Powered By Blogger

Jumat, 11 November 2011

"DINASTI-DINASTI DI BARAT BAGDAD"


DINASTI-DINASTI DI BARAT BAGDAD
A.      PENDAHULUAN
Pada masa dinasti Abbasiyah, pembangunan dan pembinaan di berbagai aspek mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat, mulai bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lain. Namun disisi lain terdapat persoalan politik yang akhirnya menjadikan dinasti ini lumpuh. Kebijakan pemerintah Abbasiyah yang menitikberatkan terhadap pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik, sedikitnya mempermudah wilayah-wilayah atau provinsi tertentu untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah Abbasiyah.[1]
Daerah-daerah kecil dinasti Abbasiyah, banyak yang melepaskan dan memerdekakan diri dari pemerintahan. Setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah, kebanyak dari mereka membangun dan menjadikan wilayah tersebut menjadi dinasti-dinasti kecil yang berdiri secara independen dan berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaan dengan menaklukkan daerah-daerah sekitarnya. Mereka melepaskan diri dengan cara, pertama, seoranmg pemimpin lokal suatu  pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti dinasti Idrisiyah, kedua, seorang yang ditunjuk oleh khalifah dan kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti dinasti Thahiriyah dan lain sebagainya.[2]
B.       DINASTI THULUNIYAH
Dinasti Thuluniyah merupakan dinasti yang memperoleh hak otonom dari pemerintahan dinasti Abbasiyah. Pendidirinya  adalah Ahmad Ibn Thulun,[3] yaitu seorang budak dari Asia tengah yang dikirim oleh panglima Thahir Ibn Husaen ke Baghdad untuk dipersembahkan kepada Khalifah al-Makmun dan diangkat menjadi kepala pegawai Istana.[4] Ahmad Ibn Thulun dikenal sebagai sosok yang gagah berani, dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra, syari’at dan militer.
Pada masa khalifah al-Mu’taz, Ahmad Ibn Thulun diangkat menjadi wali di Mesir dan Libya atas bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai panglima Turki di belahan barat. Ketika pemerintahan Abbasiyah terjadi disintegrasi dan distabilitas politik, Ahmad Ibn Thulun memanfaatkan situasi ini dengan memproklamasikan indepensi wilayahnya dengan membentuk dinasti Thuluniyah, meskipun demikian, Thuluniyah masih tetep memperlihatkan loyalitasnya kepada pemerintahan Abbasiyah melalui penyebutan nama khalifah pada kotbah jum’at dan penulisan nama khalifah pada mata uang, serta pembayaran pajak sejumlah 300.000 dinar.[5]
Lahirnya rezim Thulun mengubah keadaan negeri itu, dan secara bertahab berhasil menciptakan kemakmuran. Ibnu Thulun membangun Negara barunya itu dan membentuk organisasi militer yang ketat. Untuk mempertahankan kekuasaan, ia mengadalkan kekuatan angkatan perangnya yang berkekuatan seratus ribu tentara, dengan tentara intinya terdiri dari prajurit kebangsaan Turki ditambah budak-budak negro.[6] Keberadaan dinasti ini semakin bertambah besar dan kuat, setelah adanya ikatan perkawinan antara Ibn Thulun dengan saudara Yarjukh, sebagai jaminan atas kedudukan yang di peroleh Thuluniyah. Ahmad Ibn Thulun mulai mengdakan ekspansi ke wilawah Hijaz di semenanjung Arabia hingga Palestina dan Siria pada tahun 878 M serta wilayah Sisilia di Asai kecil pada tahun 879 M.[7]
Pada masa pemerintahannya Ahmad Ibn Thulun dinasti ini sudah mulai memperlihatkan kecermelanggannya, ia membentuk armada laut yang kuat, untuk membentengi serangan-serangan musuhnya, mendirikan markas militer al-Qatha’i, Fusthath dan membangun masjidnya yang terkenal untuk menampung semua pasukan yang tidak tertampung di masjid ‘Amr ibn al-Ash.[8] Ibn Thulun meninggal pada tahun 270 H dalam usia 50 tahun, maka kekuasaannya pun berpindah ke tangan tangan putranya yang tertua yaitu Khumarwaihi. Di bawah kekuasaannyalah dinasti Thuluhiyah mencapai masa kejayaannya.[9] Ia dapat memperluasnya hingga Siria, Gunung Taurus, al-Jazirah kecuali Mosul.[10] Pada masa kejayaanya ini Thuluniyah mencapai berbagai macam pretasi antara lain yaitu bidang seni dan arsitektur, pembangun rumah sakit yang yang memakan biaya 60.000 dinar dan istana Khumarwaihi dengan balairung emasnya. Menurut Pillip, bangunan ini memiliki aula emas yang dindingnya dihiasi emas dan dihiasi ukiran-ukuran yang bergambar dirinya, para Istri dan pengiringgnya, terdapat kandang burung yang besar, kebun binatang dan kolam air raksa yang terletak di pelataran depan.[11]
Selama beberapa tahun menjelang berakirnya masa kekuasaan al-Khumarwaihi, dinasti ini mulai kelihatan adanya gejala-gejal memburuk, ketiak Khumarwaihi meninggal, tahta dipegang oleh Abu al-‘Asakir Jaisy Ibn Khumarwaihi, kemudian Harun bin Khumarwaihi dan terakir di pegang oleh Saiban Ibn Ahmad Ibn Thulun. Pada masa pemerintahan Syaiban muncul dan berkembang sekte-sekte keagamaan Qaramitah yang berpusat di Gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu Sayiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu pula khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk menaklukkan dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti ini yang masih hidup ke Baghdad. Maka berakirlah dinasti ini.[12]


C.      DINASTI IKHSIDIYAH
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Thught al-Ikhsyid. Gelar ikhsyid ini diperoleh pada tahun 323H/935M, ketika dia diangkat menjadi gubernur Mesir, dari khalifah Ar-Radhi,[13] atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan Nil dari serangan kaum Fatimiyah yang berpusat di Afrika utara.[14] Dinasti ini mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyokong dan memperkuat wilayah Mesir. Pada masa itu, Mesir mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena ditopang dengan kemiliteran Ikhsidiyah yang tangguh dan pasukan pengawal sejumlah 40.000 orang dan 800 orang pengawal pribadi.[15]
Kekuasaan dua anak laki-laki yang menggantikan al-Ikhsyid hanya bersifat formalitas, kendali pemerintahan dipegang oleh seorang kasim yang memiliki kecakapan dari Abissina, yakni Abu Kafur, yang kemudian menjadi satu-satunya penguasa  sejak 966-986 M.[16]
Pada dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di masjid-masjid, rumah para menteri dan ulama’. Kegiatan itulah yang berperan dalam pendewasaan pendidikan pada saat itu, dan juga dibangun sebagai pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat beridiskusi yang dikenal dengan nama Syuq al-Waraqin.[17] Namun ia tidak memberikan kontribusi apa pun bagi kehidupan seni dan sastra di Mesir maupun di Suriah. Tidak ada karya-karya publik yang lahir dari tangan mereka.[18]
Setelah dua tahun berkuasa di Mesir, dinasti ini mengadakan ekspansi ke wilayah Suriah dan Palestina, menurut Pillip keduanya dimasukkan kedalam Negara semi independen yang dipimpinnya, tahun berikutnya Mekah dan Madinah dimasukkan kedalam wilayahnya. Dengan demikian kekuasaannya bertambah besar dan pesat, bahkan menurut Bosworth kekuasaanya tidak terbatas.
Pada tahun 355H/966M Kafur meninggal, kemudian kekuasaan dinasti berpindah tangan kepada Abu al-Fawaris Ibn Ahmad Ibn Ali. Ketika kekuasaan dipegang oleh al-Fawaris dinasti Ikhsidiyah menjadi lumpuh. Tampaknya kekuasaan al-Fawaris tidak bertahan lama, karena kepimimpinannya sangat lemah, sehingga serangan terus-menerus dari Fathimiyah dilancarkan kepada pemerintahannya, membuat dinasti Ikhsidiyah tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada akhirnya, Ikhsidiyah dapat ditaklukkan oleh Fathimiyah.[19]

D.      DINASTI HAMDANIYAH
Dinasti Hamdaniyah didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, nama dinasti ini dinisbahkan kepada pendirinya Hamdan Ibn Hamdun yang bergelar al-Haija.[20] seorang amir dari suku Taghlib. Putranya Husaen adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Haija Abdullah diangkat menjadi gubernur Moasul oleh khalifah al-Muktafi pada tahun 905 M.[21] wilayah kekuasaan dinasti ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu wilayah kekuasan di Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb. Wilayah kekuasaan di Halb terkenal sebagai pelindung kesusaseraan Arab dan ilmu pengetahuan. Menurut Bosworth faktornya terutama karena Sayf Ad-Dawlah memberikan dorongan kepada penyair al-Munabbi.[22] Pada masa itu pula, muncul tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi a-Fath dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti di bidang nahwu, Abu Thayyib al-Munabbi, Abu Firas Husaen Ibn Nashr ad-Daulah, Abu A’la al-Ma’ari dan Syarif ad-Daulah yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar yaitu al-Farabi.[23]
 Setelah meninggalnya Haija, tahta kerajaan beralih pada seorang putranya, yaitu Hasan Ibn Abu Haija yang diberi gelar oleh khalifah Syaif ad-Daulah. Syaib ad-Daulah inilah yang berhasil menguasai Halb dan Hism dari kekuasaan Ikhsidiyah. Menurut Bosworth, meskipun mereka berkuasa di sebuah wilayah yang makmur, yang memiliki banyak pusat perdagangan dan aktivitas, Hamdaniyah masih memperlihatkan yang tidak bertanggung jawab. Suriyah dan al-Jazirah terpaksa menderita akibat kerusakan yang ditimbulkan dalam peperangan, kendati Ibn Iqbal (ahli geografi) selanjutnya mencatat bahwa ketamakan para amir yang semakin memperbesar kesengsaraan disana.[24] Hal ini yang mengakibatkan kurangnya simpati dari masyarakat dan jatuhnya wibawa pemerintahan. Selain faktor diatas jatuhnya dinasti Hamdaniyah disebabkan karena munculnya dinasti Bizantium dibawah kekuasaan Macedonia bersamaan dengan berdirinya Hamdaniyah, invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriyah mengakibatkan Allepo dan Hism terlepas dari wilayah kekuasaannya, hingga dinasti ini lumpuh. Disisi lain Fathimiyah ke bagian Suriah selatan yang selanjutnya meruntuhkan dinasti Hamdaniyah Suriyah, dengan terbunuhnya  Said ad-Daulah yang memegang kekuasaan Hamdaniyah saat itu. Akhirnya dinasti ini takluk kepada dinasti Fathimiyah.[25]


KESIMPULAN
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, ia memperlihatkan berbagai prestasinya dan melahirkan tokoh-tokoh yang produktif, namun disisi lain karena terlalu luasnya dinasti Abbasiyah dan Kebijakan pemerintah Abbasiyah yang menitikberatkan terhadap pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik, mengkibatkan banyak wilayah-wilayah kecil yang memerdekakan diri serta menjadi dinasti yang independen, namun tidak seluruhnya. Antara lain yaitu dinasti-dinasti yang berada di barat Baghdad yaitu, dinasti Thuluniyah yang didirika oleh Ahmad Ibn Thulun, dinasti Ikhsidiyah yang didirikan oleh Muhammad Ibn Tught serta dinasti Hamdaniyah oleh Hamdan Ibn Hamdun.
Setelah membaca uraian dinasti-dinasti diatas kiranya dapat kita ambil beberapa catatan, antara lain:
1.      Proses pelepasan daerah-daerah kecil itu mamakai salah satu dari dua cara, yaitu menunjuk seseorang yang diangkat menjadi gubernur oleh khalifah untuk pimpinan kekuasaan kecil dan pemimpin itu memimpin suatu pemberontakan sehingga mendapatkan kemerdekaan penuh
2.      Meskipun muncul banyak dinasti-dinasti kecil yang mengancam pemerintahan Abbasiyah namun juga memberikan banyak kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain-lain.


[1]. Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal, 155.
[2]. Badri Yatim,SejarahPeradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakatrta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 64.
[3]. Pillip K. Hitty, History of the Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 573.
[4]. Dedi Supriadi, hal. 163. Yang dikutip dari buku History of Arabs karangan Pillip k. Hitty, hal. 452.
[5]. Dedi  Supriadi, hal. 164. (diambil dari buku Sejarah dan Kebudayaan IslamI karangan Hasan Ibrahim Hasan, hal. 215)
[6]. Pillip K. Hitty, History of The Arabs, hal. 574.
[7]. Dedi Supriadi, hal. 164.
[8]. C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: MIZAN, 1993), hal. 68. Diterjemahkan dari buku The Islamic Dinasties terbitan Edinburgh University Press, tahun 1980 oleh Ilyas Hasan.
[9]. Dedi  Supriadi, hal. 164.
[10]. Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam (Surabaya: Pustaka Islamika Press, 2003), hal. 151.
[11]. Pillip K. Hitty, History of The Arabs, hal. 576.
[12]. Dedi Supriadi, hal. 165-166.
[13]. C.E. Bosworth, hal. 69.
[14]. Dedi Supriadi, hal. 166.
[15]. Ibid, hal. 166.
[16]. Pillip. K. Hitty, hal. 578.
[17]. Dedi Supriadi, hal, 166.
[18]. Pillip. K. Hitty, hal. 579.
[19]. Dedi Supriadi, hal. 167.
[20]. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:AMZAH, 2009) hal 227.
[21]. Dedi Supriadi, hal. 167.
[22]. Bosworth, hal. 75.
[23]. Dedi Supriadi, hal. 167.
[24]. Bosworth, hal. 75.
[25]. Dedi Supriadi, hal. 167. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar