20]
seorang amir dari suku Taghlib. Putranya Husaen adalah panglima pemerintahan
Abbasiyah dan Abu Haija Abdullah diangkat menjadi gubernur Moasul oleh khalifah
al-Muktafi pada tahun 905 M.[21]
wilayah kekuasaan dinasti ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu wilayah kekuasan
di Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb. Wilayah kekuasaan di Halb terkenal
sebagai pelindung kesusaseraan Arab dan ilmu pengetahuan. Menurut Bosworth
faktornya terutama karena Sayf Ad-Dawlah memberikan dorongan kepada penyair
al-Munabbi.[22]
Pada masa itu pula, muncul tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi a-Fath
dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti di bidang nahwu, Abu Thayyib al-Munabbi,
Abu Firas Husaen Ibn Nashr ad-Daulah, Abu A’la al-Ma’ari dan Syarif ad-Daulah
yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar yaitu al-Farabi.[23]
Setelah meninggalnya Haija,
tahta kerajaan beralih pada seorang putranya, yaitu Hasan Ibn Abu Haija yang
diberi gelar oleh khalifah Syaif ad-Daulah. Syaib ad-Daulah inilah yang
berhasil menguasai Halb dan Hism dari kekuasaan Ikhsidiyah. Menurut Bosworth,
meskipun mereka berkuasa di sebuah wilayah yang makmur, yang memiliki banyak
pusat perdagangan dan aktivitas, Hamdaniyah masih memperlihatkan yang tidak
bertanggung jawab. Suriyah dan al-Jazirah terpaksa menderita akibat kerusakan
yang ditimbulkan dalam peperangan, kendati Ibn Iqbal (ahli geografi)
selanjutnya mencatat bahwa ketamakan para amir yang semakin memperbesar kesengsaraan
disana.[24]
Hal ini yang mengakibatkan kurangnya simpati dari masyarakat dan jatuhnya
wibawa pemerintahan. Selain faktor diatas jatuhnya dinasti Hamdaniyah
disebabkan karena munculnya dinasti Bizantium dibawah kekuasaan Macedonia
bersamaan dengan berdirinya Hamdaniyah, invasi yang dilakukan oleh Bizantium
terhadap Suriyah mengakibatkan Allepo dan Hism terlepas dari wilayah
kekuasaannya, hingga dinasti ini lumpuh. Disisi lain Fathimiyah ke bagian
Suriah selatan yang selanjutnya meruntuhkan dinasti Hamdaniyah Suriyah, dengan
terbunuhnya Said ad-Daulah yang memegang
kekuasaan Hamdaniyah saat itu. Akhirnya dinasti ini takluk kepada dinasti
Fathimiyah.[25]
KESIMPULAN
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, ia
memperlihatkan berbagai prestasinya dan melahirkan tokoh-tokoh yang produktif,
namun disisi lain karena terlalu luasnya dinasti Abbasiyah dan Kebijakan
pemerintah Abbasiyah yang menitikberatkan terhadap pembinaan peradaban dan
kebudayaan dari pada politik, mengkibatkan banyak wilayah-wilayah kecil yang
memerdekakan diri serta menjadi dinasti yang independen, namun tidak
seluruhnya. Antara lain yaitu dinasti-dinasti yang berada di barat Baghdad
yaitu, dinasti Thuluniyah yang didirika oleh Ahmad Ibn Thulun, dinasti
Ikhsidiyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Tught serta dinasti Hamdaniyah oleh
Hamdan Ibn Hamdun.
Setelah membaca uraian
dinasti-dinasti diatas kiranya dapat kita ambil beberapa catatan, antara lain:
1. Proses pelepasan daerah-daerah kecil itu mamakai
salah satu dari dua cara, yaitu menunjuk seseorang yang diangkat menjadi
gubernur oleh khalifah untuk pimpinan kekuasaan kecil dan pemimpin itu memimpin
suatu pemberontakan sehingga mendapatkan kemerdekaan penuh
2. Meskipun muncul banyak dinasti-dinasti kecil
yang mengancam pemerintahan Abbasiyah namun juga memberikan banyak kontribusi
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain-lain.
[1]. Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal, 155.
[2]. Badri Yatim,SejarahPeradaban Islam Dirasah Islamiyah II
(Jakatrta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 64.
[3]. Pillip K. Hitty, History of the Arabs (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2010), hal. 573.
[4]. Dedi Supriadi, hal. 163. Yang dikutip dari buku History of
Arabs karangan Pillip k. Hitty, hal. 452.
[5]. Dedi Supriadi, hal. 164. (diambil
dari buku Sejarah dan Kebudayaan IslamI karangan Hasan Ibrahim Hasan,
hal. 215)
[6]. Pillip K. Hitty, History of The Arabs, hal. 574.
[7]. Dedi Supriadi, hal. 164.
[8]. C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: MIZAN,
1993), hal. 68. Diterjemahkan dari buku The Islamic Dinasties terbitan
Edinburgh University Press, tahun 1980 oleh Ilyas Hasan.
[9]. Dedi Supriadi, hal. 164.
[10]. Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya:
Pustaka Islamika Press, 2003), hal. 151.
[11]. Pillip K. Hitty, History of The Arabs, hal. 576.
[12]. Dedi Supriadi, hal. 165-166.
[13]. C.E. Bosworth, hal. 69.
[14]. Dedi Supriadi, hal. 166.
[15]. Ibid, hal. 166.
[16]. Pillip. K. Hitty, hal. 578.
[17]. Dedi Supriadi, hal, 166.
[18]. Pillip. K. Hitty, hal. 579.
[19]. Dedi Supriadi, hal. 167.
[20]. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:AMZAH,
2009) hal 227.
[21]. Dedi Supriadi, hal. 167.
[22]. Bosworth, hal. 75.
[23]. Dedi Supriadi, hal. 167.
[24]. Bosworth, hal. 75.
[25]. Dedi Supriadi, hal. 167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar