BAB II
PEMBAHASAN
A. KEMAJUAN-KEMAJUAN DAN PERKEBANGAN-PERKEMBANGAN PADA MASA DINASTI FATIMIYAH
Setelah mengusai Mesir selama empat tahun (antara tahun 969 – 973 Masehi), Dinasti Fatimiyah telah mengalami masa kejayaan, yang ditandai dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke Kairo pada tahun 973 Masehi/ 362 Hijriyah. ) Farhad Daftary melukiskan sebagai “The Fatimid Period is One the Documented Periods in Islamic History.” ) Zaman kejayaan ini ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang antara lain bidang politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, administrasi pemerintahan, militer, arsitektur, seni dan sebagainya.[1] Di bawah pemerintahan Fatimiyah inilah Mesir dan Kairo menglami kemakmuran ekonomi dan vitalitas cultural yang mengungguli Irak kontemporer dan Baghdat.[2]
1. PERKEMBANGAN ADMINISTRASI DAN MILITER
Administrasi kepemerintahan Dinasti Fatimiyah secara garis besar tidak berbeda dengan administrasi Dinasti Abbasiyah, sekalipun pada masa ini muncul bebrapa jabatan yang berbeda. Khalifah menjabat sebagai kepala Negara baik urusan keduniaan maupun urusan spiritual. Khalifah berwenang mengangkat dan memberhentikan jabatan-jabatan di bawahnya.
Kementerian agama (wasir) terbagi menjadi dua kelompok, pertama adalah para ahli pedang dan kedua, para ahli pena. Kelompok pertama menduduki urusan militer, keamanan dan pengawal pribadi khalifah. Sedangkan kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementerian sebagai berikut: (1) hakim, (2) pejabat pendidikan (Dar al-Hikmah), (3) inspektur pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan (4) pejabat keuangan (5) pembantu istana (6) petugas pembaca Al-Qur’an.[3]
Bidang kemeliteran dalam Dinasti Fatimiyah terdapat tiga jabatan pokok, yaiitu: (1) amir yang terdiri pejabat-pejabat tinggi militer dan pegawai khalifah, (2) petugas keamanan dan (3) berbagai resimen. Pusat armada laut dibangun di Alexandria, Damika, Ascaton dan beberapa di pelabuhan Syiria, masing-masing di kepalai seorang Admiral tinggi.[4]
2. KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN
Ibnu Killis adalah seorang tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada masa pemerintahan Fatimiyah di Mesir, ia mendirikan sebuah universitas dan menghabiskan ribuan dinar untuk membiayai setiap bulannya, di bawah kekuasaannya lahirlah seorang dokter yang terkenal yang bernama Muhammad al-Tamim, ia lahir di Yerussalem dan pindah ke Mesir sekitar tahun 970.[5] Salah satu hal yang terpenting yang dibangun Dinasti Fatimiyah adalah pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau Dar al-Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim sebagai pusat pembalajaran dan penyebaran ajaran Syi’ah ekstrim. Hakim membarikan dana 257 dinar ang digunakan untuk menyalin naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya. Gedung ini dibangun berdekatan dengan istana kerajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan, kurikulumnya meliputi kajian tentang ilmu-ilmu keislaman, astronomi dan kedokteran.[6]
Kebijakan pemerintahan Hakim ini membawa dampak positif bagi Dinasti Fatimiyah, hal ini terbukti dengan lahirnya astonom paling hebat yang pernah dilahirkan Mesir dan Abu Ali al-Hasan (bahasa latinnya Alhasen). Juga ibn Haitsam yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik, ia menulis tidak kurang dari seratus kitab, yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran, karya terbesarnya yaitu Kitab al-Munazhir mengenai ilmu optik.[7] Ilmu lain yang berkembang salah satunya yaitu ilmu Sejarah, melahirkan beberapa tokoh seperti Abu Hasan Ali Syabasyti, Abu Shaleh Armani, Muhammad bin Abu Qasim Al Masbaji, Usamah bin Munqiz.[8]
3. PERKEMBANGAN SENI DAN ARSITEKTUR
Selain ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, Dinasti ini juga diwarnai dengan munculnya sejumlah karya penting dalam bidang seni dan arsitektur. dinasti Fatimiyah dikenal sebagai produsen keramik. Detailnya bernama keramik Lusterware, yakni keramik dengan lapisan metalik yang memberi efek warna. Pada masa itu, keramik atau porselin jenis itu diproduksi di Mesir.[9] Seni keramik pada masa Dinasti Fatimiyah mengikuti pola-pola Iran, pola Iran ini banyak digunakan dalam produk tekstil dengan motif binatang. Seni penjilidan buku juga tidak kalah penting, menurut Pillip. K. Hitti, seni penjilidan buku di dunia Islam yang paling pertama dikenal datang dari Mesir sekitar abad kedelapan atau Sembilan, teknik dan dekorasi yang indah dengan daya tarik seni penjilidan koptik serta menjadi patokan keahlian menjilid.[10]
Berbagai macam bangunan megah dengan gaya arsitektur yang tinggi, menggambarkan bahwa Fatimiyah mengalami kemajuan dalam bidang arsitektur, hal ini dibuktikan dengan masjid al-Azhar yang didirikan oleh Jawhar pada tahun 972, masih bertahan hingga saat ini. Masjid al-Hakim yang dibangun oleh ayahnya pada 990, yang selesai sekitar tahun 1012, masjid ini mengikuti rancangan yang sama dengan masjid al-Azhar dan mempunyai kopula dari tembok yang menyokong sebuah tambur besar berbentuk segi delapan diatas ruangan salat. Masjid al-Aqmar dengan bangunan cirikhas arsitektur Islam yaitu ceruk (muqarnas) stalaktit. Tiang masjid ini dan masjid Shalih ibn Ruzzik (sekitar 1160) menampilkan disain kaligrafi bergaya kufi yang kubus serta pintu-pintu gerbang besar yang megah yang masih bertahan hingga saat ini, antara lain: bab zawilah, bab al-Nashr dan bab al-Futuh.[11]
B. RUNTUHNYA DINASTI FATIMIYAH DAN SEBAB-SEBABNYA
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen. Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn Abdûn. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya Perang Salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret Daulah Fatimiyah dalam konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hâkim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.[12] Al-Hâkim kemudian digantikan oleh az-Zâhir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Khalifah ini mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya terdapat Kuburan Suci.[13] yang dihancurkan oleh al-Hâkim.
Setelah meninggal az-Zâhir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia 11 tahun, yaitu al-Mustanshir. Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh mentri-mentri).[14] Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian negara.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Setelah al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan serius dalam tubuh Ismailiah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada di belakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh.
Setelah al-Musta’li wafat, al-Amin, anak al-Musta’li yang baru berumur lima tahun diangkat sebagai khalifah. Al-Amin kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Ketika ia meninggal kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Al-Hafidz digantikan oleh anaknya, az-Zhafir (1149-1154) yang diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda, Merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir. Kemudian, kekuasaannya direbut wazirnya, Ibnu Salar, yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-Adil.[15] Ibnu Sallar kemudian dibunuh oleh istri cucunya, Nashr ibnu Abbas[16] dan az-Zafir juga terbunuh secara misterius.
Kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zhafir yang baru berusia empat tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dn digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Kehidupan masyarakat sangat sulit, bencana kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi, akibatnya pajak tinggi dan pemerasan umum terjadi untuk memuaskan kebutuhan khalifah serta angkatan bersenjatanya yang rakus. Keadaan semakin parah dengan datangnya pasukan perang salib dan serangan balasan dari Almaric, raja Yerussalem, yang pada 1167 telah berdiri di pintu gerbang Kairo. Keadaan ini diakhiri oleh Shalal al-Din menurunkan khalifah Fatimiyah terakir dari tahtanya pada tahun 1171.[17] kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.[18]
Secara garis besar, sebab-sebab kehancuran Dinasti Fatimiyah antara lain:
v Munculnya perebutan kekuasaan dan pengaruh tingkat elit birokrasi. Hal ini di sebabkan karena kelemahan khalifah dan kuatnya orang-orang disekitar khalifah, bahkan merekalah pengendali pemerintahan sebenarnya.
v Perpecahan dalam militer, perpecahan ini karena berebut pengaruh dan lemahnya penguasaan atas beberapa fiksi militer oleh khalifah.
v Perpecahan internal kalangan Ismailiyah, sepeninggalan al-Muntasir, timbulnya keretakan Ismailiyah karena cabang-cabang radikal politik, eskatologis, mesianik dan missionaris dari gerakan Ismailiyah terbentuk cabang-cabang sendiri.[19]
[2]. G.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 71
[3]. Samsul Munir,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah, 2009), hal. 264
[4]. Ibid, hal. 264-265
[5]. Pillip. K. Hitti, History of the Arabs, hal. 800
[6]. Ibid, hal. 801
[7]. Ibid, hal. 802
[9].http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2583997536258049771
[10]. Pillip. K. Hitti, History of the Arabs, hal. 806
[11]. Ibid, hal. 804-805
[12]. http://dwisri.multiply.com/journal/item/9/DINASTI_FATIMIYAH .
[13]. Pillip. K. Hitti, History of the Arabs, hal. 793
[14]. http://dwisri.multiply.com/journal/item/9/DINASTI_FATIMIYAH.
[15]. Pillip. K. Hitti, History of the Arabs, hal. 796
[16]. Ibid, hal. 796
[17]. Ibid, hal. 796
[18]. http://dwisri.multiply.com/journal/item/9/DINASTI_FATIMIYAH .
[19]. Drs. H Taufiqurrahman, M.Ag, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika Press,2003), hal. 158-159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar