Powered By Blogger

Minggu, 05 Desember 2010

PEMBAHASAN ULAMA' DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI


PEMBAHASAN ULAMA’ DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI

Ulama merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam berbagai hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad dan sahabat. Salah satu hadis bahkan menyatakan “ulama merupakan pewaris para Nabi” (Al-’ulama ’waratsah al-anbiya’).
Posisi mereka dihormati dalam masyarakat. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek kehidupan sehari-hari. Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian ahlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial. Untuk pembahasan lebih lanjut, kami akan membahasnya dalam bab II.

A.  Pengartian Ulama’
Ulama adalah jamak dari kata ‘alimu.[1] Yang berarti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap. Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian, dan akhlak yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya. Tentang rumusan ulama dengan sifat-sifatnya, yaitu bahwa ulama adalah hamba Allah yang berakhlak Qur’ani yang menjadi “waratsatul anbiya” (pewaris para nai), “qaudah” (pemimpin dan panutan), khalifah, pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan kelestarian hidup manusia.[2]
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dan pengertian yang diketengahkan oleh beberapa ulama antara lain Syeikh Muhammad Nawawi dari Tanahara Banten Jawa Barat dalam kitabnya Syarah Asmaul Husna dan Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fizilalil Quran. Maka musyawarah menetapkan pengertian ulama sebagai berikut: Ulama adalah hamba Allah yang memiliki jiwa dan kekuatan khasyatullah, mengenal Allah dengan pengertian yang hakiki, pewaris nabi, pelita umat, dengan ilmu dan bimbingannya, menjadi pemimpin dan panutan yang uswah hasanah dalam ketaqwaan dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam beribadah dan beramal shaleh. Sebagai mujahid dalam menegakkan kebenaran, tidak takut celaan dan tidak mengikuti hawa nafsu, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.

  1. Ciri-Ciri Ulama’

Ulama’ adalah pemersatu umat, bukan pemecah belah, teguh dan tegar dalam memperjuangkan dan meninggikan Islam saat berjalan di jalan Allah.[3] adapun Syarat-syarat atau kriteria serta ciri-ciri ulama adalah sebagai berikut:
  1. Keilmuan dan ketrampilan
a)    Memahami al-Quran dan Sunnah Rasul serta ulumuddin lainnya.
b)   Memiliki kemampuan memahami situasi dan kondisi serta mengantisipasi perkembangan masyarakat dan da’wah Islam.
c)    Mampu memimpin dan membimbing umat dalm melaksanakan kewajiban “hablum min Allah, hablum min-annas dan hablum min al-alam”.
  1. Pengabdian
a)    Mengabdikan seluruh hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah SWT.
b)   Menjadi pelindung, pembela dan pelayan umat (waliyul mukmin).
c)    Menunaikan segenap tugas dan kewajibannya atas landasan iman dan taqwa kepada Allah SWT dengan rasa penuh tanggung jawab.
  1. Akhlak dan kepribadian
a)    Berakhlak mulia, ikhlas, sabar, tawakkal, istiqamah.
b)   Berpikir kritis, berjiwa dinamis, bijaksana dan lapang dada.[4]
  1. Peranan Ulama Dalam Masyarakat
Pembahasan tentang peranan ulama, dalam budaya Jawa, hampir tidak dapat dibedakan dengan peranan kyai dalam masyarakat, karena dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa seorang kyai pasti ulama namun seorang ulama belum tentu kyai. Sekiranya ulama diartikan sebagai jabatan fungsional yang dipegang kyai, maka peran kyai mempunyai peran ganda. Yaitu sebagai pemimpin pondok pesantren dan pemimppin masyarakat.[5]   Menurut Horikhosi seorang ulama  dan kyai menduduki status sosial sebagai kekuatan moral dan menyerukan kebajikan dalam masyarakat.[6]
Ulamasebagai penerus dari Nabi memiliki peran dan tugas dalam memberikan pengajaran Islam berdasarkan al-Qur'an, menjelaskan makna dalam ayat-ayat  serta memberikan model peran bagi setiap manusia. Jika menengok pada sejarah masuknya Islam di Indonesia tentu, akan lebih di pahami bahwa para ulama memberikan kontribusi yang signifikan pada Islam maupun bangsa Indonesia (Nusantara pada waktu itu), sebagaimana dijelaskan oleh Uka Tjandrasasmita bahwa, Islam di sebarkan melalui enam metode, yaitu, dengan cara perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, politik.[7] Melihat dari informasi diatas tentu dapat disimpulkan bahwa selain memperluas agama Islam, para ulama juga berperan penting dalam mencerdaskan masyarakat. selain itu ketika Belanda datang ke Indonesia, ulama juga memberi kontribusi banyak, baik untuk Islam maupun Negara Indonesia, mulai dari mempertahankan aqidah Islam sampai mempertahankan martabat Indonesia.[8]
Di Indonesia, Ulama sebagai lembaga memiliki kecenderungan untuk dikelompokkan ke dalam beberapa organisasi. Misalnya NU dan Muhammadiyah. Dalam hal ideologi umum dan cara berpikir. Dalam hal skala geografis, ada Forum Silah Ulama al-rahim Jawa Barat. Tipe lain dari Ulama adalah MUI (Bahasa Indonesia Majelis Ulama) yang berkembang dari organisasi nasional untuk skala lokal. Meskipun keanekaragaman organisasi, Ulama memiliki peran yang sama, yaitu menyebarkan Islam.[9]
Menurut Abdul Qodir Djaelani secara garis besar peran ulama’ di bagi menjadi tiga, antara lain, sebagai berikut:
1.    Menda’wahkan dan menegakkan Islam serta membentuk kader penerus.
a.    Membina persatuan dan kesatuan dalam menunaikan tugas-tugas dan kewajiban sebagai seorang ulama.
2.    Pengkajian Islam dan pengembangannya.
a.    Senantiasa menggali ajaran al-Quran dan al-Sunnah.
b.    Menemukan dan mengemukakan gagasan-gagasan baru yang islami untuk memperbaiki/meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat.
3.    Perlindungan dan pembelaan terhadap umat Islam.
a.    Mencintai dan melindungi masyarakat.
b.    Memperjuangkan dan membela kepentingan islam dan umat islam.
c.    Membela dan melindungi Islam dan umat Islam dari setiap rong-rongan dan uasaha-usaha pelunturan ajaran dari aqidah Islam.[10]
  1. Pandangan Masyarakat Terhadap Ulama’
Dalam membahas respon masyarakat terhadap ulama’, tentunya tidak bisa disamakan, antara respon dalam masyarakat dahulu dengan masyakat saat ini, hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa respon tersebut sudah mengalami pergeseran yang signifikan. Baik dari segi fungsi maupun karisma ulama’ dahulu dengan ulama’ sekarang sangat berbeda, dalam masyarakat dahulu ulama’adalah orang yang sangat di kagumi masyarakat, di hormati serta disegani di berbagai kalangan seperti, Syekh Abdul Qodir al-Jaelani sehingga beliau di juluki “Sulthonul Auliya’”,bahkan Syekh Abu Danif al-Bagdadi dalam bukunya “Hilyatul Jalalah” menyanjung-nyangjung beliau.[11]
Tidak hanya itu, ulama’ dahulu adalah pemikir politik, seperti Sunan Ampel, dia adalah pemikir pendirian kerajaan Islam. Sebagaimana keterangan diatas dapat disimpulkan, respon masyarakat terhadap ulama’ pada saat itu adalah sangat jelas bahwa ulama’ sebagai seorang yang terhormat serta di agungkan karena kecakapannya dalam berbagai hal dan kedekatannya dengan Allah.
Berbeda dengan ulama’ mutaqoddimin, pandangan masyarakat terhadap ulama saat ini, menurut masyarakat ulama’ saat ini justru banyak di kendalikan oleh pemerintahan atau bahkan mementingkan kepentingan organisasi dari pada kemaslahatan umat, seperti halnya fatwa MUI bahwa golput haram,[12] yang sangat kontroversi di kalangan masyarakat, hal tersebut mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap ulama’,karena dianggap suatu politik pemerintah lewat para ulama’.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pandangan tentang ulama’ sebagai penerus para Nabi semakin rendah, selain karena hal diatas dikarenakan masyarakat yang semakin lemah dalam pemahaman agama. Demikianlah pandangan masyarakat terhadap ulama’.




[1]. Muhammad Ma’sum, al-Amtsilatu al-Tashrifiyah, (Semarang: Pustaka al-Alawiyah), hlm. 4.
[2].  Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm. 3.
[3]. Ibid. hlm 4.
[4]. Ibid. hlm 6.
[5]. Sukamto, Kepemimpinan Kyai Dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), hlm. 87.
[6].  Ibid, hlm. 87.
[7]. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999), hlm. 201-203.
[8]. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,(Jakarta: PT LP3ES, 1985), hlm 9-16.
[9].  http://definition280689.blogspot.com
[10].  Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu), hlm 6.
[11]. Abi Danif al-Bagdadi, Hilyatul Jalalah, yang di terjemahkan oleh Ibnu Sofyan dengan judul “Keagungan Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani”  (Jombang: Darul Hikmah, 2009)
[12].  http://apa-adanya.blogspot.com/search/label/Anthropologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar