“Khazanah
Sejarah Mengokohkan Jati Diri Bangsa yang Humanis”
Oleh: M.
Rahmatullah
öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9
Hendaklah
Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
( Q.S. Al Hasyr:
18)
Kebesaran Nusantara sebagai bangsa tidak serta merta muncul seperti
yang kita lihat saat ini, yakni melalui sejarah panjang yang ditempuh para
leluhur. Sejarah yang menunjukkan akan cintanya kepada bangsa yang damai, aman
dan sejahtera. Nampaknya belakangan ini kita dikejutkan dengan kejadian-kejadian
yang sama sekali tidak manusiawi, atas nama Agama, idiologi, suku dan
sebagainya. Sudah dapat dipastikan kurangnya menyelami arti sejarah membuat
bangsa ini kerdil, serta memahami arti kebangsaan secara parsial. Tanpa
kesadaran sejarah ini. Ke-Indonesia-an kita hanyalah merupakan wadah yang
hampa, jika tidak hati-hati, ke-Indonesia-an kita dapat hancur berantakan,
karena kelalaian dan kelengahan kita sendiri.
Mereka yang tidak mengambil pengalaman sejarah, akan dipaksa untuk
mengulangi kekeliruan-kekeliruan masa lalu, dengan harga yang sangat tinggi.
Karena itu. kita harus banyak mengenal sejarah. Dari perspektif sejarah ini.
kita harus sadar bahwa apa yang kita capai sekarang, sebenarnya merupakan
puncak dari perjuangan panjang dalam membangun persatuan. Kita dapat menelusuri
tekad bersatu, misalnya dari Sumpah Palapa, oleh Maha Patih Gajah Mada, hampir
700 ratus tahun yang lalu, perjuangannya untuk mewujudkan persatuan Nusantara
bukanlah usaha yang mudah. Jangan kita lupakan bahwa yang dinamakan suatu
bangsa atau nation itu bersandar pada kesatuan tekad untuk hidup sebagai
bangsa, kepada persamaan sejarah dan nasib, kepada perasaan bersatu bahwa kita
merupakan suatu ikatan, keluarga besar bangsa. Tekad adalah pendorong atau daya
juang yang memberi motivasi, dan melandasi pemikiran, sikap dan perilaku
masyarakat.
A.
Khazanah Sejarah Bangsa
Sebagai suatu bangsa tentunya kita dituntut mengerti siapa kita
sebenarnya, konon kita bukan penduduk asli Nusantara, yakni pendatang. Menurut
penelitian arkeologi dan ilmu genetika penghuni Nusantara ini berasal dari rumpun
Austronesia[1],
terlepas dari kebenaran penelitian tersebut kemudian mereka mengelompok menjadi
masyarakat-masyarakat kecil yang pada puncaknya mereka mendirikan suatu
kerajaan sebagai perwujudan dari persatuan dan tekad yang dimiliki bersama.
Masih timbul pertanyaan, apakah kerajaan-kerajaan awal Nusantara adalah
Hindu-Budha ataukah sudah ada kerajaan yang beragama nenek moyang ( Animisme-dinamisme
). Namun berdasarkan sumber-sumber sejarah yang telah mapan, kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha lah yang mengawali kerajaan Nusantara, yakni kerajaan Kutai, disusul
oleh kerajaan Tarumanegara, Kalingga, Mataram Hindu, Sriwijaya, dan diakhiri
dengan kerajaan Pajajaran dan Majapahit. Dilanjutkan kerajaan-kerajaan Islam,
masa kolonial Eropa, baik portugis ataupun sampai Belanda, masa Jepang,
kemerdekaan hingga sekarang menjadi Negara berdaulat dengan tanpa penjajahan
yaitu “NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”.
Meminjam perkataan Ernest[2], bahwa
Bangsa adalah sekelompok manusia yang punya kehendak untuk bersatu karena
mempunyai nasib dan penderitaan yang sama pada masa lampau dan mereka mempunyai
cita-cita yang sama tentang masa depannya. Sebagai suatu bangsa, secara tidak
langsung Nusantara telah memproklamirkan diri sejak Kutai berdiri, namun dalam
rangka mengibarkan semangat nasionalisme sebagai warga negara sepertinya belum
nampak. Kesadaran masyarakat terhadap nasionalisme berbangsa dan bernegara baru
kelihatan pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya. Sebagai Negara merdeka, ia
memegang kekuasaan Negara dan berusaha menciptakan rasa aman terhadap rakyat
serta memberikan kesejahteran kepadanya. Kemudian mereka selalu membendung
bahaya serangan yang mengancam Negaranya, baik penguasa maupun masyarakat
demi kebesaran Negara.
Sekitar abad ke-13, disusul dengan semangat persatuan Sang Maha
Patih Gajah Mada dengan Amukti Palapa yang menggemparkan, bisa kita
bayangkan kalimat yang tertera dalam sumpah itu bukanlah tugas yang semudah
membalikkan telapak tangan, jika tanpa semangat nasionalisme yang tinggi, bisa
dipastikan ia gagal dalam melaksanakannya. Sumpah itu selengkapnya berbunyi
demikian:
Lamun
huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ing Seran,
Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa[3]
Sepertinya tidak muluk-muluk jika Amukti Palapa atau Gajah
mada sendiri disebut sebagai peletak pertama konsep kesatuan Nusantara. Usaha
memperluas wilayah itupun merupakan salah satu manifestasi semangat
nasionalisme yang melanggar kedaulatan negara lain. Karena pada dasarnya
perjuangan ini ditujukan untuk keagungan Majapahit.[4]
Semangat nasionalisme yang sangat mengakar tersebut menjadi luntur
diabad-abad selanjutnya, yakni pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I. Dengan
memihak kepada kolonial Belanda serta memusuhi Islam yang pada puncaknya kerajaan
terpecah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta.[5]
Pudarnya semangat nasionalisme pada kerajaan Mataram ini juga yang diduga akar
dari kolonialme Belanda, yang dimulai dengan perjajian Jepara[6] antara
Amangkurat II dan Cornelus Speelman (militer Belanda). Klimaks dari kejadian
ini adalah penarikan beaya oleh Belanda langsung kepada rakyat ketika
pemerintahan Pakubuwono II atas bantuannya dalam menumpas pemberontakan China.
Setelah sekian lama Nusantara diinjak-injak oleh kolonialisme,
keinginan merdeka dan semangat kebangsaan Nusantara bangkit kembali. Kesadaran nasional
ini ditandai dengan munculnya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, namun hal ini
dibantah oleh Ahmad Mansur Suryanegara, ia menuturkan bahwa kebangkitan
kesadaran nasional sudah dimulai 3 tahun sebelumnya oleh H.Samanhudi dengan mendirikan
Serikat dagang Islam ( SDI ).[7] Terlepas
dari kebenaran dan perdebatan sejarawan siapa yang menjadi pelopor pengibar
semangat nasionalisme ini, semangat nasionalisme untuk merdekapun semakin
tumbuh subur, hal ini terbukti dengan semangat pemuda yang bersumpah atas nama
bangsa Indonesia yaitu Sumpah Pemuda, tepat pada 28 Oktober 1928 M. Sejak
itulah muncullah tokoh-tokoh bangsa yang dikemudian hari membawa Indonesia
merdeka, seperti: M. Yamin, M. Hatta, Sutan Syahrir, Soekarno dan sebagainya. Dari
semangat kebangsaan para pemuda inilah pada klimaksnya bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya tepat pada 17 Agustus 1945.
B.
Sejarah Sebagai Modal Pembentuk Jati Diri Bangsa
Tentunya kita masih ingat kata-kata yang dilontarkan prokamator
Soekarno “JASMERAH: Jangan Lupakan Sejarah”. Kata tersebut mengindikasikan
bahwa sebagai suatu bangsa, kita memang tidak bisa lepas dari sejarah bangsa
itu sendiri. Sebagaimana telah ditulis diatas bahwa bangsa yang lupa sejarahnya
akan terombang ambing karena tidak mempunyai dasar untuk melangkah serta tidak
mempunyai pandangan kedepan untuk menentukan arah hidup berbangsa. Sejarah
telah membuktikan bahwa Indonesia adalah kumpulan masyarakat yang
bermacam-macam, baik dari segi Agama, Suku, budaya, bahasa dan lain-lain. Maka Soekarno
memilih falsafah Jawa dari kitab Sotasoma yaitu “Bhineka Tunggal Ika”
sekaligus sebagai motto persatuan bangsa Indonesia. Kata itu berarti : “berbeda-beda
namun hakekatnya satu”. Ini artinya, bahwa sejak dahulu nasionalisme dari keberagaman
sudah menjadi jiwa serta semangat bangsa negeri ini.
Dengan motto persatuan bangsa yang dintarkan Bhineka Tunggal Ika
sampai sekarang kita tetaplah menjadi bangsa yang besar meskipun diketahui
bahwa bangsa ini sangat beragam tapi tetap satu. Dan dikuatkan dengan semangat
pemuda tahun 1928 serta proklamasi kemerdekaan dalam bingkai persatuan kesatuan
bangsa secara total. Hal ini tidak terlepas dari pembentuk jati diri bangsa
Indonesia.
Dengan demikian, persatuan bangsa ini selanjutnya mempunyai dasar
negara yang akan disepakati bersama. Wujud dari dasar itu terbentuklah dengan nama
“Pancasila”. Yaitu dasar negara yang telah dirumuskan oleh golongan
nasionalis-Agama (Islam). Dapat dipahami bahwa jika Pancasila ini sudah
benar-benar menjadi dasar dari negara Indonesia maka tidak dapat dipungkiri
Negara ini akan aman, damai dan sejahtera seperti masa-masa kejayaan Nusantara
di masa lalu.
C.
Refleksi Dari Sejarah
Keagungan Indonesia sebagai bangsa sesuai diisyaratkan diatas, dibangun
berdasarkan historis penting, yang mencakup rasa senasib seperjuangan dengan
cita-cita yang ingin dicapai bersama. Saya yakin, jika semangat persatuan
tersebut dibangkitkan dan dikembangkan kembali Indonesia dapat meraih
kejayaannya seperti masa kejayaan Nusantara dahulu. Seperti diketahui,
nampaknya rasa persatuan dan kesatuan itu telah memudar, hal ini dibuktikan
dengan kekerasan atas nama Agama, ideologi, suku dan sebagainya belakangan ini.
kita masih sering mendengar perang antar suku, bahkan belum lama ini kekerasan
terjadi karena masalah ideologi, bahkan yang lebih ironis bentrok antar pelajar
dan sebagainya. Bahkan jika ditelaah secara mendalam, secara tidak sadar bangsa
ini menjadi terkotak-kotak karena hal tersebut.
Sebagai bangsa seharusnya kita sadar, bagaimana para leluhur
mengajarkan sifat bijak serta Founding Father bangsa ini memperjuangkan
kebesaran Indonesia dengan menyuarakan Nasionalisme Indonesia, menurut Azra adalah
bahwa puncak nasionalisme ini tercapai pada masa Soekarno. Berkat kemampuan intelelektaulanya
dan retorikanya, ia berhasil menggelorakan nasionalisme dalam membebaskan diri
dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Barat. Tidak kalah pentingnya,
semangat Nasionalisme oleh kaum Agamis yang dikibarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari
dengan Resolusi Jihadnya. Mereka mengajarkan rasa kebersamaan, membangun
hidup harmonis dalam masyarakat melalui berbagai macam perbedaan yang ada. Baik
latar belakang, ekonomi, pendidikan, agama, politik, suku dan sebagainya. Maka
dengan motto Bhineka Tunggal Ika marila kita kobarkan semangat
kebangsaan dengan menjadi bangsa “satu”
Apalagi masih sering muncul dalam kehidupan kita dengan menganggap
bahwa dirinya paling benar dan tidak mengakui keberadaan yang lain. Tidak
memahami perbedaan dengan benar. Lalu semua mengaku dirinya paling benar agar
bisa diakui bahwa dirinyalah yang terbaik. Melihat realitas yang terjadi ini,
sangat ironis bagi sejarah bahwa semangat Nasionalisme bangsa ini telah
tergantikan oleh egoisme kesukuan, kelompok bahkan Agama kemudian nasionalisme
yang selama ini tumbuh subur menjadi kering dan cenderung pasif.
Jika hal ini adalah penyakit bagi Indonesia. Apakah kita akan
selalu terkotak-kotakkan oleh egoisme kesukuan ?? Egoisme kelompok ??? Egoaisme
ideologi ?? Atau bahkan Agama ???. permasalahan tersebut adalah PR bagi
kita. !!!!!
***
[1]. Austronesia
yaitu mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa
Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk
Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia
berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis
yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos
(jamak: nesia) yang berarti "pulau" (http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Austronesia)
[3]. Slamet
Muljana, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (
Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2007 ), hlm. 254.
[4]. Slamet
Muljana, Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (Yogyakarta:
LkiS Pelangi Angkara, 2008), hlm. 4.
[5]. Ahwan
Mukarrom, Kerajaan-Kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Fak. Adab. SPI.
IAIN Sunan Ampel), hlm. 96. Kebencian Amangkurat I terhadap Islam ini terbukti
dengan pembunuhan besar-besaran terhadap Ulama dan keluarganya di alun-alun
Pleret pada tahun 1670 M, sebagaima yang dikutip Van Goens dari tulisan Ahmad
Adaby Darban “ Perlawana Kyai Kajoran Terhadap Sunan Amangkurat I. Tidak
kurang dari 6000 Ulama dan keluarganya tewas dibunuh.
[6]. Ibid. hlm.
97. Isi perjanjian Jepara diantaranya sebagai berikut: pertama, daerah timur
Karawang sampai Panarukan diserahkan kepada Belanda. Kedua, Amangkurat
II mengakui berhutang kepada Belanda 250.000 real Spanyol 3000 Koyan dan
mengganti biaya perang Belanda sebanyak 20.000 real tiap bulan. Ketiga, daerah
ujung timur pantai utara Jawa hingga karawang menjadi daerah pengawasan
Belanda. Keempat, segala import kain Jawa dimonopoli Belanda.
[7]. Lebih lanjut
baca Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri, hlm. 339-369.