Powered By Blogger

Selasa, 22 November 2011

KEKHALIFAHAN ALI IBN ABI THALIB (36-41 H/ 656-661 M)

BAB I
PENDAHULUAN

            Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب)‎ (599661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan. Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang menyisakan banyak teka-teki sejarah  yang tak kunjung memuaskan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya yaitu kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib.
Di dalam makalah ini kami akan membahas tentang siapa Ali ibn Abi Thalib, bagaimana proses pembai’atan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, bagaimana politik Ali dalam pemerintahannya, konflik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali (tentang peperangan Jamal dan peperangan shiffin) dan bagaimana akhir hayat khalifah Ali Ibn Abi Thalib.






BAB II
PEMBAHASAN

A.     Tentang Ali Ibn Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Ali adalah orang yang pertama menyatakan imannya dari kalangan anak-anak.[1] Ketika Nabi menerima wahyu yang pertama , menurut Mahmudun Nasir Ali berusia 9 tahun sedangkan menurut Hassan Ibrahim Ali berusia 13 tahun.[2]
Semenjak kecil Ali dididik dengan adab dan budi pekerti islam, lidahnya amat fasih berbicara dan memiliki pengetahuan yang luas tentang islam. Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak. Karena sangat dekatnya dengan rasulullah, termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan hadis Nabi. Ali terkenal dengan keberaniannya, dia selalu ikut dan berada di barisan muka dalam setiap peperangan-peperangan yang dipimpin rasulullah. Menurut A. Syalabi keberanian Ali dan banyaknya darah manusia yang ditumpahkannya dalam membela agama islam dari orang-orang yang menyerangnya, menyebabkan dirinya banyak memiliki musuh.[3]

B.     Pembai’atan Ali ibn Abi Thalib
Beberapa hari setelah pembunuhan Utsman stabilitas keamanan di Madinah menjadi rawan. Gafiqy ibn Harb memegang keamanan ibukota islam ibu kota islam itu selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali ibn Abi Thalib tampil menggantikan Usman dengan menerima bai’at dari sejumlah kaum Muslimin. Yang pertama kali membai’at Ali adalah Thalhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam[4] kemudian diikuti oleh banyak orang, baik dari kalangan anshar maupun Muhajirin.[5] Menurut Syalabi tidak ada sahabat-sahabat terkemuka yang dapat menolak untuk membai’at Ali, karena tidak seoarang pun di antara mereka yang sanggup menghadapi pancaroba.Oleh karena itu mau tak mau mereka membai’ah Ali. [6]
Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[7]
  1. Politik Ali dalam Pemerintahan
Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya. Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[8]
Menurut A. Syalabi, politik yang dijalankan seseorang merupakan gambaran dari pribadi orang tersebut yang akan mencerminkan akhlak dan budi pekertinya. Ali adalah orang yang suka berterus terang, tegas bertindak, tidak suka berminyak air, dan tidak takut celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Karena kepribadian yang dimilkinya itu maka setelah dibai’at Ali mengeluarkan dua buah ketetapan, yaitu:
  1. Memecat kepala-kepala daerah angkatan Usman dan menggantinya dengan yang baru.
  2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Usman kepada famil famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah, demikian juga hibah Usman kepada siapapun yang tanpa alasan.[9]
  1. Peperangan Jamal
Disebut perang jamal (perang onta) karena Aisyah ikut dalam peperangan ini dengan mengendarai onta.[10]
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, dia menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah pengganti Utsman. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah. Telah disampaikan bahwa Thalha dan Zubair adalah orang yang pertama kali memba’iat Ali. Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman.
Oposisi terhadap khalifah Ali secara terang-terangan mulai dilakukan, yaitu oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Ustman. Merea berangka menuju Basrah dan mengharapkn dukungan dari penduduk kota itu. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan amarah rakyat dan menuduh Ali sebagai pembunuh Utsman jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.[11]
Tuntutan mereka tidak dikabulkan oleh Ali, sehingga kontak senjata tidak bisa dihindari. Pertempuran dalam peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubair dan Thalhah melarikan diri, tetapi akhirnya tewas juga. Peperangan ini berhenti ketika Unta yang ditunggangi Aisyah terbunuh. Kemenangan berada di pihak Ali. Tetapi aisyah tidak diusik-usik oleh Ali, justru Aisyah dihormati dan dikembalikan ke Makkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan. [12] Perang Jamal ini telah memakan korban sebanyak 10.000 orang[13], ada juga yang mengatakan 20.000 orang.[14]
Namun apakah alasan Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah menentang Ali hanya semata-mata karena menuntut ditangkapnya pembunuh Utsman? Sebenarnya mereka memiliki alasan yang lebih pokok lagi, yaitu:
Ø         Sebagian sejarawan mengemukakan bahwa penentangan Aisyah terhadap Ali disebabkan oleh sentimen pribadi, misalnya Syalabi yang menyatakan “Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki.[15] Dalam masalah hadits al-Ifki, ketika dimintai nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya benar-benar tertekan dengan berita fitnah.
  Sedangkan menurut pandangan Ali, alasan Aisyah dendam kepadanya adalah:
v  Rasul lebih memilih dan mempromosikan Ali daripada ayah Aisyah.
v  Ali sangat disukai dan dipuji oleh Nabi Saw.
v  Aisyah tidak suka pada Khadijah dan Fatimah.
v  Nabi hanya mengizinkan pintu rumah Ali saja yang boleh mengarah dan langsung terhubung menuju masjid, sedangkan pintu sahabat lainnya tidak dibolehkan.
v  Nabi Saw pernah pertama-tama menugaskan Abu bakar untuk melakukann sesuatu namun gagal, kemudian ali mengambil alih tugas itu.[16]
Ø  Abdullah bin Zubair mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khalifah. Tetapi keinginannya itu terhalang oleh Ali. Maka dihasutnyalah bibinya, Aisyah, untuk menceburkan diri ke dalam peperangan melawan Ali.[17]
Ø   Dalam Ensiklopedi islam dikutip sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah.[18]
E.     Peperangan Shiffin
Perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 Hijriah (656 Masehi), antara Ali Ibn abi Thalib dan Gubernur Suriah, Mu’awiah ibn Abi Sufyan, dilatarbelakangi peristiwa kematian Khalifah Utsman ibn Affan, begitulah sejarah mencatat, namun belakangan diketahui bahwa penyebab utama sebenarnya hanyalah karena Mu’awiyah yang telah lama menjadi Gubernur Suriah yang otonom sejak diangkat Khalifah ‘Umar, tidak mau kehilangan jabatannya itu dengan membaiat kepada Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak mempertahankan keutuhan wewenang teritorialnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah ‘Utsman.
Walaupun Ali menyadari sejak semula bahwa peperangan tidak akan terelakkan, ia masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiyah. Pada bulan syawal 36 H, setelah kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Ali mengutus Jurair ibn AbduIlah al-Bajali ke Mu’awiah di Damsyik[19] dengan membawa sepucuk surat dimana ia mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah pun harus membaiat kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan Utsman kepadanya supaya khalifah dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Tetapi Mu’awiah menahan Jurair. Atas saran saudaranya Utbah ibn Abi Sufyan, Mu’awiyah memanggil Amr ibn Ash, seorang politikus yang terkenal licik dan pintar, untuk merundingkan masalah itu. Dengan bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tidak mengetahui persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan Utsman terpikul pada Ali, dan bahwa Ali melindungi para pengepung Utsman.
 Muawiyah menggantungkan baju Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya[20] Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar masjid Damsyik di mana sekitar 70.000 orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas darah Utsman. Setelah berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah pasukan Muawiyah siap untuk berperang. Muawiyah memperlihatkan semua hal itu kepada Jurair lalu mengirimkan Jurair kembali ke Kufah.
Ketika mendengar tentang hal ini dari Jurair, pada bulan Zulhijah 36H/ 657 mAli mengerahkan pasukan gabungan menyusuri sungai euphrate ke arah utara dengan tujuan Syiria utara, dengan kekuatan 95.000 orang dengan strategi bahwa jika benteng-benteng di wilayah Syiria utara dapat direbut maka gerakan ke arah selatan akan menjadi lebih mudah. Ternyata Muawiyah dengan jumlah pasukan sebanyak 85.000 orang telah lebih dahulu mempertahankan wilayah Syiria utara dan membuat garis pertahanan di dataran Shiffin. Kemudian Ali mengirim pasukan di bawah pimpinan Asytar al Nakhi dan berhasil merebut arus sungai Euphrate. Walaupun Sungai euphrate telah dikuasai Ali, Ali tetap mengizinkan Muawiyah untuk memenuhi kebutuhan air pasukannya.[21]
Upaya untuk menempuh jalan damai terus dilakukan oleh pihak Ali dengan engadakan perundingan. Hingga menginjak bulan Muharam 37 H/658 M perundingan itu belum mencapai persetujuan. Persetujuan satu-satunya untuk sementara adalah masing-masing pihak akan memberikan jawaban akhir pada akhir bulan Muharam.[22]
Pada akhir bulan Muharam tahun 37 H/658 M, jawaban terakhir dari Mu’awiyah adalah tetap menolak untuk membaiat ali dan sebaliknya, menuntut ali dan para pengikutnya untuk membaiat dirinya. Maka pecahlah pertempuran di Shiffin bulan Shafar 37H. Peperangan berlangsung selama beberapa hari dan telah memakan ribuan korban, dimana jumlah korban dari pasukan Muawiyah lebih besar. Dalam keadaan yang sangat terdesak itu, Amr ibn Ash yang terkenal cerdik mengusulkan ide dan disetujui oleh muawiyah agar pasukan yang membawa mushaf mengangkat mushafnya di ujung tombak sebagai tanda damai dengan cara tahkim.
Akhirnya kedua golongan bersepakat bahwa masing-masing pihak memilih seorang hakim. Pihak Muawiyah memilih Amr bin Ash dan pihak Ali memilih Abu Musa al- Asyari. Hasil perundingan mereka adalah masing-masing pihak menurunkan pemimpin mereka sebagai khalifah. Abu Musa yang pertama kali menurunkan  Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr ibn Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Mu’awiyah tetapi justru mengangkat Muawiyah sebagai khalifah.
Peperangan Shiffin yang diakhiri melalui tahkim ini, ternyata tidak menyelesaikan masalah, namun justru membuat Gubernur Syiria itu mempunyai kedudukan setingkat khalifah dan menyebabkan lahirnya golongan khawarij yaitu orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali yang berjumlah sekitar 12.000 orang.[23] Khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepotkan khalifah Ali, hingga pecahlah pertempuran nahrawan antara pasukan Ali dengan orang-orang khawarij. Banyak sekali korban dari pasukan Ali yang jatuh dalam pertempuran ini. Hal ini membuat tentara Ali lemah sehingga member kesempatan kepada Muawiyah untuk memperkuat dan memperluas kekuasaan hingga wilayah Mesir mampu direbut dari tangan Ali, yang berarti bahwa Muawiyah telah berhasil merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekinomi dari pihak Ali. Karena kekuatannya telah banyak menurun terpaksa khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah yang secara politis berarti Ali mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir.[24]
F.     Akhir Riwayat Ali Ibn Abi Thalib
Pada saat Ali akan bersiap-siap mengirim pasukan sekali lagi untuk memerangi Muawiyah, muncul suatu komplotan yang terdiri dari tiga orang khawarij. Ketiga orang ini sepakat untuk membunuh Ali bin abi Thalib, Muawiyah, dan Amr bin ash pada malam yang sama. Mereka adalah Abdullah ibn Muljam yang berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali, Barak Ibn Abdillah at Tamimi berangkat ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amr ibn Bakr at Tamimi yang berangkat ke Mesir untuk membunuh amr ibn Ash. [25]
Di antara ketiga orang itu, yang berhasil hanyalah Abdullah ibn Muljam yaitu berhasil membunuh Ali ketika Ali memanggil orang untuk sembahyang di masjid. Maka pada tahun 661M berakhirlah kehidupan Ali ibn abi Thalib di tangan seorang khawarij,Abdullah ibn Muljam.[26] Ali meninggal di usia 63 tahun. Khalifah Ali memerintah selama 4 tahun 9 bulan. [27]
















BAB III
KESIMPULAN

             Jika dilihat dari pembahasan di atas, maka pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib yang terlihat hanyalah kekacauan dan peperangan. Penentangan-penentangan telah dihadapi  Ali sejak awal-awal pemerintahannya. Bahkan di masa kekhalifahan Ali inilah mulai terjadi peperangan sesama kaum muslimin, seperti Perang Jamal dan  Perang Shiffin. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban.
             Konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa pun, dimana pun dan kapan pun. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana pun sebisa mungkin seharusnya kita dapat belajar dari sejarah dan menyikapinya secara positif  agar tidak menimpa kita.


       [1] Mahmudun Nasir, ISLAM Concepts and History, (New delhi: Kitab bavan, 1994),144.
      [2]Samsul munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009),  109.
       [3] Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, (Jakarta: pustaka alhusna Baru, 2007), 243.
       [4] Saiyid Safdar hosain, The Early History of Islam. (New delhi: Low Press Publications, 1995), 361.
      [5]Ali Mufrodi,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Ciputat: Logos Wacana ilmu, 1997), 64.

       [6]Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, 245.
[7] Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248. (dikutip dari: http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
[8] Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 74. (dikutip dari: http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)

[9] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, 246.
[10] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 477-478.
       [11] Samsul munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 110.
       [12] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, 252.
       [13] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Khulafaur Rasyidin, 478.
       [14] Ali Mufrodi,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 65.
       [15] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, 249.
       [16] Rasul Ja’farian, Sejarah Islam terj, (Jakarta: Lentera Basritama, 2003), 311.
       [17] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, 249.
       [18]Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hal. 113. (dikutip dari: http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)

      [19] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Khulafaur Rasyidin,  482.
      [20] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, 259.
      [21] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Khulafaur Rasyidin,  488-489.
      [22] ibid., 490.
       [23] Ali Mufrodi,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 66.
       [24] Ibid., 66-67.
[25] Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam I, 264.
 [26] Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Klasik Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), 312.
          [27] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Khulafaur Rasyidin, 531.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar