Powered By Blogger

Selasa, 22 November 2011

"DINASTI-DINASTI DI TIMUR BAGHDAD (Thahiriyah dan Shaffariyah)"


DINASTI-DINASTI DI TIMUR BAGHDAD
(Thahiriyah dan Shaffariyah)

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Usaha ekspansi wilayah yang dilakukan pemerintahan Bani Umayah tidak dilanjutkan oleh pemerintahan Bani Ababsiyah. Kebijakan pemerintahan Bani Abbasiyah lebih bersifat defensif untuk mempertahankan keutuhan wilayah yang begitu luas, mulai dari Indus hingga Andalusia, ketimbang memperluas wilayah ke tempat lain. Hal ini, tentu saja, berpengaruh terhadap daerah-daerah yang jauh dari kontrol pemerintahan Bagdad. Karena merasa jauh dari kontrol pusat, maka terdapat beberapa daerah yang berusaha menuntut memisahkan diri dari Bagdad, selain ada juga yang sengaja diberi otonomi oleh pemerintah Bagdad sebagai negara penyanggah (buffer states). Pembentukan daerah-daerah otonomi ini umumnya dilakukan oleh tokoh etnis lokal, sehingga penamaan daerah otonom ini dilekatkan pada ketokohan pendiri atau nenek moyang pendiri, bukan atas dasar wilayah. Di bagian Barat Bagdad terdapat beberapa wilayah otonom, seperti dinasti Idrisiyah, dinasti Aghlabiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti, Ikhsyidiyah dan dinasti Hamdaniyah. Sementara di Timur Bagdad berdiri dinasti Thahiriyah, dinasti Shaffariyah, dan dinasti Samaniyah. Selain itu, terdapat beberapa kerajaan kecil yang kemudian mampu menganeksasi Bagdad, seperti dinasti Buwaihiyah dan dinasti Ghaznawiyah. Hal ini terkait dengan gejolak politik yang terjadi di wilayah yang begitu luas terutama setelah periode ketiga.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang berdirinya dinasti Thahiriyah dan Shaffariyah?,
2.      Bagaimana kemajuan dan kemunduran Dinasti Thahiriyah dan Shaffariyah?







PEMBAHASAN
A.    Dinasti Thahiriyah (205-259 H/ 821-873 M)
1.      Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Dinasti Thahiriyah
Dinasti Thahiriyah didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205 di Nisabur, Khurasan, Persia. Ia merupakan kelompok etrnis pertama di Timur Bagdad yang memperoleh semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir ibn Husein lahir di Merv pada 159 H dan berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Merv dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara pemerintah Abbasiyah di Bagdad dengan keluarga Thahir sudah terjalin sejak lama. Karena itu cukup beralasan bila pemerintah Bagdad memberikan kepercayan kepada generasi keluarga Mash’ab ibn Zuraiq untuk melanjutkan estafet kepemimpinan lokal. Tujuannya tetap sama, yaitu  menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad dan menjadi pelindung dari berbagai kemungkinan serangan negara-negara tetangga di Timur.[1]
Latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan kekuasaan antara al-Makmun dengan al-Amin.[2] Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain atau Dzul Yaminayn , bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan tangan yang hebat (minus one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir juga memperoleh kepercayaan untuk menjadi gubernur di kawasan Timur Bagdad, dengan Khurasan dan Nisabur sebagai pusat pemerintahannya. Tawaran dan jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti karier politik pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang diraihnya ternyata belum memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Bagdad. Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segara melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad. Di antaranya dengan tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap kesempatan dan mata uang yang dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang independen dari pemerintahan Bagdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada 207 H, setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun begitu, khalifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada puteranya bernama Thalhah ibn Thahir.[3]
2.      Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Thahiriyah
Dinasti Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Abd Allah ibn Thahir, saudara Thalhah. Ia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar di mata masyarakat dan pemerintah Bagdad. Oleh karena itu, ia terus menjalin komunikasi dan kerjasama dengan Bagdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad yang pernah dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, terus ditingkatkan. Peningkatan keamanaan di wilayah perbatasan terus dilakukan guna menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang mengacaukan pemerintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga memberikan ruang yang cukup luas bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di lingkungan masyarakatnya di wilayah Timur Bagdad.[4]
Dalam perjalanan selanjutnya, dinasti ini justeru tidak mengalami perkembangan ketika pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H), saudara kandung Abd Allah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya antara lain, adalah pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Bagdad, karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggusur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru, yaitu dinasti Saffariyah. Muhammad ibn Thahir II memiliki kemampuan yang rendah dibandingkan pendahulu-pendahulunya, pada tahun 259H/873 M dia menyerahkan Nisyapur kepada Ya’qub ibn Layts. Pada tahun 271H/885 M dia ditunjuk kembali menjadi gubernur, namun tidak pernah menjalankan jabatan itu dengan baik, dan dia meninggal pada awal abad kesepuluh.[5]
 Faktor lain penyebab kemuduran dan kehancuran dinasti Thahiriyah adalah pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para penguasa dinasti ini. Gaya hidup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Selain itu, persoalan keamanan dan keberlangsungan pemerintahan juga tidak terpikirkan secara serius, sehingga keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang sejak lama mengincar posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah. Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad untuk menumpas sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad.[6]
B.     Dinasti shaffariyyah (253- sekitar 900 H/867 -1495 M)
1.      Latar Belakang dan Sejarah Bedirinya Dinasti Shaffariyah
Dinasti Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia Islam. Wilayah kekuasaan dinasti Shaffariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang pemimpin  kelompok khawarij di provinsi Sistan.[7]  
 Gelar al-Saffar dilekatkan di belakang namanya ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli dalam me-nempa tembaga atau kuningan, semacam mpu di Jawa,yang diwarisi secara turun temurun. Kegagalan usaha keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan gerakan perampokan. Sasaran dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melintas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudian diberikan kepada para fakir miskin.[8]
Pada mulanya, Ya’kub ibn Layts bersama saudaranya bernama ‘Amr ibn Layts membantu pasukan pemerintah Bagdad dalam memberantas pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa tentara Thahiriyah di wilayah Sijistan. Keberhasilannya di Sijistan, membawanya ke puncak pimpinan tentara sebagai komandan untuk menaklukkan wilayah Herat, Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan Persia yang digabungkan dengan Balkh. Atas jasa dan prestasinya, khalifah al-Mu’tamid mengangkatnya menjadi gubernur membawahi wilayah Balkh, Turkistan, Kirman, Sijistan dan Sind. Ambisi Ya’kub ternyata tidak cukup sampai di situ. Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan mengalahkan Fars pada 869 M, dan menduduki Syiraj, ibu kota Fars. Kemudian pada 873 M menduduki Nisabur dan sisa wilayah Thahiriyah. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 875 M, dari Fars ia bergerak menuju Bagdad, dan berusaha menduduki ibu kota tersebut. Tetapi menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km, pasukannya dihadang oleh pasukan al-Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak menyurutkan ambisinya, malah ia bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum dilaksanakan, ia keburu meninggal dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap sebagai gubernur yang tidak loyal, yang melampaui batas mandat yang diberikan khalifah, tetap saja jabatan gubernur untuk wilayah Timur dipercayakan kepada saudara Ya’kub al-Layts, yaitu Amr ibn Layts.[9]
Dinasti Shaffariyah yang didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar ini justeru mengalami kehancuran ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang oleh ‘Amr ibn al-Layts, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah kekuasannya hingga Transoxania (ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya dihambat oleh Bani Saman, dan beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani Saman, kecuali Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepenuhnya merdeka, karena ia harus tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan posisi jabatan gubernur tetap berada di bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M, meskipun seringkali terjadi pergantian penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah silih berganti berada di bawah penguasa lain setelah dinasti Samaniyah, seperti menjadi penguasa lokal (gubernur) yang tunduk pada pemerintahan dinasti Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa dinasti ini bertahan begitu lama. Hal pasti yang dapat ditegaskan di sini bahwa keberadaan dinasti ini karena persoalan politik praktis dan pragmatis. Sebab menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri khas dari dinasti ini adalah ambisinya untuk memperoleh kekuasaan otonomi di Sijistan, sebagai pusat pemerintahannya. Karenannya, ketika kekuasaan datang silih berganti, dinasti ini tetap memperoleh hak otonom di Sijistan hingga abad ke-15 M.[10]
2.      Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Shaffariyah
Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Amr ibn Lays, ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya sampai ke Afganistan Timur.[11]
Dalam masa pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, terutama perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffariyah meletakkan dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang miskin di Sijistan. Karena itu, faktor inilah yang kemungkinan menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung pemerintahan, terutama komunitas masyarakat miskin. Seorang amir abad kesepuluh, Khalaf ibn Ahmad, menjadi termasyhur sebagai pelindung ilmu pengetahuan.[12]
Pada tahun 393 H/1003 M Mahmud dari Ghazna menguasai provinsi itu dan menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya, namun Shaffariyah terus bertahan, dan pada pertempuran Ghaznawiyah-Seljuq pada tahun-tahun pertengahan abad kesebelas memperkuat posisinya, mula-mula berkuasa sebagai bawahan Seljuq, kemudian sebagai bawahan ghuriyyah. Bahkan setelah invasi Mongol dan Timur, kejadian-kejadian yang begitu kalut dan menyedihkan bagi sebagian besar dunia Islam Timur, Dinasti Shaffariyah berhasil bertahan sampai akhir abad kelima belas.[13]
   

KESIMPULAN
Adanya gejolak politik yang terjadi pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah menyebabkan banyak wilayah-wilayah yanh memisahkan diri dari kendali Dinasti ini dan lebih memilih untuk menjadi daerah otonom meskipun ada juga beberapa wilayah yang sengaja diberikan hak otonom karena kepercayaan yang diberikan oleh dinasti Abbasiyah. Namun,  Kekuasaan otonom itu tidak diberikan begitu saja, tapi ada persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya harus memberikan upeti setiap tahun dan tidak memakai gelar khalifah di depan nama penguasa lokal itu. Bila dipenuhi, maka secara otomatis ia telah menjadi wali yang sah atas wilayah otonom itu dan kekuasannya dapat diberikan secara turun temurun kepada anak cucunya. Dalam catatan sejarah Islam, tercatat beberapa wilayah otonom yang berkuasa pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah di bagian Timur Bagdad, misalnya dinasti Thahiriyah (205-259 H/821-873 M), dinasti Shaffariyah (253- sekitar 900 H/867 -1495 M), dan dinasti Samaniyah (204-395H/819-1005M).
Dinasti Thahiriyah didirikan oleh Thahir ibn Husein, ia diangkat menjadi gubernur karena perannya dalam membantu al-makmun pada saat terjadi perseteruan antara al-Amin dan al-Makmun. Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan abd Allah ibn Thahir dan mengalami kemunduran pada masa Ahmad ibn Thahir. Karena ketidak loyalitasannya kepada pemerintah Baghdad maka dinasti ini kemudian diberantas.
Dinasti Shaffariyah didirikan  oleh Ya’qub ibn Layts al-Shaffar  atas jasanya dalam membantu pemerintah Baghdad dalam melekukan penumpasan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh dinasti Thahiriyah. Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Amr ibn Layts dan mengalami kemerosotan pada masa itu pula. Dinati ini adalan dinasti yang paling lama bertahan hingga abad ke-15 meskipun silih berganti berada di bawah penguasa lain yaitu dinasti Samaniyah, dinasti Ghaznawiyah, bani Saljuk, dan bangsa Mongol.


DAFTAR PUSTAKA

Hitty,  Philip K.,2010. History of the Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Setia.
Bosworth C.E., 1980. The Islamic Dynasties, Eidenburgh, 1980. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan.1993. Bandung: Mizan anggota IKAPI.
http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com
Amin, Syamsul Munir.2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil di Baghdad. Wordpress.com.









[1]  Philip K Hitti. History of the Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Setia, 2010). HAL 585.
[2] Ibid, 585.
[3] C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, Eidenburgh, 1980. Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan , (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 1993), hal 126.
[4]http// akademika.dinasti-dinasti Independen.wordpress.com
[5] Bosworth, hal 127.
[6] http// akademika.
[7] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal 275.
[8] Hitty, hal 586.
[9] www. akademika.com
[10]  Bosworth, hal 131.
[11] Syamsul Munir, 275.
[12] Ibid, hal 132.
[13] http//danankBlogs_dinasti-dinasti.kecil di Baghdad. Wordpress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar