BAB I
PENDAHULUAN
Alī bin Abī Thālib (Arab:
علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب) (599 – 661) adalah salah seorang
pemeluk Islam
pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad.
Menurut Islam Sunni,
ia adalah Khalifah
terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah
berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan
peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga
dengan peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman
bin Affan. Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang
menyisakan banyak teka-teki sejarah yang tak kunjung memuaskan. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan
selanjutnya yaitu kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib.
Di dalam makalah ini kami akan membahas tentang
siapa Ali ibn Abi Thalib, bagaimana proses pembai’atan Ali ibn Abi Thalib sebagai
khalifah, bagaimana politik Ali dalam pemerintahannya, konflik yang terjadi
pada masa kekhalifahan Ali (tentang peperangan Jamal dan peperangan shiffin) dan
bagaimana akhir hayat khalifah Ali Ibn Abi Thalib.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tentang
Ali Ibn Abi Thalib
Ali
dilahirkan di Mekkah,
daerah Hejaz, Jazirah
Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum
dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya
bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Ali dilahirkan dari ibu yang
bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan
keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib
banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki.
Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama
istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan
menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib
yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari
kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Ali adalah
orang yang pertama menyatakan imannya dari kalangan anak-anak.[1]
Ketika Nabi menerima wahyu yang pertama , menurut Mahmudun Nasir Ali berusia 9
tahun sedangkan menurut Hassan Ibrahim Ali berusia 13 tahun.[2]
Semenjak kecil Ali dididik dengan adab dan budi pekerti islam,
lidahnya amat fasih berbicara dan memiliki pengetahuan yang luas tentang islam.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek
zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng
Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak. Karena sangat
dekatnya dengan rasulullah, termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan
hadis Nabi. Ali terkenal dengan keberaniannya, dia selalu ikut dan berada di
barisan muka dalam setiap peperangan-peperangan yang dipimpin rasulullah.
Menurut A. Syalabi keberanian Ali dan banyaknya darah manusia yang
ditumpahkannya dalam membela agama islam dari orang-orang yang menyerangnya,
menyebabkan dirinya banyak memiliki musuh.[3]
B.
Pembai’atan Ali ibn Abi Thalib
Beberapa hari setelah pembunuhan Utsman stabilitas
keamanan di Madinah menjadi rawan. Gafiqy ibn Harb memegang keamanan ibukota
islam ibu kota islam itu selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah
yang baru. Kemudian Ali ibn Abi Thalib tampil menggantikan Usman dengan
menerima bai’at dari sejumlah kaum Muslimin. Yang pertama kali membai’at Ali
adalah Thalhah ibn Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam[4]
kemudian diikuti oleh banyak orang, baik dari kalangan anshar maupun Muhajirin.[5]
Menurut Syalabi tidak ada sahabat-sahabat terkemuka yang dapat menolak untuk
membai’at Ali, karena tidak seoarang pun di antara mereka yang sanggup menghadapi
pancaroba.Oleh karena itu mau tak mau mereka membai’ah Ali. [6]
Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan
lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu
dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri
dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut
campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani
Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah
adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh
pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un,
Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan
pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi.
Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin
Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau
memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap
berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit,
Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad
bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok
yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok
sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum
pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil
mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari
Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.[7]
- Politik Ali dalam Pemerintahan
Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan
pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum
menggambarkan garis besar dari visi politiknya. Menurut Jeje Zainudin,
sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber
hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab
suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab
al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah
Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua,
mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala
keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan
mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan
jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan tangan. Kelima,
membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara
dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.[8]
Menurut A. Syalabi, politik yang dijalankan
seseorang merupakan gambaran dari pribadi orang tersebut yang akan mencerminkan
akhlak dan budi pekertinya. Ali adalah orang yang suka berterus terang, tegas
bertindak, tidak suka berminyak air, dan tidak takut celaan siapapun dalam
menjalankan kebenaran. Karena kepribadian yang dimilkinya itu maka setelah
dibai’at Ali mengeluarkan dua buah ketetapan, yaitu:
- Memecat kepala-kepala daerah angkatan Usman dan menggantinya dengan yang baru.
- Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Usman kepada famil famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah, demikian juga hibah Usman kepada siapapun yang tanpa alasan.[9]
- Peperangan Jamal
Disebut perang jamal (perang onta) karena Aisyah ikut dalam peperangan
ini dengan mengendarai onta.[10]
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah, dia
menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah Utsman.
Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi khalifah
pengganti Utsman. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu
berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah
dalam rangka menunaikan umrah. Telah disampaikan bahwa Thalha dan Zubair adalah
orang yang pertama kali memba’iat Ali. Namun, setelah tiba di Makkah dan
bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama
menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman.
Oposisi terhadap khalifah Ali secara terang-terangan mulai
dilakukan, yaitu oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Mereka sepakat menuntut
khalifah segera menghukum para pembunuh Ustman. Merea berangka menuju Basrah
dan mengharapkn dukungan dari penduduk kota itu. Tuntutan yang sama juga
diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk
menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan amarah rakyat dan
menuduh Ali sebagai pembunuh Utsman jika Ali tidak dapat menemukan dan
menghukum pembunuh yang sesungguhnya.[11]
Tuntutan mereka tidak dikabulkan oleh Ali, sehingga kontak senjata
tidak bisa dihindari. Pertempuran dalam peperangan Jamal ini terjadi amat
sengitnya, sehingga Zubair dan Thalhah melarikan diri, tetapi akhirnya tewas
juga. Peperangan ini berhenti ketika Unta yang ditunggangi Aisyah terbunuh.
Kemenangan berada di pihak Ali. Tetapi aisyah tidak diusik-usik oleh Ali,
justru Aisyah dihormati dan dikembalikan ke Makkah dengan penuh kehormatan dan
kemuliaan. [12]
Perang Jamal ini telah memakan korban sebanyak 10.000 orang[13],
ada juga yang mengatakan 20.000 orang.[14]
Namun apakah alasan Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah menentang Ali hanya
semata-mata karena menuntut ditangkapnya pembunuh Utsman? Sebenarnya mereka
memiliki alasan yang lebih pokok lagi, yaitu:
Ø
Sebagian sejarawan mengemukakan bahwa
penentangan Aisyah terhadap Ali disebabkan oleh sentimen pribadi, misalnya
Syalabi yang menyatakan “Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan
Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan
saya tak ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini
disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits
al-Ifki.”[15]
Dalam masalah hadits al-Ifki, ketika dimintai
nasihat (pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai
Rasulullah, tidaklah Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih
banyak. Dan tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang
jujur kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan
Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat
bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak
menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya benar-benar
tertekan dengan berita fitnah.
Sedangkan
menurut pandangan Ali, alasan Aisyah dendam kepadanya adalah:
v Rasul lebih memilih dan mempromosikan Ali
daripada ayah Aisyah.
v Ali sangat disukai dan dipuji oleh Nabi Saw.
v Aisyah tidak suka pada Khadijah dan Fatimah.
v Nabi hanya mengizinkan pintu rumah Ali saja
yang boleh mengarah dan langsung terhubung menuju masjid, sedangkan pintu
sahabat lainnya tidak dibolehkan.
v Nabi Saw pernah pertama-tama menugaskan Abu
bakar untuk melakukann sesuatu namun gagal, kemudian ali mengambil alih tugas
itu.[16]
Ø
Abdullah
bin Zubair mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khalifah. Tetapi
keinginannya itu terhalang oleh Ali. Maka dihasutnyalah bibinya, Aisyah, untuk
menceburkan diri ke dalam peperangan melawan Ali.[17]
Ø
Dalam Ensiklopedi islam dikutip sebuah
pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan
Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu, menurut penulis
Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi
khalifah.[18]
E.
Peperangan
Shiffin
Perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 Hijriah (656 Masehi),
antara Ali Ibn abi Thalib dan Gubernur Suriah, Mu’awiah ibn Abi Sufyan,
dilatarbelakangi peristiwa kematian Khalifah Utsman ibn Affan, begitulah
sejarah mencatat, namun belakangan diketahui bahwa penyebab utama sebenarnya
hanyalah karena Mu’awiyah yang telah lama menjadi Gubernur Suriah yang otonom
sejak diangkat Khalifah ‘Umar, tidak mau kehilangan jabatannya itu dengan
membaiat kepada Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak mempertahankan keutuhan wewenang
teritorialnya dengan mengeksploitasi pembunuhan Khalifah ‘Utsman.
Walaupun Ali menyadari sejak semula bahwa peperangan tidak akan terelakkan,
ia masih terus berusaha menyadarkan Mu’awiyah. Pada bulan syawal 36 H, setelah
kembali ke Kufah dari Perang Jamal, Ali mengutus Jurair ibn AbduIlah al-Bajali
ke Mu’awiah di Damsyik[19]
dengan membawa sepucuk surat dimana ia mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan
Anshar telah membaiatnya dan Mu’awiah pun harus membaiat kepadanya dahulu baru
kemudian mengajukan kasus pembunuhan Utsman kepadanya supaya khalifah dapat
menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Tetapi Mu’awiah menahan
Jurair. Atas saran saudaranya Utbah ibn Abi
Sufyan, Mu’awiyah memanggil Amr ibn Ash, seorang politikus yang terkenal licik
dan pintar, untuk merundingkan masalah itu. Dengan bantuan orang-orang penting
di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tidak mengetahui persoalan, bahwa tanggung
jawab pembunuhan Utsman terpikul pada Ali, dan bahwa Ali melindungi para
pengepung Utsman.
Muawiyah menggantungkan baju Utsman
yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya[20]
Na’ilah binti al-Farafishah di mimbar masjid Damsyik di mana sekitar 70.000
orang Suriah berikrar untuk membalaskan dendam atas darah Utsman. Setelah
berhasil membangkitkan emosi rakyat Suriah pasukan Muawiyah siap untuk berperang.
Muawiyah memperlihatkan semua hal itu kepada Jurair lalu mengirimkan Jurair
kembali ke Kufah.
Ketika mendengar tentang hal ini dari Jurair, pada bulan Zulhijah
36H/ 657 mAli mengerahkan pasukan gabungan menyusuri sungai euphrate ke arah
utara dengan tujuan Syiria utara, dengan kekuatan 95.000 orang dengan strategi
bahwa jika benteng-benteng di wilayah Syiria utara dapat direbut maka gerakan
ke arah selatan akan menjadi lebih mudah. Ternyata Muawiyah dengan jumlah
pasukan sebanyak 85.000 orang telah lebih dahulu mempertahankan wilayah Syiria
utara dan membuat garis pertahanan di dataran Shiffin. Kemudian Ali mengirim
pasukan di bawah pimpinan Asytar al Nakhi dan berhasil merebut arus sungai
Euphrate. Walaupun Sungai euphrate telah dikuasai Ali, Ali tetap mengizinkan
Muawiyah untuk memenuhi kebutuhan air pasukannya.[21]
Upaya untuk menempuh jalan damai terus dilakukan oleh pihak Ali
dengan engadakan perundingan. Hingga menginjak bulan Muharam 37 H/658 M
perundingan itu belum mencapai persetujuan. Persetujuan satu-satunya untuk
sementara adalah masing-masing pihak akan memberikan jawaban akhir pada akhir
bulan Muharam.[22]
Pada akhir bulan Muharam tahun 37 H/658 M, jawaban terakhir dari
Mu’awiyah adalah tetap menolak untuk membaiat ali dan sebaliknya, menuntut ali
dan para pengikutnya untuk membaiat dirinya. Maka pecahlah pertempuran di
Shiffin bulan Shafar 37H. Peperangan berlangsung selama beberapa hari dan telah
memakan ribuan korban, dimana jumlah korban dari pasukan Muawiyah lebih besar.
Dalam keadaan yang sangat terdesak itu, Amr ibn Ash yang terkenal cerdik
mengusulkan ide dan disetujui oleh muawiyah agar pasukan yang membawa mushaf
mengangkat mushafnya di ujung tombak sebagai tanda damai dengan cara tahkim.
Akhirnya kedua golongan bersepakat bahwa masing-masing pihak memilih
seorang hakim. Pihak Muawiyah memilih Amr bin Ash dan pihak Ali memilih Abu
Musa al- Asyari. Hasil perundingan mereka adalah masing-masing pihak menurunkan
pemimpin mereka sebagai khalifah. Abu Musa yang pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr ibn
Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Mu’awiyah tetapi justru mengangkat Muawiyah
sebagai khalifah.
Peperangan Shiffin yang diakhiri melalui tahkim ini, ternyata tidak
menyelesaikan masalah, namun justru membuat Gubernur Syiria itu mempunyai
kedudukan setingkat khalifah dan menyebabkan lahirnya golongan khawarij yaitu
orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali yang berjumlah sekitar
12.000 orang.[23]
Khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepotkan khalifah Ali, hingga
pecahlah pertempuran nahrawan antara pasukan Ali dengan orang-orang khawarij.
Banyak sekali korban dari pasukan Ali yang jatuh dalam pertempuran ini. Hal ini
membuat tentara Ali lemah sehingga member kesempatan kepada Muawiyah untuk memperkuat
dan memperluas kekuasaan hingga wilayah Mesir mampu direbut dari tangan Ali,
yang berarti bahwa Muawiyah telah berhasil merampas sumber-sumber kemakmuran
dan suplai ekinomi dari pihak Ali. Karena kekuatannya telah banyak menurun
terpaksa khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah yang secara
politis berarti Ali mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan
Mesir.[24]
F.
Akhir
Riwayat Ali Ibn Abi Thalib
Pada saat Ali akan bersiap-siap mengirim pasukan sekali lagi untuk
memerangi Muawiyah, muncul suatu komplotan yang terdiri dari tiga orang
khawarij. Ketiga orang ini sepakat untuk membunuh Ali bin abi Thalib, Muawiyah,
dan Amr bin ash pada malam yang sama. Mereka adalah Abdullah ibn Muljam yang
berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali, Barak Ibn Abdillah at Tamimi berangkat
ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amr ibn Bakr at Tamimi yang berangkat ke
Mesir untuk membunuh amr ibn Ash. [25]
Di antara ketiga orang itu, yang berhasil hanyalah Abdullah ibn
Muljam yaitu berhasil membunuh Ali ketika Ali memanggil orang untuk sembahyang
di masjid. Maka pada tahun 661M berakhirlah kehidupan Ali ibn abi Thalib di
tangan seorang khawarij,Abdullah ibn Muljam.[26]
Ali meninggal di usia 63 tahun. Khalifah Ali memerintah selama 4 tahun 9 bulan.
[27]
BAB
III
KESIMPULAN
Jika
dilihat dari pembahasan di atas, maka pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib
yang terlihat hanyalah kekacauan dan peperangan. Penentangan-penentangan telah
dihadapi Ali sejak awal-awal
pemerintahannya. Bahkan di masa kekhalifahan Ali inilah mulai terjadi
peperangan sesama kaum muslimin, seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin. Berbagai langkah dan kebijakan
yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya,
merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya,
kebijakan tersebut banyak memakan korban.
Konflik yang terjadi diantara
sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa pun, dimana pun
dan kapan pun. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di
kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair
al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana pun sebisa
mungkin seharusnya kita dapat belajar dari sejarah dan menyikapinya secara
positif agar tidak menimpa kita.
[7] Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar
al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248. (dikutip dari:
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
[8]
Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip
dari buku “Akar Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 74.
(dikutip dari:
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
[18]Ensiklopedi
Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hal. 113. (dikutip dari:
http://senaru.wordpress.com/2009/06/07/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin-abi-thalib/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar