Powered By Blogger

Sabtu, 04 Desember 2010

"DEVELOPMENTALISME REPRESIF ORDE BARU DAN RESPON INTELEKTUAL ISLAM"






DEVELOPMENTALISME REPRESIF ORDE BARU DAN RESPON INTELEKTUAL ISLAM
Ketika rezim Soekarno jatuh pada 1966, muncullah kekuatan dari orde baru Soeharto, yang menjadikan landasan kerjanya yaitu keluarnya mandat Soekarno yang kontroversial pada 11 Maret 1966. Para intelelaktual dari PSI dan kaum Kristen patner utama pihak militer dalam membangun orde baru. Dalam menghadapi krisis ekonomi orde baru memobolisasi politik masa dan perselisihan politisi sipil yang berlangsung pada masa sebelumnya telah mengabaikan problem-problem mendasar  yaitu kesejahteraan ekonomi dan sosial. Karena Negara sedang dalam keadaan bangkrut, dalam pembangunan ekonomi, tidak ada pilihan lain kecuali hutang dan investasi asing.
Dalam mengamati pemerintahan orde baru, terdapat beberapa pandangan akademis yang muncul. Orde baru sudah jauh dari hati nurani rakyat dan tidak memberikan umpan-balik dalam persoalan-persoalan kebijakan serta tidak peka terhadap kebutuhan-kebutuhan publik.
Meskipun menimulkan ketidaksukaan dan kritik dari para intelektual, rezim ini menunjukkan pembangunan dalam bidang pendidikan. Sejak Repelita II sampai ke IV, anggaran pendidikan terus-menerus mengalami kenaikan. Sebagai hasilnya jumlah siswa pun berkambang sangat pesat, sehingga sejak 1984 pemerintah menerapkan wajib belajar enam tahun secara nasional, kemudian atas prestasi ini pada 1993 indonesia meraih “Avicenna Award” dari UNESCO, serta dilanjutkan wajib belajar Sembilan tahun. Peningkatan yang signifikan ini juga terbukti dengan meningkatnya mahasiswa pada perguruan tinggi dan jumlah perguruan tinggi yang semakin banyak. Selain itu orde baru mendukung pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan universitas-universitas.
Sejak pertengahan 1980-an lulusan universiatas lebih cenderung suka bekerja paa sektor swasta karena gajinya yang banyak, dan kebanggaan menjadi pegawai negeri mulai menurun. Banyaknya lulusan universitas sedangkan sektor swasta semakin terbatas maka semakin banyak pengangguran, akibatnya presentase sosial intelegensia secara umum semakin merosot.
Sepanjang rezim Soekarno, kelompok ekonom dai UI, memberikan kuluah-kuliah ekonomi di sekolah staf dan komando angkatan darat (SESKOAD), diantarnya jenderal Soeharto. Saat Soekarno runtuh, para ekonom mulai mengkritik kebijakan-kebijakan Soekarno dalam sebuah buku edisi kusus pada November 1965. Dengan adanya kombinasi antara manajemen ekonomi yang efektif, lingkungan yang mendukung dan stabilitas politik, pembangunan ekonomi berkembang dengan pesat. Pada akhir 1960-an stabilitas harga telah tercapai, kemudian 1965-1996 GNP meningkat 6,7% per tahun. Kemiskinan semakin menurun dari 70% pada 1960-an menjadi 27% pada 1990-an. Untuk memperkuat legitimasi politiknya Soeharto merekrut para intelektual sipil terkemuka dan berpengaruh sebagai pendampingnya. Sedangkan untuk menjamin stabilitas ekonomi, dipegang oleh pihak militer.
Pemerintah juga berusaha untuk melumpuhkan partai-partai politik yang ada, lewat kebijakan-kebijakan intervensi dengan tujuan untuk mengisolasi para pemimpin berpengaruhnya dan untuk mengamankan kepemimpinan yang patuh dalam partai tersebut. Setelah pemilu 1971, pemerintah memperkenalkan konsep “masa mengambang” yang melarang masyarakat level bawah terlibat dalam aktivitas politik, begitu juga kegiatan kemahasiswaan di control sangat ketat oleh pemerintah.
Politik Islam masa orde baru sangat dikekang dengan berbagai kebijakan, seperti taktik “bulldozer” sehingga pada pemilu 1971 presentase politik Islam sangat mengecewakan. Partai-partai Islam pada rezim ini tidak bardaya, terbukti dengan presentase partai Islam yang semakin tahun semakin menurun, lewat Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri) pada tahun 1971 pemerintah melakukan pereturan-peraturan dan intimidasi yang melarang pegawai negeri sipil untk menjadi anggota partai Islam. Selanjutnya orang-orang yang berada di kursi pemerintahan meningkat sedangkan muslim semakin menurun.
Dengan lemahnya partai Islam, maka, berdasarkan pertemuan pada 26 Febuari 1967 di Masjid Al-Munawarrah, para intelegensia muslim segera membentuk lembaga dakwah kusus yang berorientasi pada pelaksanaan dakwah Islam secara lebih luas dan komprehensif, yang diberi nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). M. Natsir sebagai ketua dan H.M. Rasjidi sebagai wakil pertama dengan didukung Masjumi dan kaum reformis-modernis.
Intelengensia pada masa perjuangan sangat terbatas, karena kebijakan Belanda yang mengutamakan priyayi, kemudian kedatangan Jepang, selanjutnya diusul revolusi kemerdekaan. Kebanyakan studi mereka terpotong karena perjuangan kemerdekaan dan baru bisa melanjutkan pada tahun 1950 atau 1960-an. Hanya dua dari mereka yang menjadi cabinet Soeharto.
Intelegensia selanjutnya, memberikan respon terhadap tantangan medernisasi dan rasa frustasi politik Musllim dengan penuh energi dan kreativitas. Generasi ini banyak berkecimpung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan Islam, antara lain HMI, PMII, IMM, (LMDI-HMI) dan lain-lain. Mereka berjuang sesuai ideologi masing-masing, seperti HMI, ia cenderung pada asrpirasi-aspirasi politik yang inklusif, serta pandangan LMDI yang berkiblat kepada Masjumi dan Natsir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar