DINASTI-DINASTI
DI TIMUR BAGHDAD
(Thahiriyah
dan Shaffariyah)
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Usaha ekspansi wilayah yang dilakukan
pemerintahan Bani Umayah tidak dilanjutkan oleh pemerintahan Bani Ababsiyah.
Kebijakan pemerintahan Bani Abbasiyah lebih bersifat defensif untuk
mempertahankan keutuhan wilayah yang begitu luas, mulai dari Indus hingga
Andalusia, ketimbang memperluas wilayah ke tempat lain. Hal ini, tentu saja,
berpengaruh terhadap daerah-daerah yang jauh dari kontrol pemerintahan Bagdad.
Karena merasa jauh dari kontrol pusat, maka terdapat beberapa daerah yang
berusaha menuntut memisahkan diri dari Bagdad, selain ada juga yang sengaja
diberi otonomi oleh pemerintah Bagdad sebagai negara penyanggah (buffer
states). Pembentukan daerah-daerah otonomi ini umumnya dilakukan oleh tokoh
etnis lokal, sehingga penamaan daerah otonom ini dilekatkan pada ketokohan
pendiri atau nenek moyang pendiri, bukan atas dasar wilayah. Di bagian Barat
Bagdad terdapat beberapa wilayah otonom, seperti dinasti Idrisiyah, dinasti
Aghlabiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti, Ikhsyidiyah dan dinasti Hamdaniyah.
Sementara di Timur Bagdad berdiri dinasti Thahiriyah, dinasti Shaffariyah, dan
dinasti Samaniyah. Selain itu, terdapat beberapa kerajaan kecil yang kemudian
mampu menganeksasi Bagdad, seperti dinasti Buwaihiyah dan dinasti Ghaznawiyah.
Hal ini terkait dengan gejolak politik yang terjadi di wilayah yang begitu luas
terutama setelah periode ketiga.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
latar belakang berdirinya dinasti Thahiriyah dan Shaffariyah?,
2.
Bagaimana
kemajuan dan kemunduran Dinasti Thahiriyah dan Shaffariyah?
PEMBAHASAN
A.
Dinasti
Thahiriyah (205-259 H/ 821-873 M)
1.
Latar Belakang
dan Sejarah Berdirinya Dinasti Thahiriyah
Dinasti
Thahiriyah didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205 di Nisabur, Khurasan,
Persia. Ia merupakan kelompok etrnis pertama di Timur Bagdad yang memperoleh
semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir ibn Husein lahir di Merv pada
159 H dan berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Merv dan Harrah,
Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hubungan antara pemerintah Abbasiyah di Bagdad dengan keluarga Thahir
sudah terjalin sejak lama. Karena itu cukup beralasan bila pemerintah Bagdad
memberikan kepercayan kepada generasi keluarga Mash’ab ibn Zuraiq untuk
melanjutkan estafet kepemimpinan lokal. Tujuannya tetap sama, yaitu menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam
Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad dan menjadi pelindung dari berbagai
kemungkinan serangan negara-negara tetangga di Timur.[1]
Latar belakang
kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan kekuasaan antara
al-Makmun dengan al-Amin.[2]
Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia
pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir
berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan
itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya
bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai bentuk penghargaan atas
jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain atau Dzul Yaminayn ,
bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan tangan yang hebat (minus
one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir juga memperoleh
kepercayaan untuk menjadi gubernur di kawasan Timur Bagdad, dengan Khurasan dan
Nisabur sebagai pusat pemerintahannya. Tawaran dan jabatan ini merupakan
peluang bagus baginya untuk meniti karier politik pemerintahan pada masa itu.
Jabatan dan prestasi yang diraihnya ternyata belum memuaskan baginya, karena ia
mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Bagdad. Untuk itu, ia menyusun strategi
untuk segara melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad. Di antaranya dengan
tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap kesempatan dan mata uang yang
dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang independen dari
pemerintahan Bagdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada 207 H,
setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun
begitu, khalifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir
untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir
meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada puteranya bernama Thalhah ibn Thahir.[3]
2.
Kemajuan dan
Kemunduran Dinasti Thahiriyah
Dinasti
Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Abd Allah ibn Thahir,
saudara Thalhah. Ia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar di mata
masyarakat dan pemerintah Bagdad. Oleh karena itu, ia terus menjalin komunikasi
dan kerjasama dengan Bagdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap
peran dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad
yang pernah dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, terus ditingkatkan.
Peningkatan keamanaan di wilayah perbatasan terus dilakukan guna menghalau
pemberontak dan kaum perusuh yang mengacaukan pemerintahan Abbasiyah. Setelah
itu, ia berusaha melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga
memberikan ruang yang cukup luas bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
perbaikan moral atau akhlak di lingkungan masyarakatnya di wilayah Timur
Bagdad.[4]
Dalam
perjalanan selanjutnya, dinasti ini justeru tidak mengalami perkembangan ketika
pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H), saudara kandung Abd
Allah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya antara lain,
adalah pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Bagdad,
karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggusur
dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru,
yaitu dinasti Saffariyah. Muhammad ibn Thahir II memiliki kemampuan yang rendah
dibandingkan pendahulu-pendahulunya, pada tahun 259H/873 M dia menyerahkan
Nisyapur kepada Ya’qub ibn Layts. Pada tahun 271H/885 M dia ditunjuk kembali
menjadi gubernur, namun tidak pernah menjalankan jabatan itu dengan baik, dan
dia meninggal pada awal abad kesepuluh.[5]
Faktor lain penyebab kemuduran dan kehancuran
dinasti Thahiriyah adalah pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para
penguasa dinasti ini. Gaya hidup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak
terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Selain itu, persoalan keamanan dan
keberlangsungan pemerintahan juga tidak terpikirkan secara serius, sehingga
keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama
mengincar posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah.
Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad untuk menumpas
sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan
Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti
Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur
kota Bagdad.[6]
B.
Dinasti
shaffariyyah (253- sekitar 900 H/867 -1495 M)
1.
Latar Belakang
dan Sejarah Bedirinya Dinasti Shaffariyah
Dinasti
Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia
Islam. Wilayah kekuasaan dinasti Shaffariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Dinasti
ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang pemimpin kelompok khawarij di provinsi Sistan.[7]
Gelar al-Saffar dilekatkan di belakang namanya
ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli dalam me-nempa tembaga atau
kuningan, semacam mpu di Jawa,yang diwarisi secara turun temurun. Kegagalan
usaha keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang
mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan gerakan perampokan. Sasaran
dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melintas di tengah
perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudian diberikan
kepada para fakir miskin.[8]
Pada mulanya,
Ya’kub ibn Layts bersama saudaranya bernama ‘Amr ibn Layts membantu pasukan
pemerintah Bagdad dalam memberantas pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa
tentara Thahiriyah di wilayah Sijistan. Keberhasilannya di Sijistan, membawanya
ke puncak pimpinan tentara sebagai komandan untuk menaklukkan wilayah Herat,
Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan Persia yang digabungkan dengan Balkh.
Atas jasa dan prestasinya, khalifah al-Mu’tamid mengangkatnya menjadi gubernur
membawahi wilayah Balkh, Turkistan, Kirman, Sijistan dan Sind. Ambisi Ya’kub
ternyata tidak cukup sampai di situ. Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan
mengalahkan Fars pada 869 M, dan menduduki Syiraj, ibu kota Fars. Kemudian pada
873 M menduduki Nisabur dan sisa wilayah Thahiriyah. Dua tahun kemudian,
tepatnya pada 875 M, dari Fars ia bergerak menuju Bagdad, dan berusaha
menduduki ibu kota tersebut. Tetapi menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km,
pasukannya dihadang oleh pasukan al-Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak
menyurutkan ambisinya, malah ia bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum
dilaksanakan, ia keburu meninggal dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap sebagai
gubernur yang tidak loyal, yang melampaui batas mandat yang diberikan khalifah,
tetap saja jabatan gubernur untuk wilayah Timur dipercayakan kepada saudara
Ya’kub al-Layts, yaitu Amr ibn Layts.[9]
Dinasti Shaffariyah
yang didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar ini justeru mengalami kehancuran
ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang oleh ‘Amr ibn al-Layts,
karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah kekuasannya hingga Transoxania
(ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya dihambat oleh Bani Saman, dan
beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani Saman, kecuali
Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepenuhnya merdeka, karena ia
harus tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan posisi jabatan gubernur tetap
berada di bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M, meskipun seringkali
terjadi pergantian penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah silih berganti berada
di bawah penguasa lain setelah dinasti Samaniyah, seperti menjadi penguasa
lokal (gubernur) yang tunduk pada pemerintahan dinasti Ghaznawiyah, Bani
Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi menjadi kepanjangan tangan
pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa
dinasti ini bertahan begitu lama. Hal pasti yang dapat ditegaskan di sini bahwa
keberadaan dinasti ini karena persoalan politik praktis dan pragmatis. Sebab
menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri khas dari dinasti ini adalah
ambisinya untuk memperoleh kekuasaan otonomi di Sijistan, sebagai pusat
pemerintahannya. Karenannya, ketika kekuasaan datang silih berganti, dinasti
ini tetap memperoleh hak otonom di Sijistan hingga abad ke-15 M.[10]
2.
Kemajuan dan
Kemunduran Dinasti Shaffariyah
Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami
perkembangan pada masa pemerintahan Amr ibn Lays, ia berhasil melebarkan
wilayah kekuasaannya sampai ke Afganistan Timur.[11]
Dalam masa
pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, terutama perkembangan civil
society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffariyah meletakkan dasar-dasar
keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang miskin di Sijistan. Karena itu,
faktor inilah yang kemungkinan menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini
berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang
menjadi pendukung pemerintahan, terutama komunitas masyarakat miskin. Seorang
amir abad kesepuluh, Khalaf ibn Ahmad, menjadi termasyhur sebagai pelindung
ilmu pengetahuan.[12]
Pada tahun 393
H/1003 M Mahmud dari Ghazna menguasai provinsi itu dan menjadikannya sebagai
wilayah kekuasaannya, namun Shaffariyah terus bertahan, dan pada pertempuran
Ghaznawiyah-Seljuq pada tahun-tahun pertengahan abad kesebelas memperkuat posisinya,
mula-mula berkuasa sebagai bawahan Seljuq, kemudian sebagai bawahan ghuriyyah.
Bahkan setelah invasi Mongol dan Timur, kejadian-kejadian yang begitu kalut dan
menyedihkan bagi sebagian besar dunia Islam Timur, Dinasti Shaffariyah berhasil
bertahan sampai akhir abad kelima belas.[13]
KESIMPULAN
Adanya gejolak politik yang terjadi pada
pemerintahan Dinasti Abbasiyah menyebabkan banyak wilayah-wilayah yanh
memisahkan diri dari kendali Dinasti ini dan lebih memilih untuk menjadi daerah
otonom meskipun ada juga beberapa wilayah yang sengaja diberikan hak otonom
karena kepercayaan yang diberikan oleh dinasti Abbasiyah. Namun, Kekuasaan otonom itu tidak diberikan begitu
saja, tapi ada persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya harus memberikan upeti
setiap tahun dan tidak memakai gelar khalifah di depan nama penguasa lokal itu.
Bila dipenuhi, maka secara otomatis ia telah menjadi wali yang sah atas wilayah
otonom itu dan kekuasannya dapat diberikan secara turun temurun kepada anak
cucunya. Dalam catatan sejarah Islam, tercatat beberapa wilayah otonom yang
berkuasa pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah di bagian Timur Bagdad,
misalnya dinasti Thahiriyah (205-259 H/821-873 M), dinasti Shaffariyah (253-
sekitar 900 H/867 -1495 M), dan dinasti Samaniyah (204-395H/819-1005M).
Dinasti Thahiriyah didirikan oleh Thahir ibn
Husein, ia diangkat menjadi gubernur karena perannya dalam membantu al-makmun
pada saat terjadi perseteruan antara al-Amin dan al-Makmun. Dinasti ini
mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan abd Allah ibn Thahir dan mengalami
kemunduran pada masa Ahmad ibn Thahir. Karena ketidak loyalitasannya kepada
pemerintah Baghdad maka dinasti ini kemudian diberantas.
Dinasti Shaffariyah didirikan oleh Ya’qub ibn Layts al-Shaffar atas jasanya dalam membantu pemerintah Baghdad
dalam melekukan penumpasan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh dinasti
Thahiriyah. Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Amr ibn
Layts dan mengalami kemerosotan pada masa itu pula. Dinati ini adalan dinasti
yang paling lama bertahan hingga abad ke-15 meskipun silih berganti berada di
bawah penguasa lain yaitu dinasti Samaniyah, dinasti Ghaznawiyah, bani Saljuk,
dan bangsa Mongol.
DAFTAR PUSTAKA
Hitty,
Philip K.,2010. History of the Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu
Setia.
Bosworth C.E., 1980. The Islamic
Dynasties, Eidenburgh, 1980. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas
Hasan.1993. Bandung: Mizan anggota IKAPI.
http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com
Amin, Syamsul Munir.2009. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil
di Baghdad. Wordpress.com.
[1]
Philip K Hitti. History of the Arabs,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Setia, 2010). HAL 585.
[2] Ibid, 585.
[3] C.E. Bosworth, The Islamic
Dynasties, Eidenburgh, 1980. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas
Hasan , (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1993), hal 126.
[4]http// akademika.dinasti-dinasti
Independen.wordpress.com
[5] Bosworth, hal 127.
[6] http// akademika.
[7] Syamsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal 275.
[8] Hitty, hal 586.
[9] www. akademika.com
[10] Bosworth, hal 131.
[11] Syamsul Munir, 275.
[12] Ibid, hal 132.
[13] http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil
di Baghdad. Wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar