Powered By Blogger

Sabtu, 05 Mei 2012


SEJARAH EKONOMI ISLAM PADA MASA UMAR BIN KHATTAB ( 13-23 H/634-644 M)
BAB I
PENDAHULUAN

Islam sebagai agama yang  rahmat lil ‘alamin tidak hanya memberikan perhatian kepada masalah  ‘ubudiyah, tetapi juga memberikan perhatian yang tinggi terhadap masalah mu‘amalah. Banyaknya ayat al-Qur’an, yang menjelaskan, bahkan memberikan nilai yang sangat tinggi dan positif secara hukum terhadap bidang tersebut, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi. Hal ini dikarenakan, hasil aktifitas ekonomi dalam pandangan ajaran Islam mempunyai kaitan erat dengan rahmat Allah SWT yang dilimpahkan kepada umat manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa Pemikiran tentang ekonomi Islam telah ada sejak Nabi Muhammad SAW, hal ini dapat kita ketahui dari terbentuknya kota Madinah atau yang terkenal dengan Madina al-Nabi[1]. Seiring berjalannya waktu Agama Islam berkembang dengan cepat, permasalahan yang dihadapipun semakin kompleks, maka umat Islam dituntut untuk melakukan ijtihad baru demi terwujudnya perekonomian Islam yang lebih maju.
Semenjak Rasulullah wafat, pemerintahan Islam dikendalikan oleh Abu Bakar as-Siddiq. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi banyak permasalahan dari kelompok murtad, nabi palsu dan pembangkang zakat.[2] Tidak terlalu banyak yang dicapai pada masanya, kebanyakan ia meneruskan kebijakan-kebijakan pada masa Nabi Muhammad.
Ketika Islam dibawah kendali Umar bin Khattab, ia mengalami perkembangan yang sangat cepat, Umar bin Khattab mewujudkan iklim politik yang bagus, keteguhan prinsip, kecermelangan perencanaan; meletakkan berbagai sistem ekonomi dan manajemen yang penting; menggambarkan garis-garis penaklukan dengan banyak melakukan ekspansi sehingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah Romawi (Syiria, Palistina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia termasuk Irak dengan pengaturan yang sitematis atas daerah-daerah yang ditaklukkan, menegakkan keadilan disetiap daerah dan terhadap ssemua manusia, melakukan koreksi terhadap pejabat serta memperluas permusyawaratan. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat meenjuluki Umar sebagai The Saint Paul of Islam[3]



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Umar bin Khattab
Umar bin Khattab nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail.[4] Umar bin Khattab dilahirkan dengan nasab ayahnya bernama Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ayyi bin Gholib Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Sedangkan dari nasab ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah, dari Bani Makhzumi. Hantamah adalah sepupu dari Abu Jahal. Umar bin Khattab memiliki kunyah Abu Hafas dan laqob Al Faruq[5]
Umar adalah sosok tinggi besar, lebat bulu badannya, rambut teruarai dari kedua sisi kepalanya, berkulit putih kemerah-merahan, berjenggot lebat, berkumis tebal dan menyemir ubannya dengan hana’ (pohon sejenis pacar). Disamping sifat-sifat fisik tersebut, Umar juga memiliki sifat-sifat kejiwaan yang luhur, antara lain: adil, tanggung jawab, keras dalam menyelesaikan berbagai masalah dan menghadapinya dengan tegar dan penuh keteguhan baik masalah pribadi, negara dan agama, santun terhadap rakyat dan sangat berwibawa, disegani, tajam firasatn          ya, luas ilmunya, cerdas pemahamannya, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin dijelaskan dalam kajian ini.
Mengenai perangai luhur Umar bin Khattab ini dapat dilihat dalam suatu riwayat yang dikatakan oleh At-Thabari dalam Tarikh ar-Rasul wal-Muluk. Suatu ketika Umar berkata kepada Salman “termasuk raja atau khalifah saya ini?” Salman menjawab: “jika anda memungut iuran kurang lebih dari satu dirham untuk tanah-tanah milik muslimin dan diberlakukan tidek menurut hukum yang berlaku, maka anda adalah seorang raja, bukan khalif. Maka melelehlah air mata Umar.”[6]
Ia menyatakan keislamannya pada tahun ke-6 dari kenabian. Keislamannya memiliki pengaruh besar bagi kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud Rodliyallahu ‘Anhu berkata, “Kami selalu sangat mulia sejak Umar masuk Islam.” Dalam riwayat lain  disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata,”Sesungguhnya keislaman Umar adalah penaklukan, hijrahnya kemenangan, dan kepemimpinannya rahmat[7]
Khalifah Umar memerintah selama sepuluh tahun lebih enam bulan empat hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia bernama Feroz atau Abu lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam kearah khalifah yang akan melaksanakan shalat subuh yang ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi. Ia terluka parah. Dalam pembaringannya ia mengangkat komisi pemilih yang akan memilih penerus pemimpin Islam. Ia meninggal pada 1 Muharram 23 H/644 M, tepat tiga hari setelah peristiwa penikamannya.[8]
B.       Kondisi Perekonomian Pada Masa Umar bin Khattab
Pemerintahan Umar bin Khattab dikenal dengan pemerintahan yang bersih ditopang dengan karakteristik pribadi yang tegas dan berwibawa sehingga terbentuk kondisi kenegaraan yang damai, kesejahteraan rakyat semakin baik daripada masa sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi perekonomian dan pendapatan masyarakat Arab pada masa itu dapat digolongkan pada taaraf perekonomian yang merata. Kekayaan dan kemakmuran tersebut mereka dapatkan dari harta rampasan perang (ghonimah), pajak tanah (kharaj), pajak perdagangan/bea cukai (usyur), zakat, pajak tanggungan (jizyah).
Pada masa ini, Umar bin Khattab membentangkan garis perbedaan mendasar pengelolaan ekonomi dengan kerajaan lainnya, seperti sistem fiodalisme yang diterapkan di Iran dan Irak.[9] Dengan menetapkan perekonomian yang  lebih Islami dan tidak mengenal istilah kesewenang-wenangan dari para raja. Umar bin Khattab mengembangakan prinsip ekonomi bersama yang harus dinikmati oleh setiap orang berdasarkan prinsip al-Qur’an dan Sunnah Rasul tentang keadilan dan keseimbangan yang tidak memberi hak perseorangan secara berlebihan, tidak menghembuskan rasa benci pada kelas yang berbeda seperti halnya yang belakangan ini sering terjadi dalam mekanisme  dan sistem penerapan ekonomi Sosialisme. Beliau  telah memanfaatkan semua faktor produksi, tanah, tenaga kerja, modal yang mencegah terjadinya dominasi suatu kelompok kecil. Jika hal demikian terjadi, maka akan membawa kepada stagnasi ekonomi.[10]
C.      Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab
Ketika dilantik menjadi khalifah oleh Rasulullah, Umar  bin Khattab mengumumkan kepada rakyat tentang pengaturan kekayaan negara Islam. Beliau berkata : “Barang siapa ingin bertanya tentang al-Quran, maka datanglah pada Ubay bin Ka’ab. Barang siapa bertanya  tentang ilmu  faraidh (ilmu warisan), maka datanglah pada Zaid bin Tsabit. Dan barang siapa bertanya tentang harta, maka datanglah padaku. Karena  Allah SWT telah menjadikanku sebagai penjaga dan pembagi harta”.  Dalam sambutannya ketika diangkat menjadi khalifah, beliau mengumumkan kebijakan ekonomi yang akan dijalankannya. Di antara kebijakan-kebijakan Umar menggunakan dasar-dasar sebagai berikut :
1.      Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan  tidak mengambil hasil  kharaj atau harta  fai’  yang diberikan Allah kepada rakyat kecuali melalui mekanisme yang benar.
2.      Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya, dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutang.
3.      Negara tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan, maka dia memakai dengan jalan yang benar.
4.      Negara menggunakan kekayaan dengan benar.
Strategi yang dipakai oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab adalah dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan, karena khalifah Umar memiliki kemampuan dalam mengatur ekonomi. Umar adalah seorang pemimpin yang amanah, menjaga diri, berpengetahuan, pembaru umat dan keras terhadap kebatilan. Umar adalah seorang yang dipandang sebagai penggagas terbentuknya ilmu pemerintahan Islam, karena dia adalah seorang yang pertama kali memberikan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan baku yang terkait dengan hukum dan peradilan, bagaimana mengatur pemerintahan dengan membaginya ke beberapa daerah kecil untuk lebih mudah mengaturnya dan sebagainya.
Umar adalah seorang yang dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan hukum, selalu berpegang teguh pada al-Qur’an  sebagai perundang-undangan (dustur) utama dan pertama. Setiap pandangan hukum yang dikelurkannya selalu dibangun berdasarkan ketentuan tersebut, dan tidak pernah menyalahinya. Akan tetapi sebagian besar pemahaman yang dibentuk untuk menetapkan suatu hukum, oleh Umar bin Khattab adalah tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan masyarakat (umat), seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, tolong menolong, dan penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat, termasuk dalam kebijakan-kebijakan ekonomi.[11]
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan ekonomi pada masa Umar bin Khattab, diantaranya adalah sebagai berikut:
A.      Pendirian Baitul Mal
Dalam hal mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar men­dirikan beberapa departemen yang diang­gap perlu, seperti:
  1. Departemen Pelayanan Militer. De­par­te­men ini berfungsi untuk men­dis­tri­bu­si­kan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jum­lah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap pe­nerima dana.
  2. Departemen Kehakiman dan Eksekutif. De­partemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang di­terima harus mencukupi kebutuhan ke­luarganya agar terhindar dari praktik suap dan jum­lah gaji yang diberikan ha­rus sama dan ka­lau pun terjadi per­be­daan, hal itu tetap da­lam batas-batas ke­wa­jaran.
  3. Departemen Pendidikan dan Pengem­bangan Islam. Departemen ini men­dis­tri­busikan bantuan dana bagi penyebar dan pe­ngembang ajaran Islam beserta ke­luarganya, seperti guru dan juru dakwah.
  4. Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini menyimpan daftar bantuan untuk mereka fakir yang menerita dan miskin.[12]
B.       Kepemilikan Tanah
Sepanjang pemerintahan Umar banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Penaklukan  ini banyak menimbulkan masalah baru. Utamanya adalah berhubungan dengan kebijakan negara tentang kepemilikan tanah yang ditaklukkan. Dari sinilah muncul permasalahan bagaimana pembagiannya, diantara sahabat ada yang menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para pejuang, sementara yang lain menolak. Setelah mengalami perdebatan yang panjang, Umar memutuskan bahwa tanah masih bisa ditempati oleh penduduknya dengan memberlakukan tanah tersebut sebagai fa’i, dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang. Umar menetapkan peraturan yang berhubungan dengan tanah sebagai berikut:
  1. Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik orang muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
  2. Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperi itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah usyur.
  3. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah
  4. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh orang muslim diperlakukan sebagai tanah usyur
  5. Di Sawad (Irak), kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rofz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (jenis gandum) dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air . Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan
  6. Di Mesir menurut sebuah perjanjian amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga Irdab gandum, dua qist untuk minyak, cuka, dan maddu. Rancangan ini sudah disetujui oleh Khalifah
  7. Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslim. Beban perkepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah[13]
C.      Zakat
Kegiatan beternak sudah menjadi mata pencaharian sebagian umat muslim untuk menghidupi diri dengan memperdagangkannya. Di Syiria dan diberbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya banyak yang melakukan beternak kuda dan memperdagangkannya, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan bernilai 20.000 dirham dan orang-orang islam terlibat dalam perdagangan ini.
Karena maraknya perdagangan kuda, mereka menanyakan kepada Abu Ubaidah selaku Gubernur Syiria tentang kewajiban membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahukan bahwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya, akan tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Mereka kemudian mendatangi kembali Abu Ubaidah dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan Khalifah Umar menanggapinya dengan sebuah intruksi agar Gubernur manarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak saat itu, zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu dirham untuk setiap empat puluh dirham.[14]
D.      Usyur
Usyur dibebankan kepada suatau barang hanya sekali dalam setahun. Ini sesuai dengan intstruksi Umar kepada pegawainya agar tidak menarik usyur dua kali dalam setahun walaupun barang tersebut diperbaharui. Ini semua diinstruksikan setelah adanya komplain dari orang yang telah ditarik usyur dua kali atas kudanya.
Pos pengumpulan usyur terletak diberbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota. Menurut Saib bin Yazid, pengumpulan usyur dipasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaetean yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetap setelah beberapa waktu Umar menurunkan prosentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.[15]
E.       Sedeqah dari Non-Muslim
Pada masa Khalifah Umar tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Thaghlib yang keselurahan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka  membayar dua kali lipat dari yang dibayar oleh orang muslim. Bani Tanghlib merupakan suku Arab yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan Jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak jizyah dan malah membayar sedeqah. Nu’man  bin Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian merek menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedeqah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seoraaang anak tau memaksanya untuk mernerima kepercayaan mereka. mereka setuju dan menereima untuk membayar sedeqah ganda.[16]
F.       Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafa ar-Rasyidin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mistqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grain barley. Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari kebingungan , Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat dan satu mistqol adalah tujuh per sepuluh.[17]
Ada beberapa catatan dalam hal penerbitan mata uang pada masa Khalifah Umar yang penjelasannya sebagaimana berikut:
  1. Penerbitan uang pada masa Umar hanya terbatas pada dirham, sementara dinar tidak dicetak melainkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
  2. Percetakan dirham tidak dengan ukiran ala Arab murni, namun dicetak dengan ala Ajam dengan penambahan ungkapan-ungkpan Arab. Dan penting bahwa uang tersebut sesuai dengan tolak ukur syari’ah (enam daniq) dan dicetak dengan murni, selamat dari kecurangan  yang diderita oleh dirham pada masa pemerintahan Persia.[18]
G.      Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Khalifah Umar mengklasifikasikan pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu:
  1. Pendapatan zakat dan usyur. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mal pusat dan dibagikan kepada delan ashnaf seperti yang telah ditentukan oleh al-Quran.
  2. Pendapatan khums dan sedekah pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, diperjalanan menuju Damaskus Khalifah  Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, khalifah umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada oirang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
  3. Pendapatan kharaj, fa’i, jizyah, ‘usyur dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiunan dan dana bantuan serta menutupi biaya opraasional administrasi, kebutuhan militer dan sebagainya.
  4. Pendapatan lail-lain. pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaa anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[19]
Diantara alokasi pengeluaran dari harta baitul mal setelah mendistribusikan kepada orang yang berhak antara lain kepada orang-orang miskin yang lemah, anak-anak yatim, janda-janda dan orang-orang tua, dana pensiunan merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan. Khalifah Umar menempatkan dana pensiunan di tempat pertama dalam rangsum bulanan (azroq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiunan ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Beberapa orang yang berjasa diberi pensiunan kehormatan (shoraf) seperti yang diberikan kepada istri Rosulullah atau para janda dan anak pejuang yang telah wafat. Non-Muslim yang bersedia ikut dalam kemiliteran juga mendapat penghargaan serupa dan dana tersebut juga termasuk bagi pegawai sipil.
Sistem administrasi dana pensiunan dan rangsum dikelola dengan baik. Dalam setahun, dana pensiunan dibayarkan dua kali, sedangkan pemberian rangsum dilakukan secara bulanan. Administrasi dana pensiunan terdiri dari dua bagian, bagian pertama terdiri berisi catatan sensus dan jumlah yang telah menjadi hak setiap penerima dana dan bagian kedua berisi laporan pendapatan. Dana teersebut didistribusikan melalui seorang arif yang masing-masing bertanggung jawab atas sepuluh orang penerima dana.



BAB III
KESIMPULAN
Sebagai khalifah kedua, Umar bin Khattab sukses dalam mengatur pemerintahan dan ekonomi negara. Umar sebagai pemimpin khalifah berhasil  responif terhadap permasalahan-permasalahan dan kasus-kasus yang terdapat dalam masyarakat Islam terkhusus pada masalah perekonomian dengan mencetuskan beberapa kebijakan ekonomi yang tidak memihak dengan prinsip keadilan yang telah diatur dalam al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ sahabat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa Umar secara garis besar dihimpun dalam delapan bentuk, yaitu:
  1. Pembentukan baitul mal
  2. Kepemilikan tanah
  3. Zakat
  4. Usyur
  5. Mata uang
  6. Sodaqah orang non muslim
  7. Klasifikasi dan alokasi pendapatan negara
semua kebijakan yang diputuskan mengenahi ketujuh bentuk di atas, terbukti menjadi landasan awal bagi kemajuan pereode Umar diberbagai sektor ekonomi dengan ketegasan dan pengawasannya terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjajanto, Koes, Sejarah Kota-Kota Islam: Pengantar Perkuliahan  Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009
Al Haris, Jaribah Ibnu Ahmad, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab¸terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Jakarta Timur: Kholifa, 2006
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Lewis, Bernard, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dalam segi Geografi Sosial Budaya dan Peranan Umat Islam, terj. Said Jamhuri, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya: Anika Bahagia, 2010
Rahmawati, Naili, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khaththab, Fakultas Syari’ah Universitas Mataram
http://firdaustuble.wordpress.com/category/muamalat/. Diunduh pada tanggal 24 April 2012, pada pukul 20.39 Wib.


[1]. Mengenai Madina-alNabi ini lebih jelasnya dapat dilihat dalam Sejarah Kota-Kota Islam: Pengantar Perkuliahan oleh Koes Adiwidjajanto.
[2]. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 54.
[3].  Adiwarman Azwar Karim, yang dikutib dari M.A. Sabzwari, Economic and Fical Sistem During Khilafat E-Roshidah, dalam Journal of Islamic Bangking and Finance, Karachi, Vol. 2, No. 4, 1985
[4]. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: AMZAH, 2009), hal. 98.
[5]Kunyah adalah nama julukan atau gelar yang didahului oleh lafad Abu atau Ummu. Sedangkan laqob adalah nama gelar atau julukan yang menunjukkan arti memuji atau mencela.
[6]. Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dalam segi Geografi Sosial Budaya dan Peranan Umat Islam, terj. Said Jamhuri ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), hal. 56.
[7]. Jaribah Ibnu Ahmad Al Haris, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab¸terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta Timur: Kholifa, 2006), hlm. 19.
[8]. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab ( Surabaya: Anika Bahagia, 2010), hal. 60.
[9]. Iran dan Irak pada waktu itu adalah negara monarkhi yang menggunakan sistem ekonomi feodalisme yang membagi ekonomi menjadi dua kelas, yaitu kaya dan miskin. Kelas kaya terdiri dari raja, anggota  istana, para pejabat, para baron, tuan tanah, dan pemimpin agama. kelas ini menguasai segala sumber produksi yang ada. Sedangkan  kelas miskin terdiri dari petani, tukang-tukang, dan para penghasil barang, dan mereka ini tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi barang yanag mereka hasilkan sendiri. cara ini dimasksudkan untuk membantu kelompok kaya agar selalu kaya dengan mengeksploitasi kelompok orang-orang miskin. dan yang paling berkuasa dalam penerrapan sistem ini adalah para raja.
[10].  http://firdaustuble.wordpress.com/category/muamalat/
[11]. Naili Rahmawati, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khaththab (Fakultas Syari’ah Universitas Mataram), hal. 2-4.
[12].  Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 62.
[13]. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 68.
[14]. Ibid, hal. 69.
[15]. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 72.
[16]. Ibid, hal. 72.
[17]. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 73.  
[18].  http://firdaustuble.wordpress.com/category/muamalat/
[19]. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 74.

MADINA AL-NABI: “DEFINISI AL-QUR’AN”

BAB I
PENDAHULUAN
Suatu kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya suatu penegasan, yaitu bahwa setiap kota pasti mempunyai sejarah, di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan, bagaimana kegiatan kota, perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya).
Dalam mempelajari sejarah perkotaan ini Antariksa Sudikno menawarkan empat pendekatan. Pertama, secara umum ditekankan pada proses urbanisasi termasuk elemen demografi, struktur atau pendekatan sistem, dan aspek perilaku urbanisasi. Kedua, adalah urban biography merupakan tempat bersejarah yang istimewa, dan berhubungan dengan beberapa segi dari sebuah kota, seperti transportasi, pemerintah kota, perkembangan fisik, masyarakat dan organisasi sosial. Ketiga, memperlakukan beberapa tema, seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya dalam konteks sebuah kota. Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru dalam “reading” cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read” communities.
Secara garis besar, makalah ini akan mengambil pendekatan kedua, urban biography. Dengan pendekatan ini, maka penulis akan memaparkan kota madinah yang dikenal dengan “Madina al-Rasul” atau “Madina al-Nabi” sebagai kota ideal tipe. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan sejarahnya bahwa kota ini dibentuk oleh persamaan agama, yang menjadikan masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, namun untuk segala urusan, mulai dari urusan keagamaan, keilmuan sampai pada urusan-urusan sosial.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Madinah
Secara etimologi Madinah adalah kota. Sedangkan secara terminologi Madinah adalah sebuah kota, yang terletak sekitar 600 kilo meter di sebelah utara kota Makkah[1] yang dibangun oleh Nabi Muhammad sebagai kota bagi kaum muslimin setelah hijrah dari Makkah karena tekanan-tekanan dari kafir Qurais. Awalnya Madinah adalah kota Yastrib, kemudian setelah kedatangan Nabi Muhammad dan kaum muslim, kota ini berubah nama menjadi Madinah dan selanjutnya dikenal dengan “Madina al-Rasul” atau “Madina al-Nabi”.[2]
Madinah adalah kota yang terletak di gunung dataran tinggi, di persimpangan tiga lembah, yaitu lembah ‘Aql, lembah Aqiq dan lembah Himd, karena itu Madinah diidentikkan dengan kota hijau, terutama disekitar gunung. Dibagian barat terdapat gungung Haji. Dibarat laut gunung Salaa. Dibagian selatan gunung ‘Ir, dan gunung Uhud di bagian selatan.[3]
Redaksi lain mendefinisikan bahwa madinah adalah Bait al-Rasul, menurut Muslim H. Nasution, karena Rasulullah bertempat tinggal di Madinah sampai beliau wafat. Selain definisi diatas, Nasution juga menyebutnya dengan al-Iman, Dar al-Abrar ( tempat orang-orang baik dan mulia), al-Habibah ( yang dicintai ), al-Hijrah, al-Haram dan sebagainya.[4]
Madinah adalah satu-satunya kota yang diidentikkan dengan Nabi Muhammad, hal ini menjadi keistimewaan yang berarti bagi kota Madinah itu sendiri. Sudah barang tentu jika Madinah adalah kota yang identik dengan Nabi Muhammad, maka dapat dimengerti bahwa Madinah adalah kota Islam. Dalam mendefinisikan Madinah sebagai kota Islam ini, Koes Adjiwijajanto menyatakan bahwa kota Islam adalah kota yang diberi semangat wahyu dalam denyut nadi kehidupan dan kecerdasan dalam beradaptasi dengan lingkungan.[5] Senada dengan hal tersebut Dennis Lardner Camody dan John Tully Carmody menyatakan bahwa ada banyak ajaran sosial adalam wahyu al-Qur’an. Nabi Muhammad mengasumsikan bahwa manusia membentuk sebuah kesatuan. Dalam rencana kretaif Tuhan, manusia adalah satu bangsa.[6] Pernyataan itu merupakan gagasan dari pesan-pesan al-Qur’an, dan dalam perjalanan sejarahnya, hal tersebut baru bisa disaksikan ketika Nabi tinggal di Madinah.[7] Definisi diatas selaras dengan pendapat Al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadilah menyebutkan bahwa Madinah adalah kota yang dipimpin atas perpaduan rasionalitas dan spiritualitas.
Dalam al-Farabi: Abu al-Falsafah al-Islamiyah, yang dikutip Sulaiman Fayyad, Farabi juga menyatakan bahwa lahirnya kota utama didalamnya terjamin kebahagiaan. Dan kebahagiaan akan tercapai hanya dengan cara yang mulia. Kota utama harus memadukan keutamaan kepribadian, keutamaan fisik, keutamaan akal, keutamaan jiwa, keutamaan aklak, terutama dalam menegakkan keadilan, kedamaian dan menumpas kedzaliman.[8]
Dari berbagai pemaparan diatas sudah dapat dipahami bahwa Madinah sebagai kota Islam adalah kota yang dapat menjadikan wahyu ( al-Qur’an ) sebagai pedoman hidup, selain itu ia juga mempertalikan sesama umat manusia dalam perdamaian dan harmoni, agama juga sebagai represeentasi dalam kehidupan publik yang dapat menginspirasi kehidupan sehari-hari baik individu maupun kelompok masyarakat.[9]
B.       Sejarah Kota Madinah
Setelah mendapat tekanan-tekanan yang sangat berat dari kafir Qurais, Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad hijrah ke Yasrib. Maka dari sinilah Islam memulai babak baru, melabarkan sayap dakwah sampai membentuk sebuah pemerintahan. Nabi Muhammad sampai di Yasrib pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal I Hijriyah, bertepatan dengan 27 September 622 M.[10]
Ketika sampai di Madinah, langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga difungsikan sebagai sekolahan bagi orang-orang muslim untuk menerima pengajaran Islam, balai pertemuan, tempat mempersatukan berbagai kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan masa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan  dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk musyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.
Disamping itu, masjid juga berfungsi sebagai tempat tinggal orang Muhajirin yang miskin, yang datang ke Madinah tanpa memiliki harta, tidak mempunyai kerabat dan yang belum berkeluarga.[11]
Sebagaimana telah paparkan diatas, ketika Nabi Muhammad sampai di Yasrib, kota ini berubah namanya menjadi “Madina al-Nabi” atau “Madina al-Rasul”. Ini menandakan bahwa Nabi Muhammad telah diangkat oleh masyarakat, baik masyarakat setempat maupun pengikut Nabi dari Makkah sebagai pemimpin mereka. Dengan ini maka Rasulullah diharapkan dapat menciptakan kesatuan akidah, politik, sistem kehidupan diantara orang-orang muslim dan mengatur hubungan antara kaum muslimin dengan golongan non muslim. Selain itu beliau juga harus menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia serta mengatur kehidupan di Madinah dengan satu kesepakatan.
Maka dari sini Rasulullah membuat perjanjian dengan penduduk kaum muslim. Perjanjian ini berlaku kepada orang muslim Qurais, Yasrib dan orang-orang yang mengikuti mereka.[12] Selain perjanjian dengan internal kaum muslim, Rasulullah juga melakukan perjanjian dengan orang-orang Yahudi, perjanjian tersebut antara lain:
1.      Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang mu’min. Bagi orang orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku bagi orang-orang Yahudi selain Auf.
2.      Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri, begitu pula orang muslim.
3.      Mereka harus bahu membahu dalam menghadapi musuh yang hendak membatalkan perjanjian ini.
4.      Mareka harus saling manasehati, berbuat baik dan tidak boleh berbuat jahat.
5.      Tidak boleh berbuat jahat terhadap orang yang sudah terikat denga perjanjian ini.
6.      Wajib membantu oarang-orang yang di dzalimi.
7.      Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang mu’min selagi mereka terjun dalam kancah peperangan.
8.      Yasrib adalah kota yang dianggap suci oleh orang yang menyetujuai perjanjian ini.
9.      Jika terjadi sesuatu ataupun orang-orang yang mengakui perjanjian ini, yang dikawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah allah dan Muhammad Saw.
10.  Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak boleh ditolong.
11.  Mereka harus saling tolong menolong dalam orang-orang yang hendak menyerang Yasrib.
12.  Perjanjian ini tidak boleh dilanggar kecuali memang dia yang dzalim dan jahat.[13]
Dari perjanjian ini, jelas mereka menegaskan diri menjadi suatu komunitas yang disatukan oleh interes yang sama, yakni menjaga keutuhan dan keamanan kota dengan jaminan atas hak, dan kewajiban atas masyarakat yang menandatangai naskah perjanjian.[14]



C.      Madina al-Nabi: “Ideal Tipe”
Sejauh ini para ilmuan sepakat bahwa Madinah disebut dengan ”Madina al-Nabi” ( kota Nabi ), seperti telah dijelaskan diatas bahwa kota ini adalah kota yang dibangun Nabi Muhammad bersama kaum muslimin. Dari Madinah inilah, teokrasi Islam menyebar keseluruh penjuru semenanjung dan kemudian merambah ke sebagian besar daratan Asia Barat dan Afrika Utara. Komunitas Madinah saat itulah yang menjadi model bagi komunitas-komunitas muslim belakangan. Dalam waktu kehidupan yang singkat dan beranjak dari lingkungan yang tidak menjanjikan, Nabi Muhammad telah menginspirasikan terbentuknya sebuah bangsa yang tidak pernah bersatu sebelumnya, disebuah negeri yang hingga saaat itu hanyalah sebuah ungkapan geografis, membangun sebuah agama yang luas wilayahnya mengalahkan Nasrani dan Yahudi, serta diikuti oleh sejumlah besar manusia, meletakkan landasan bagi sebuah imperium yang dalam waktu singkat berhasil memperluas batas wilayahnya dan membangun berbagai kota yang kelak menjadi pusat-pusat peradaban dunia.[15]
Nabi Muhammad Saw membangun kota Madinah sebagai satu kesatuan negeri yang terdiri dari oase-oase yang selama bertahun-tahun saling berjauhan dan penduduknya saling bermusuhan. Atas jasa dan jerih payah beliau yang mengalihkan gugusan bukit-bukit Madinah menjadi pusat kegiatan sosio-kultural, sosio-politik dan militer[16], Madinah menjadi sebuah kota yang makmur dan harmonis. Pernyataan tersebut selaras dengan pernyataan Ernest Renan yang dikutip oleh Bernard Lewis bahwa Islam lahir sangat jelas, akar-akarnya tampak dipermukaan lapisan bumi, kehidupan pembangunannya jelas diketahui.[17]
Ungkapan Ernest Renan tersebut dapat dibulktikan dengan keberhasilan Rasulullah dalam membangun Madinah. Selain membangun Masjid sebagi pusat perkotaan, berdasarkan penjelasan Prof.Dr. Husein Mu’nis beliau juga membangun jalan yang menghubungkan masjid dengan Bukit Sal’a di sebelah barat, menjadikan lahan kosong disebelah tersebut menjadi tempat pemakaman umum, kemudian dibangun jalan yang menghubungkannya dengan masjid. Selanjutnya dibangun lagi jalan utama yang menghubungkan Quba di sebelah selatan dan oase Suneh di sebelah utara. Tatkala penduduk membangun rumah di sepanjang dua sisi jalan-jalan utama tersebut, Madinah mulai menampakkan diri sebagai suatu kota yang tertata rapi.
Dalam perjanjian sebelumnya disepakati bahwa Rasulullah berhak sepenuhnya atas setiap tanah kosong di Madinah. Oleh karena itu, beliau membagi-bagikan tanah kepada sahabat yang membutuhkan dengan syarat harus membangun rumah atau menggarapnya sebagai lahan pertanian atau peternakan. Dengan mengfungsionalkan tanah-tanah kosong, maka antara satu oase dengan lainnya sudah saling bersambung.  Selain itu ketika nyata bahwa salah satu jalan utama melintasi telaga Muzainab dan menghambat kelancaran lalu lintas Madinah, maka beliau memerintahkan pembangunan jembatan di atasnya. Tidak hanya memerintahkan kepada masyarakat Madinah, namun Rasulullah juga turun langsung dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Untuk menertibkan keadaan kota, masyarakat Madinah tidak dibenarkan ada pengangguran. Rasulullah sangat tidak senang kepada orang-orang pemalas bahkan benci kepada pengemis kecuali jika benar-benar tidak mampu bekerja karena cacat tubuh. Beliau mensyaratkan agar para pengemis tidak berkeliaran di tempat-tempat umum, biar masyarakatlah yang mengantarkan makanan kepada mereka.[18]
Gambaran kota Madinah:
Description: I:\rahmat titip\madinah2.jpg









 
BAB III
KESIMPULAN

Ketika dakwah Rasulullah di Makkah sudah dianggap tidak aman karena ancaman dari kafir Qurais, maka Allah mengutus Nabi Muhammad hijrah ke Yasrib. Dari sinilah Islam memulai babak barunya, melebarkan sayap dakwah sampai membentuk sebuah pemerintahan. Rasulullah mulai membangun Madinah dengan membangun masjid. Masjid inilah sebagai sentral dari semua permasalahan masyarakat.
Sepanjang perjalanan sejarah, setelah Rasulullah dan kaum Muhajirin datang ke Yasrib, kota ini berubah namanya menjadi “Madina al-Nabi”. Sesuai dengan sebutannya, Madinah bernafaskan kalam-kalam Allah dan diilhami dengan hadist dan sunnah Nabi Muhammad, gagasan ini adalah wujud dari pesan-pesan al-Qur’an. Dalam al-Madinah al-Fadilah Al-Farabi menyebutkan bahwa Madinah adalah kota yang dipimpin atas perpaduan rasionalitas dan spiritualitas. Prestasi-prestasi yang telah dicapai Rasulullah di Madinah inilah, menurut Hitti yang menjadi model bagi kota-kota Islam setelahnya.
Pembangunan pertama kali yang dilakukan Rasulullah ketika sampai di Madinah adalah masjid, selain menjadi tempat ibadah, masjid juga digunakan sebagai pendidikan kaum muslimin, tempat musyawarah hingga pusat pemerintahan. Selain membangun masjid, Rasulullah juga membangun jembatan, jalan, menjadikan tempat kosong disebelah timur sebagai kuburan. Disamping membangun bentuk fisik perkotaan, beliau juga membangun moral masyarakat dengan pesan-pesan Ilahi, memberi teladan kepada masyarakat dengan cara terjun langsung pada kegiatan-kegiatan tersebut. Memberikan tanah kosong terhadap terhadap kaum muslimin yang tidak mampu.



DAFTAR PUSTAKA

Kandu, Amrullah, Ensiklopedi Dunia Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Rauf, Imam Feisal Abdul, Seruan Azan Dari Puing WTC: Dakwah Islam di Jantung Amerika, Terj. Dina Mardina dan M. Rudi Atmok, Bandung: Mizan, 2007
Misrawi, Zuhairi, MADINAH:Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad Saw,  Jakarta: Buku Kompas,  2009.
Nasution, Muslim H, Tapak Sejarah Seputar Makkah dan Madinah, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Adjiwijajanto, Koes, Sejarah Kota-kota Islam: Pengantar Perkuliahan, Jurusan SPI, Fakultas Adab, 2009/2010
Dennis Lardner Camody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci: Memahami Spiritualitas Bhuda, Konfisius, Yesus, Muhammad, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000
Rahman al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010
Hitty, Pillip K. History of The Arabs, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010
Lewis, Bernard, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dari Segi Sosial Budaya dan Peranan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1998
http://sri-murni.blogspot.com/2009/12/sirah-nabawiyah-3-tentang-nabi-sebagai.html



[1] Amrullah Kandu, Ensiklopedi Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 434.
[2]. Imam Feisal Abdul Rauf, Seruan Azan Dari Puing WTC: Dakwah Islam di Jantung Amerika ( Bandung: Mizan, 2007), hal. 221. Diterjemahkan dari buku yang berjudul “What’s Right With Islam: A New Vision for Muslim and the West” oleh Dina Mardina dan M. Rudi Atmoko
[3]. Zuhairi Misrawi, MADINAH:Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad Saw ( Jakarta: Buku Kompas,  2009), hal. 2.
[4]. Muslim H. Nasution, Tapak Sejarah Seputar Makkah dan Madinah (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 65-67.
[5]. Koes Adjiwijajanto, Sejarah Kota-kota Islam: Pengantar Perkuliahan ( Jurusan SPI, Fakultas Adab, 2009/2010), hal. 4.
[6].  Dennis Lardner Camody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci: Memahami Spiritualitas Bhuda, Konfisius, Yesus, Muhammad ( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000), hal. 193. Diterjemahkan oleh Tri Bhudi Satrio dari buku In The Part of The Masters.
[7]. Ibid, hal. 4.
[8]. Zuhairi Misrawi, MADINAH:Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad Saw, hal. 3.
[9]. Koes Adjiwijajanto, hal. 4.
[10]. Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), hal. 205. Buku ini diterjemahkan oleh Katsur Suhardi dari Ar-Rahiqul Makthum, Bahtsun Fi al-Sirah al-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhali al-Shalati wa al-Salam, terbitan Darus Salam, Riyad, 1414 H.
[11]. Lihat  Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, hal. 205-206.
[12]. Diantara perjanjian dengan kaum muslim itu antara lain:
1.       Mereka adalah umat yang satu diluar golongan yang lain.
2.       Muhajirin dari Qurais dengan adat kebiasaan yang berlaku diantara mereka harus bekerja sama dengan menerima atau membayar suatu tebusan. Sesama orang mu’min harus menebus oranga yang ditawan dengan cara ma’ruf dan adil. Setiap kabilah dari Anshar dengan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka harus menebus tawanan mereka sendiri dan setiap golongan diantara orang-orang mu’min harus menebus tawana dengan cara ma’ruf dan adil.
Dan selanjutnya. Dalam perjanjian ini terdapat 16 poin. Lebih lanjutnya bisa dilihat dalam  Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, hal. 208.
[13]. Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, hal. 214.
[14].  Koes Adjiwijajanto, hal. 4.
[15]. Pillip K. Hitty, History of The Arabs ( Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 152-153.
[16]. Cuplikan dari tulisan Prof.Dr. Husein Mu’nis yang berjudul “Al-Sirah Al-Nabawiyah. Upaya reformasi sejarah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w” tentang Nabi sebagai arsitek kota Madinah. yang terjemahannya diterbitkan oleh Penerbit Adigna Media Utama. Jakarta, tahun terbit cetakan pertama adalah 1999.  Lihat: : http://sri-murni.blogspot.com/2009/12/sirah-nabawiyah-3-tentang-nabi-sebagai.html
[17]Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dari Segi Sosial Budaya dan Peranan Islam ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1998), hal. 19. Diterjemahkan dari The Arabs in History oleh Drs. Said Jamhuri.
[18].  Lihat: : http://sri-murni.blogspot.com/2009/12/sirah-nabawiyah-3-tentang-nabi-sebagai.html