JAS MERAH: "Jangan Lupakan Sejarah"
Rabu, 20 Juni 2012
Sabtu, 05 Mei 2012
SEJARAH EKONOMI
ISLAM PADA MASA UMAR BIN KHATTAB ( 13-23 H/634-644 M)
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang rahmat lil ‘alamin tidak hanya memberikan
perhatian kepada masalah ‘ubudiyah,
tetapi juga memberikan perhatian yang tinggi terhadap masalah mu‘amalah. Banyaknya
ayat al-Qur’an, yang menjelaskan, bahkan memberikan nilai yang sangat tinggi
dan positif secara hukum terhadap bidang tersebut, khususnya yang berkaitan
dengan aktifitas ekonomi. Hal ini dikarenakan, hasil aktifitas ekonomi dalam
pandangan ajaran Islam mempunyai kaitan erat dengan rahmat Allah SWT yang
dilimpahkan kepada umat manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa Pemikiran
tentang ekonomi Islam telah ada sejak Nabi Muhammad SAW, hal ini dapat kita
ketahui dari terbentuknya kota Madinah atau yang terkenal dengan Madina al-Nabi[1].
Seiring berjalannya waktu Agama Islam berkembang dengan cepat, permasalahan
yang dihadapipun semakin kompleks, maka umat Islam dituntut untuk melakukan
ijtihad baru demi terwujudnya perekonomian Islam yang lebih maju.
Semenjak Rasulullah wafat, pemerintahan
Islam dikendalikan oleh Abu Bakar as-Siddiq. Dalam masa pemerintahannya, ia
menghadapi banyak permasalahan dari kelompok murtad, nabi palsu dan pembangkang
zakat.[2]
Tidak terlalu banyak yang dicapai pada masanya, kebanyakan ia meneruskan kebijakan-kebijakan
pada masa Nabi Muhammad.
Ketika Islam dibawah kendali Umar
bin Khattab, ia mengalami perkembangan yang sangat cepat, Umar
bin Khattab mewujudkan iklim politik yang bagus, keteguhan prinsip,
kecermelangan perencanaan; meletakkan berbagai sistem ekonomi dan manajemen
yang penting; menggambarkan garis-garis penaklukan dengan banyak melakukan
ekspansi sehingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah Romawi
(Syiria, Palistina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia termasuk
Irak dengan pengaturan yang sitematis atas daerah-daerah yang ditaklukkan,
menegakkan keadilan disetiap daerah dan terhadap ssemua manusia, melakukan
koreksi terhadap pejabat serta memperluas permusyawaratan. Atas keberhasilannya
tersebut, orang-orang Barat meenjuluki Umar sebagai The Saint Paul of Islam[3]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Umar bin Khattab
Umar bin Khattab nama lengkapnya
adalah Umar bin Khattab bin Nufail.[4] Umar
bin Khattab dilahirkan dengan nasab ayahnya bernama Umar bin Khattab bin Nufail
bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin
Lu’ayyi bin Gholib Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Sedangkan dari nasab ibunya adalah
Hantamah binti Hasyim bin Mughirah, dari Bani Makhzumi. Hantamah adalah sepupu
dari Abu Jahal. Umar bin Khattab memiliki kunyah Abu Hafas dan laqob
Al Faruq[5]
Umar adalah sosok tinggi besar, lebat bulu badannya, rambut
teruarai dari kedua sisi kepalanya, berkulit putih kemerah-merahan, berjenggot
lebat, berkumis tebal dan menyemir ubannya dengan hana’ (pohon sejenis
pacar). Disamping sifat-sifat fisik tersebut, Umar juga memiliki
sifat-sifat kejiwaan yang luhur, antara lain: adil, tanggung jawab, keras dalam
menyelesaikan berbagai masalah dan menghadapinya dengan tegar dan penuh
keteguhan baik masalah pribadi, negara dan agama, santun terhadap rakyat dan
sangat berwibawa, disegani, tajam firasatn ya,
luas ilmunya, cerdas pemahamannya, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin
dijelaskan dalam kajian ini.
Mengenai perangai luhur Umar bin Khattab ini dapat dilihat
dalam suatu riwayat yang dikatakan oleh At-Thabari dalam Tarikh ar-Rasul
wal-Muluk. Suatu ketika Umar berkata kepada Salman “termasuk raja atau
khalifah saya ini?” Salman menjawab: “jika anda memungut iuran kurang lebih
dari satu dirham untuk tanah-tanah milik muslimin dan diberlakukan tidek
menurut hukum yang berlaku, maka anda adalah seorang raja, bukan khalif. Maka
melelehlah air mata Umar.”[6]
Ia menyatakan keislamannya pada
tahun ke-6 dari kenabian. Keislamannya memiliki pengaruh besar bagi kaum
muslimin. Abdullah bin Mas’ud Rodliyallahu ‘Anhu berkata, “Kami selalu
sangat mulia sejak Umar masuk Islam.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
Ibnu Mas’ud berkata,”Sesungguhnya keislaman Umar adalah penaklukan, hijrahnya
kemenangan, dan kepemimpinannya rahmat[7]
Khalifah Umar memerintah selama
sepuluh tahun lebih enam bulan empat hari. Kematiannya sangat tragis, seorang
budak bangsa Persia bernama Feroz atau Abu lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang
dengan tikaman pisau tajam kearah khalifah yang akan melaksanakan shalat subuh yang
ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi. Ia terluka parah. Dalam
pembaringannya ia mengangkat komisi pemilih yang akan memilih penerus pemimpin
Islam. Ia meninggal pada 1 Muharram 23 H/644 M, tepat tiga hari setelah
peristiwa penikamannya.[8]
B. Kondisi Perekonomian Pada Masa Umar bin Khattab
Pemerintahan Umar bin Khattab dikenal dengan
pemerintahan yang bersih ditopang dengan karakteristik pribadi yang tegas dan
berwibawa sehingga terbentuk kondisi kenegaraan yang damai, kesejahteraan
rakyat semakin baik daripada masa sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kondisi perekonomian dan pendapatan masyarakat Arab pada masa itu dapat digolongkan
pada taaraf perekonomian yang merata. Kekayaan dan kemakmuran tersebut mereka
dapatkan dari harta rampasan perang (ghonimah), pajak tanah (kharaj),
pajak perdagangan/bea cukai (usyur), zakat, pajak tanggungan (jizyah).
Pada masa ini, Umar bin Khattab membentangkan garis
perbedaan mendasar pengelolaan ekonomi dengan kerajaan lainnya, seperti sistem fiodalisme
yang diterapkan di Iran dan Irak.[9]
Dengan menetapkan perekonomian yang lebih Islami dan tidak mengenal
istilah kesewenang-wenangan dari para raja. Umar bin Khattab mengembangakan
prinsip ekonomi bersama yang harus dinikmati oleh setiap orang berdasarkan
prinsip al-Qur’an dan Sunnah Rasul tentang keadilan dan keseimbangan yang tidak
memberi hak perseorangan secara berlebihan, tidak menghembuskan rasa benci pada
kelas yang berbeda seperti halnya yang belakangan ini sering terjadi dalam
mekanisme dan sistem penerapan ekonomi Sosialisme. Beliau telah
memanfaatkan semua faktor produksi, tanah, tenaga kerja, modal yang mencegah
terjadinya dominasi suatu kelompok kecil. Jika hal demikian terjadi, maka akan membawa
kepada stagnasi ekonomi.[10]
C.
Kebijakan
Ekonomi Umar bin Khattab
Ketika dilantik menjadi khalifah oleh Rasulullah,
Umar bin Khattab mengumumkan kepada
rakyat tentang pengaturan kekayaan negara Islam. Beliau berkata : “Barang siapa
ingin bertanya tentang al-Quran, maka datanglah pada Ubay bin Ka’ab. Barang
siapa bertanya tentang ilmu faraidh (ilmu warisan), maka datanglah pada
Zaid bin Tsabit. Dan barang siapa bertanya tentang harta, maka datanglah
padaku. Karena Allah SWT telah
menjadikanku sebagai penjaga dan pembagi harta”. Dalam sambutannya ketika diangkat menjadi
khalifah, beliau mengumumkan kebijakan ekonomi yang akan dijalankannya. Di
antara kebijakan-kebijakan Umar menggunakan dasar-dasar sebagai berikut :
1.
Negara Islam mengambil kekayaan umum
dengan benar, dan tidak mengambil
hasil kharaj atau harta fai’
yang diberikan Allah kepada rakyat kecuali melalui mekanisme yang benar.
2.
Negara memberikan hak atas kekayaan
umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya, dan negara
menambahkan subsidi serta menutup hutang.
3.
Negara tidak menerima harta kekayaan
dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali
seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat
bagian apapun. Kalau dia membutuhkan, maka dia memakai dengan jalan yang benar.
4.
Negara menggunakan kekayaan dengan
benar.
Strategi yang dipakai oleh Amirul Mukminin Umar bin
Khaththab adalah dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping
urusan pemerintahan, karena khalifah Umar memiliki kemampuan dalam mengatur
ekonomi. Umar adalah seorang pemimpin yang amanah, menjaga diri,
berpengetahuan, pembaru umat dan keras terhadap kebatilan. Umar adalah seorang
yang dipandang sebagai penggagas terbentuknya ilmu pemerintahan Islam, karena
dia adalah seorang yang pertama kali memberikan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan
baku yang terkait dengan hukum dan peradilan, bagaimana mengatur pemerintahan
dengan membaginya ke beberapa daerah kecil untuk lebih mudah mengaturnya dan
sebagainya.
Umar adalah seorang yang dalam memutuskan sesuatu yang
terkait dengan hukum, selalu berpegang teguh pada al-Qur’an sebagai perundang-undangan (dustur) utama dan
pertama. Setiap pandangan hukum yang dikelurkannya selalu dibangun berdasarkan
ketentuan tersebut, dan tidak pernah menyalahinya. Akan tetapi sebagian besar
pemahaman yang dibentuk untuk menetapkan suatu hukum, oleh Umar bin Khattab
adalah tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan masyarakat (umat), seperti
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, tolong menolong, dan
penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat, termasuk dalam kebijakan-kebijakan
ekonomi.[11]
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan
dengan masalah kebijakan ekonomi pada masa Umar bin Khattab, diantaranya adalah
sebagai berikut:
A. Pendirian Baitul Mal
Dalam hal mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah
Umar mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
- Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima dana.
- Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Departemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan keluarganya agar terhindar dari praktik suap dan jumlah gaji yang diberikan harus sama dan kalau pun terjadi perbedaan, hal itu tetap dalam batas-batas kewajaran.
- Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.
- Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini menyimpan daftar bantuan untuk mereka fakir yang menerita dan miskin.[12]
B. Kepemilikan Tanah
Sepanjang pemerintahan Umar banyak daerah yang
ditaklukkan melalui perjanjian damai. Penaklukan ini banyak menimbulkan
masalah baru. Utamanya adalah berhubungan dengan kebijakan negara tentang
kepemilikan tanah yang ditaklukkan. Dari sinilah muncul permasalahan bagaimana
pembagiannya, diantara sahabat ada yang menuntut agar kekayaan tersebut
didistribusikan kepada para pejuang, sementara yang lain menolak. Setelah
mengalami perdebatan yang panjang, Umar memutuskan bahwa tanah masih bisa
ditempati oleh penduduknya dengan memberlakukan tanah tersebut sebagai fa’i,
dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang. Umar
menetapkan peraturan yang berhubungan dengan tanah sebagai berikut:
- Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik orang muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
- Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperi itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah usyur.
- Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah
- Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh orang muslim diperlakukan sebagai tanah usyur
- Di Sawad (Irak), kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rofz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (jenis gandum) dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air . Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan
- Di Mesir menurut sebuah perjanjian amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga Irdab gandum, dua qist untuk minyak, cuka, dan maddu. Rancangan ini sudah disetujui oleh Khalifah
- Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslim. Beban perkepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah[13]
C. Zakat
Kegiatan beternak sudah menjadi mata pencaharian
sebagian umat muslim untuk menghidupi diri dengan memperdagangkannya. Di Syiria
dan diberbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya banyak yang melakukan beternak
kuda dan memperdagangkannya, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab
Taghlabi diperkirakan bernilai 20.000 dirham dan orang-orang islam terlibat
dalam perdagangan ini.
Karena maraknya perdagangan kuda, mereka menanyakan
kepada Abu Ubaidah selaku Gubernur Syiria tentang kewajiban membayar zakat kuda
dan budak. Gubernur memberitahukan bahwa tidak ada zakat atas keduanya.
Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat
atas keduanya, akan tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Mereka
kemudian mendatangi kembali Abu Ubaidah dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya
Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan Khalifah Umar menanggapinya dengan
sebuah intruksi agar Gubernur manarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya
kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak saat itu, zakat kuda
ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu
dirham untuk setiap empat puluh dirham.[14]
D. Usyur
Usyur dibebankan kepada suatau barang hanya
sekali dalam setahun. Ini sesuai dengan intstruksi Umar kepada pegawainya agar
tidak menarik usyur dua kali dalam setahun walaupun barang tersebut
diperbaharui. Ini semua diinstruksikan setelah adanya komplain dari orang yang
telah ditarik usyur dua kali atas kudanya.
Pos pengumpulan usyur terletak diberbagai
tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota. Menurut Saib bin Yazid,
pengumpulan usyur dipasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaetean yang
berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetap setelah
beberapa waktu Umar menurunkan prosentasenya menjadi 5% untuk minyak dan
gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.[15]
E. Sedeqah dari Non-Muslim
Pada masa Khalifah Umar tidak ada ahli kitab yang
membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Thaghlib yang
keselurahan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua
kali lipat dari yang dibayar oleh orang muslim. Bani Tanghlib merupakan suku
Arab yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan Jizyah kepada mereka,
tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak jizyah dan malah membayar
sedeqah. Nu’man bin Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan
mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti
musuh dan seharusnya keberanian merek menjadi aset negara. Umar pun memanggil
mereka dan menggandakan sedeqah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka
setuju untuk tidak membaptis seoraaang anak tau memaksanya untuk mernerima
kepercayaan mereka. mereka setuju dan menereima untuk membayar sedeqah ganda.[16]
F. Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafa ar-Rasyidin
mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar,
sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan
satu mistqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grain
barley. Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari kebingungan , Umar
menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat dan satu mistqol adalah
tujuh per sepuluh.[17]
Ada beberapa catatan dalam hal penerbitan mata uang
pada masa Khalifah Umar yang penjelasannya sebagaimana berikut:
- Penerbitan uang pada masa Umar hanya terbatas pada dirham, sementara dinar tidak dicetak melainkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
- Percetakan dirham tidak dengan ukiran ala Arab murni, namun dicetak dengan ala Ajam dengan penambahan ungkapan-ungkpan Arab. Dan penting bahwa uang tersebut sesuai dengan tolak ukur syari’ah (enam daniq) dan dicetak dengan murni, selamat dari kecurangan yang diderita oleh dirham pada masa pemerintahan Persia.[18]
G. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Khalifah Umar mengklasifikasikan pendapatan negara
menjadi empat bagian, yaitu:
- Pendapatan zakat dan usyur. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mal pusat dan dibagikan kepada delan ashnaf seperti yang telah ditentukan oleh al-Quran.
- Pendapatan khums dan sedekah pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, diperjalanan menuju Damaskus Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, khalifah umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada oirang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
- Pendapatan kharaj, fa’i, jizyah, ‘usyur dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiunan dan dana bantuan serta menutupi biaya opraasional administrasi, kebutuhan militer dan sebagainya.
- Pendapatan lail-lain. pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaa anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[19]
Diantara
alokasi pengeluaran dari harta baitul mal setelah mendistribusikan kepada orang
yang berhak antara lain kepada orang-orang miskin yang lemah, anak-anak yatim,
janda-janda dan orang-orang tua, dana pensiunan merupakan pengeluaran negara
yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan
dana pembangunan. Khalifah Umar menempatkan dana pensiunan di tempat pertama
dalam rangsum bulanan (azroq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada
tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiunan
ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran.
Beberapa orang yang berjasa diberi pensiunan kehormatan (shoraf)
seperti yang diberikan kepada istri Rosulullah atau para janda dan anak pejuang
yang telah wafat. Non-Muslim yang bersedia ikut dalam kemiliteran juga mendapat
penghargaan serupa dan dana tersebut juga termasuk bagi pegawai sipil.
Sistem
administrasi dana pensiunan dan rangsum dikelola dengan baik. Dalam setahun,
dana pensiunan dibayarkan dua kali, sedangkan pemberian rangsum dilakukan
secara bulanan. Administrasi dana pensiunan terdiri dari dua bagian, bagian
pertama terdiri berisi catatan sensus dan jumlah yang telah menjadi hak setiap penerima
dana dan bagian kedua berisi laporan pendapatan. Dana teersebut didistribusikan
melalui seorang arif yang masing-masing bertanggung jawab atas sepuluh
orang penerima dana.
BAB III
KESIMPULAN
Sebagai khalifah kedua, Umar bin Khattab sukses dalam
mengatur pemerintahan dan ekonomi negara. Umar sebagai pemimpin khalifah
berhasil responif terhadap permasalahan-permasalahan dan kasus-kasus yang
terdapat dalam masyarakat Islam terkhusus pada masalah perekonomian dengan
mencetuskan beberapa kebijakan ekonomi yang tidak memihak dengan prinsip
keadilan yang telah diatur dalam al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ sahabat.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa Umar secara garis besar dihimpun
dalam delapan bentuk, yaitu:
- Pembentukan baitul mal
- Kepemilikan tanah
- Zakat
- Usyur
- Mata uang
- Sodaqah orang non muslim
- Klasifikasi dan alokasi pendapatan negara
semua kebijakan yang diputuskan mengenahi ketujuh
bentuk di atas, terbukti menjadi landasan awal bagi kemajuan pereode Umar
diberbagai sektor ekonomi dengan ketegasan dan pengawasannya terhadap pelaksanaan
kebijakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjajanto,
Koes, Sejarah Kota-Kota Islam: Pengantar Perkuliahan Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2010
Amin, Samsul
Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009
Al Haris, Jaribah
Ibnu Ahmad, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab¸terj. Asmuni Solihan
Zamakhsyari, Jakarta Timur: Kholifa, 2006
Karim, Adiwarman
Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010.
Lewis, Bernard,
Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dalam segi Geografi Sosial Budaya dan
Peranan Umat Islam, terj. Said Jamhuri, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994
Mufrodi, Ali,
Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya: Anika Bahagia, 2010
Rahmawati, Naili,
Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khaththab, Fakultas Syari’ah Universitas
Mataram
http://firdaustuble.wordpress.com/category/muamalat/.
Diunduh pada tanggal 24 April 2012, pada pukul 20.39 Wib.
[1].
Mengenai Madina-alNabi ini lebih jelasnya dapat dilihat dalam Sejarah
Kota-Kota Islam: Pengantar Perkuliahan oleh Koes Adiwidjajanto.
[2].
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 54.
[3]. Adiwarman Azwar Karim, yang dikutib dari M.A.
Sabzwari, Economic and Fical Sistem During Khilafat E-Roshidah, dalam
Journal of Islamic Bangking and Finance, Karachi, Vol. 2, No. 4, 1985
[4].
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: AMZAH, 2009), hal.
98.
[5]. Kunyah adalah nama julukan atau
gelar yang didahului oleh lafad Abu atau Ummu. Sedangkan laqob adalah
nama gelar atau julukan yang menunjukkan arti memuji atau mencela.
[6].
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dalam segi Geografi
Sosial Budaya dan Peranan Umat Islam, terj. Said Jamhuri ( Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1994), hal. 56.
[7]. Jaribah
Ibnu Ahmad Al Haris, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab¸terj. Asmuni
Solihan Zamakhsyari (Jakarta Timur: Kholifa, 2006), hlm. 19.
[8]. Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab ( Surabaya: Anika Bahagia,
2010), hal. 60.
[9].
Iran dan Irak pada waktu itu adalah negara monarkhi yang menggunakan sistem
ekonomi feodalisme yang membagi ekonomi menjadi dua kelas, yaitu kaya
dan miskin. Kelas kaya terdiri dari raja, anggota istana, para pejabat,
para baron, tuan tanah, dan pemimpin agama. kelas ini menguasai segala sumber
produksi yang ada. Sedangkan kelas miskin terdiri dari petani,
tukang-tukang, dan para penghasil barang, dan mereka ini tidak diperbolehkan
untuk mengkonsumsi barang yanag mereka hasilkan sendiri. cara ini dimasksudkan
untuk membantu kelompok kaya agar selalu kaya dengan mengeksploitasi kelompok
orang-orang miskin. dan yang paling berkuasa dalam penerrapan sistem ini adalah
para raja.
[10]. http://firdaustuble.wordpress.com/category/muamalat/
[11]. Naili
Rahmawati, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khaththab (Fakultas Syari’ah
Universitas Mataram), hal. 2-4.
[12]. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, hal. 62.
[13].
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 68.
[14].
Ibid, hal. 69.
[15].
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 72.
[16].
Ibid, hal. 72.
[17].
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 73.
[18]. http://firdaustuble.wordpress.com/category/muamalat/
[19].
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 74.
MADINA AL-NABI:
“DEFINISI AL-QUR’AN”
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu kota adalah wadah dan wajah
masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu
adanya suatu penegasan, yaitu bahwa setiap kota pasti mempunyai sejarah, di
mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan, bagaimana
kegiatan kota, perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya).
Dalam mempelajari sejarah
perkotaan ini Antariksa Sudikno menawarkan empat pendekatan. Pertama, secara
umum ditekankan pada proses urbanisasi termasuk elemen demografi, struktur atau
pendekatan sistem, dan aspek perilaku urbanisasi. Kedua, adalah urban
biography merupakan tempat bersejarah yang istimewa, dan berhubungan dengan
beberapa segi dari sebuah kota, seperti transportasi, pemerintah kota,
perkembangan fisik, masyarakat dan organisasi sosial. Ketiga, memperlakukan
beberapa tema, seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya dalam
konteks sebuah kota. Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru
dalam “reading” cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read”
communities.
Secara garis besar, makalah ini
akan mengambil pendekatan kedua, urban biography. Dengan pendekatan ini,
maka penulis akan memaparkan kota madinah yang dikenal dengan “Madina
al-Rasul” atau “Madina al-Nabi” sebagai kota ideal tipe. Sebagaimana
diketahui, sesuai dengan sejarahnya bahwa kota ini dibentuk oleh persamaan
agama, yang menjadikan masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, namun untuk
segala urusan, mulai dari urusan keagamaan, keilmuan sampai pada urusan-urusan
sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Madinah
Secara etimologi Madinah adalah
kota. Sedangkan secara terminologi Madinah adalah sebuah kota, yang terletak
sekitar 600 kilo meter di sebelah utara kota Makkah[1]
yang dibangun oleh Nabi Muhammad sebagai kota bagi kaum muslimin setelah hijrah
dari Makkah karena tekanan-tekanan dari kafir Qurais. Awalnya Madinah adalah
kota Yastrib, kemudian setelah kedatangan Nabi Muhammad dan kaum muslim, kota
ini berubah nama menjadi Madinah dan selanjutnya dikenal dengan “Madina
al-Rasul” atau “Madina al-Nabi”.[2]
Madinah adalah kota yang terletak
di gunung dataran tinggi, di persimpangan tiga lembah, yaitu lembah ‘Aql,
lembah Aqiq dan lembah Himd, karena itu Madinah diidentikkan dengan kota hijau,
terutama disekitar gunung. Dibagian barat terdapat gungung Haji. Dibarat laut
gunung Salaa. Dibagian selatan gunung ‘Ir, dan gunung Uhud di bagian selatan.[3]
Redaksi lain mendefinisikan bahwa
madinah adalah Bait al-Rasul, menurut Muslim H. Nasution, karena
Rasulullah bertempat tinggal di Madinah sampai beliau wafat. Selain definisi
diatas, Nasution juga menyebutnya dengan al-Iman, Dar al-Abrar ( tempat
orang-orang baik dan mulia), al-Habibah ( yang dicintai ), al-Hijrah,
al-Haram dan sebagainya.[4]
Madinah adalah satu-satunya kota
yang diidentikkan dengan Nabi Muhammad, hal ini menjadi keistimewaan yang
berarti bagi kota Madinah itu sendiri. Sudah barang tentu jika Madinah adalah
kota yang identik dengan Nabi Muhammad, maka dapat dimengerti bahwa Madinah
adalah kota Islam. Dalam mendefinisikan Madinah sebagai kota Islam ini, Koes
Adjiwijajanto menyatakan bahwa kota Islam adalah kota yang diberi semangat
wahyu dalam denyut nadi kehidupan dan kecerdasan dalam beradaptasi dengan
lingkungan.[5]
Senada dengan hal tersebut Dennis Lardner Camody dan John Tully Carmody
menyatakan bahwa ada banyak ajaran sosial adalam wahyu al-Qur’an. Nabi Muhammad
mengasumsikan bahwa manusia membentuk sebuah kesatuan. Dalam rencana kretaif
Tuhan, manusia adalah satu bangsa.[6] Pernyataan
itu merupakan gagasan dari pesan-pesan al-Qur’an, dan dalam perjalanan
sejarahnya, hal tersebut baru bisa disaksikan ketika Nabi tinggal di Madinah.[7]
Definisi diatas selaras dengan pendapat Al-Farabi dalam al-Madinah
al-Fadilah menyebutkan bahwa Madinah adalah kota yang dipimpin atas
perpaduan rasionalitas dan spiritualitas.
Dalam al-Farabi: Abu
al-Falsafah al-Islamiyah, yang dikutip Sulaiman Fayyad, Farabi juga menyatakan
bahwa lahirnya kota utama didalamnya terjamin kebahagiaan. Dan kebahagiaan akan
tercapai hanya dengan cara yang mulia. Kota utama harus memadukan keutamaan
kepribadian, keutamaan fisik, keutamaan akal, keutamaan jiwa, keutamaan aklak,
terutama dalam menegakkan keadilan, kedamaian dan menumpas kedzaliman.[8]
Dari berbagai pemaparan diatas
sudah dapat dipahami bahwa Madinah sebagai kota Islam adalah kota yang dapat
menjadikan wahyu ( al-Qur’an ) sebagai pedoman hidup, selain itu ia juga
mempertalikan sesama umat manusia dalam perdamaian dan harmoni, agama juga
sebagai represeentasi dalam kehidupan publik yang dapat menginspirasi kehidupan
sehari-hari baik individu maupun kelompok masyarakat.[9]
B. Sejarah Kota Madinah
Setelah mendapat tekanan-tekanan
yang sangat berat dari kafir Qurais, Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad
hijrah ke Yasrib. Maka dari sinilah Islam memulai babak baru, melabarkan sayap
dakwah sampai membentuk sebuah pemerintahan. Nabi Muhammad sampai di Yasrib
pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal I Hijriyah, bertepatan dengan 27
September 622 M.[10]
Ketika sampai di Madinah, langkah
pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid. Selain sebagai
tempat ibadah, masjid juga difungsikan sebagai sekolahan bagi orang-orang
muslim untuk menerima pengajaran Islam, balai pertemuan, tempat mempersatukan
berbagai kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan masa Jahiliyah,
sebagai tempat untuk mengatur segala urusan
dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk musyawarah dan menjalankan
roda pemerintahan.
Disamping itu, masjid juga
berfungsi sebagai tempat tinggal orang Muhajirin yang miskin, yang datang ke
Madinah tanpa memiliki harta, tidak mempunyai kerabat dan yang belum
berkeluarga.[11]
Sebagaimana telah paparkan
diatas, ketika Nabi Muhammad sampai di Yasrib, kota ini berubah namanya menjadi
“Madina al-Nabi” atau “Madina al-Rasul”. Ini menandakan bahwa
Nabi Muhammad telah diangkat oleh masyarakat, baik masyarakat setempat maupun
pengikut Nabi dari Makkah sebagai pemimpin mereka. Dengan ini maka Rasulullah
diharapkan dapat menciptakan kesatuan akidah, politik, sistem kehidupan diantara
orang-orang muslim dan mengatur hubungan antara kaum muslimin dengan golongan
non muslim. Selain itu beliau juga harus menciptakan keamanan, kebahagiaan dan
kebaikan bagi semua manusia serta mengatur kehidupan di Madinah dengan satu
kesepakatan.
Maka dari sini Rasulullah membuat
perjanjian dengan penduduk kaum muslim. Perjanjian ini berlaku kepada orang
muslim Qurais, Yasrib dan orang-orang yang mengikuti mereka.[12] Selain
perjanjian dengan internal kaum muslim, Rasulullah juga melakukan perjanjian
dengan orang-orang Yahudi, perjanjian tersebut antara lain:
1. Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang
mu’min. Bagi orang orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama
mereka, termasuk pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini juga berlaku
bagi orang-orang Yahudi selain Auf.
2. Orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka
sendiri, begitu pula orang muslim.
3. Mereka harus bahu membahu dalam menghadapi musuh yang hendak
membatalkan perjanjian ini.
4. Mareka harus saling manasehati, berbuat baik dan tidak boleh
berbuat jahat.
5. Tidak boleh berbuat jahat terhadap orang yang sudah terikat
denga perjanjian ini.
6. Wajib membantu oarang-orang yang di dzalimi.
7. Orang-orang Yahudi harus berjalan seiring dengan orang-orang
mu’min selagi mereka terjun dalam kancah peperangan.
8. Yasrib adalah kota yang dianggap suci oleh orang yang
menyetujuai perjanjian ini.
9. Jika terjadi sesuatu ataupun orang-orang yang mengakui
perjanjian ini, yang dikawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat
kembalinya adalah allah dan Muhammad Saw.
10. Orang-orang Quraisy tidak boleh mendapat perlindungan dan tidak
boleh ditolong.
11. Mereka harus saling tolong menolong dalam orang-orang yang
hendak menyerang Yasrib.
12. Perjanjian ini tidak boleh dilanggar kecuali memang dia yang
dzalim dan jahat.[13]
Dari perjanjian ini, jelas mereka
menegaskan diri menjadi suatu komunitas yang disatukan oleh interes yang sama,
yakni menjaga keutuhan dan keamanan kota dengan jaminan atas hak, dan kewajiban
atas masyarakat yang menandatangai naskah perjanjian.[14]
C. Madina al-Nabi: “Ideal Tipe”
Sejauh ini para ilmuan sepakat
bahwa Madinah disebut dengan ”Madina al-Nabi” ( kota Nabi ), seperti
telah dijelaskan diatas bahwa kota ini adalah kota yang dibangun Nabi Muhammad
bersama kaum muslimin. Dari Madinah inilah, teokrasi Islam menyebar keseluruh
penjuru semenanjung dan kemudian merambah ke sebagian besar daratan Asia Barat
dan Afrika Utara. Komunitas Madinah saat itulah yang menjadi model bagi
komunitas-komunitas muslim belakangan. Dalam waktu kehidupan yang singkat dan
beranjak dari lingkungan yang tidak menjanjikan, Nabi Muhammad telah
menginspirasikan terbentuknya sebuah bangsa yang tidak pernah bersatu
sebelumnya, disebuah negeri yang hingga saaat itu hanyalah sebuah ungkapan
geografis, membangun sebuah agama yang luas wilayahnya mengalahkan Nasrani dan
Yahudi, serta diikuti oleh sejumlah besar manusia, meletakkan landasan bagi
sebuah imperium yang dalam waktu singkat berhasil memperluas batas wilayahnya
dan membangun berbagai kota yang kelak menjadi pusat-pusat peradaban dunia.[15]
Nabi Muhammad Saw membangun kota Madinah sebagai satu
kesatuan negeri yang terdiri dari oase-oase yang selama bertahun-tahun saling
berjauhan dan penduduknya saling bermusuhan. Atas jasa dan jerih payah beliau
yang mengalihkan gugusan bukit-bukit Madinah menjadi pusat kegiatan
sosio-kultural, sosio-politik dan militer[16],
Madinah menjadi sebuah kota yang makmur dan harmonis. Pernyataan tersebut
selaras dengan pernyataan Ernest Renan yang dikutip oleh Bernard Lewis bahwa Islam
lahir sangat jelas, akar-akarnya tampak dipermukaan lapisan bumi, kehidupan
pembangunannya jelas diketahui.[17]
Ungkapan Ernest Renan tersebut dapat dibulktikan dengan
keberhasilan Rasulullah dalam membangun Madinah. Selain membangun Masjid sebagi
pusat perkotaan, berdasarkan penjelasan Prof.Dr. Husein Mu’nis beliau juga membangun jalan
yang menghubungkan masjid dengan Bukit Sal’a di sebelah barat, menjadikan lahan
kosong disebelah tersebut menjadi tempat pemakaman umum, kemudian dibangun
jalan yang menghubungkannya dengan masjid. Selanjutnya dibangun lagi jalan
utama yang menghubungkan Quba di sebelah selatan dan oase Suneh di sebelah
utara. Tatkala penduduk membangun rumah di sepanjang dua sisi jalan-jalan utama
tersebut, Madinah mulai menampakkan diri sebagai suatu kota yang tertata rapi.
Dalam perjanjian sebelumnya
disepakati bahwa Rasulullah berhak sepenuhnya atas setiap tanah kosong di
Madinah. Oleh karena itu, beliau membagi-bagikan tanah kepada sahabat yang
membutuhkan dengan syarat harus membangun rumah atau menggarapnya sebagai lahan
pertanian atau peternakan. Dengan mengfungsionalkan tanah-tanah kosong, maka
antara satu oase dengan lainnya sudah saling bersambung. Selain itu ketika nyata bahwa salah satu jalan
utama melintasi telaga Muzainab dan menghambat kelancaran lalu lintas Madinah,
maka beliau memerintahkan pembangunan jembatan di atasnya. Tidak hanya
memerintahkan kepada masyarakat Madinah, namun Rasulullah juga turun langsung
dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Untuk menertibkan keadaan kota, masyarakat
Madinah tidak dibenarkan ada pengangguran. Rasulullah sangat tidak senang
kepada orang-orang pemalas bahkan benci kepada pengemis kecuali jika
benar-benar tidak mampu bekerja karena cacat tubuh. Beliau mensyaratkan agar para
pengemis tidak berkeliaran di tempat-tempat umum, biar masyarakatlah yang
mengantarkan makanan kepada mereka.[18]
Gambaran kota Madinah:
BAB III
KESIMPULAN
Ketika dakwah Rasulullah di
Makkah sudah dianggap tidak aman karena ancaman dari kafir Qurais, maka Allah
mengutus Nabi Muhammad hijrah ke Yasrib. Dari sinilah Islam memulai babak barunya,
melebarkan sayap dakwah sampai membentuk sebuah pemerintahan. Rasulullah mulai
membangun Madinah dengan membangun masjid. Masjid inilah sebagai sentral dari
semua permasalahan masyarakat.
Sepanjang perjalanan sejarah,
setelah Rasulullah dan kaum Muhajirin datang ke Yasrib, kota ini berubah
namanya menjadi “Madina al-Nabi”. Sesuai dengan sebutannya, Madinah bernafaskan
kalam-kalam Allah dan diilhami dengan hadist dan sunnah Nabi Muhammad, gagasan
ini adalah wujud dari pesan-pesan al-Qur’an. Dalam al-Madinah al-Fadilah Al-Farabi
menyebutkan bahwa Madinah adalah kota yang dipimpin atas perpaduan rasionalitas
dan spiritualitas. Prestasi-prestasi yang telah dicapai Rasulullah di Madinah inilah,
menurut Hitti yang menjadi model bagi kota-kota Islam setelahnya.
Pembangunan pertama kali yang dilakukan
Rasulullah ketika sampai di Madinah adalah masjid, selain menjadi tempat
ibadah, masjid juga digunakan sebagai pendidikan kaum muslimin, tempat
musyawarah hingga pusat pemerintahan. Selain membangun masjid, Rasulullah juga
membangun jembatan, jalan, menjadikan tempat kosong disebelah timur sebagai
kuburan. Disamping membangun bentuk fisik perkotaan, beliau juga membangun
moral masyarakat dengan pesan-pesan Ilahi, memberi teladan kepada masyarakat
dengan cara terjun langsung pada kegiatan-kegiatan tersebut. Memberikan tanah kosong
terhadap terhadap kaum muslimin yang tidak mampu.
DAFTAR PUSTAKA
Kandu, Amrullah, Ensiklopedi
Dunia Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Rauf, Imam Feisal Abdul, Seruan Azan Dari Puing WTC:
Dakwah Islam di Jantung Amerika, Terj. Dina Mardina dan M. Rudi Atmok, Bandung:
Mizan, 2007
Misrawi, Zuhairi, MADINAH:Kota Suci, Piagam Madinah dan
Teladan Muhammad Saw, Jakarta: Buku
Kompas, 2009.
Nasution, Muslim H, Tapak Sejarah Seputar Makkah dan
Madinah, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Adjiwijajanto, Koes, Sejarah Kota-kota Islam: Pengantar
Perkuliahan, Jurusan SPI, Fakultas Adab, 2009/2010
Dennis Lardner Camody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani
Sang Guru Suci: Memahami Spiritualitas Bhuda, Konfisius, Yesus, Muhammad, Jakarta:
PT. Grafindo Persada, 2000
Rahman al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur, Sirah Nabawiyah,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010
Hitty, Pillip K. History of
The Arabs, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010
Lewis, Bernard,
Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah: Dari Segi Sosial Budaya dan Peranan
Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1998
http://sri-murni.blogspot.com/2009/12/sirah-nabawiyah-3-tentang-nabi-sebagai.html
[1] Amrullah Kandu, Ensiklopedi Dunia Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), 434.
[2]. Imam Feisal Abdul Rauf, Seruan Azan Dari Puing
WTC: Dakwah Islam di Jantung Amerika ( Bandung: Mizan, 2007), hal. 221.
Diterjemahkan dari buku yang berjudul “What’s Right With Islam: A New Vision
for Muslim and the West” oleh Dina Mardina dan M. Rudi Atmoko
[3]. Zuhairi Misrawi, MADINAH:Kota Suci, Piagam
Madinah dan Teladan Muhammad Saw ( Jakarta: Buku Kompas, 2009), hal. 2.
[4]. Muslim H. Nasution, Tapak Sejarah Seputar Makkah
dan Madinah (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 65-67.
[5]. Koes Adjiwijajanto, Sejarah Kota-kota Islam:
Pengantar Perkuliahan ( Jurusan SPI, Fakultas Adab, 2009/2010), hal. 4.
[6]. Dennis
Lardner Camody dan John Tully Carmody, Jejak Rohani Sang Guru Suci: Memahami
Spiritualitas Bhuda, Konfisius, Yesus, Muhammad ( Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2000), hal. 193. Diterjemahkan oleh Tri Bhudi Satrio dari buku In
The Part of The Masters.
[7]. Ibid, hal. 4.
[8]. Zuhairi Misrawi, MADINAH:Kota Suci, Piagam
Madinah dan Teladan Muhammad Saw, hal. 3.
[9]. Koes Adjiwijajanto, hal. 4.
[10]. Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sirah
Nabawiyah ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), hal. 205. Buku ini
diterjemahkan oleh Katsur Suhardi dari Ar-Rahiqul Makthum, Bahtsun Fi
al-Sirah al-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhali al-Shalati wa al-Salam,
terbitan Darus Salam, Riyad, 1414 H.
[11]. Lihat Syaikh
Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, hal. 205-206.
[12]. Diantara perjanjian dengan kaum muslim itu antara lain:
1.
Mereka adalah umat yang satu diluar golongan yang lain.
2.
Muhajirin dari Qurais dengan adat kebiasaan yang berlaku diantara
mereka harus bekerja sama dengan menerima atau membayar suatu tebusan. Sesama
orang mu’min harus menebus oranga yang ditawan dengan cara ma’ruf dan adil.
Setiap kabilah dari Anshar dengan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan
mereka harus menebus tawanan mereka sendiri dan setiap golongan diantara
orang-orang mu’min harus menebus tawana dengan cara ma’ruf dan adil.
Dan selanjutnya. Dalam
perjanjian ini terdapat 16 poin. Lebih lanjutnya bisa dilihat dalam Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, Sirah
Nabawiyah, hal. 208.
[13]. Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, hal. 214.
[14]. Koes
Adjiwijajanto, hal. 4.
[15]. Pillip K. Hitty, History of The Arabs ( Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 152-153.
[16]. Cuplikan dari tulisan Prof.Dr. Husein Mu’nis yang
berjudul “Al-Sirah Al-Nabawiyah. Upaya reformasi sejarah perjuangan Nabi
Muhammad s.a.w” tentang Nabi sebagai arsitek kota Madinah. yang terjemahannya
diterbitkan oleh Penerbit Adigna Media Utama. Jakarta, tahun terbit cetakan
pertama adalah 1999. Lihat: :
http://sri-murni.blogspot.com/2009/12/sirah-nabawiyah-3-tentang-nabi-sebagai.html
[17]. Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam
Lintasan Sejarah: Dari Segi Sosial Budaya dan Peranan Islam ( Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1998), hal. 19. Diterjemahkan dari The Arabs in History
oleh Drs. Said Jamhuri.
[18]. Lihat: :
http://sri-murni.blogspot.com/2009/12/sirah-nabawiyah-3-tentang-nabi-sebagai.html
Langganan:
Postingan (Atom)